Dalam sejarah Islamisasi di jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW sangat bijak dalam memberdayakan tradisi lokal atau ʿurf sebagai bagian dari upaya penerapan Islam yang inklusif dan fleksibel. Strategi ini memberikan kesempatan kepada Islam untuk berkembang di berbagai budaya tanpa kehilangan esensi utamanya. Dalam konteks ini, ʿurf menjadi sebuah jembatan penting antara ajaran Islam dan kebiasaan masyarakat setempat.
Di masyarakat Arab pra-Islam, terdapat banyak tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, dan Nabi Muhammad tidak menghapus tradisi tersebut, melainkan menyaring dan memodifikasi tradisi yang kurang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Contohnya, Nabi mengubah praktik-praktik dalam berziarah ke Ka’bah yang pada masa pra-Islam melibatkan ritual yang tidak sesuai dengan kesucian Islam. Sebagai gantinya, tawaf dijadikan ritual yang tetap menghormati kepercayaan namun sesuai dengan ajaran tauhid dan kesucian pakaian saat melaksanakannya.
Penekanan pada fleksibilitas ini juga tercermin dalam banyak kajian fiqih. Para ulama fiqih mengakui bahwa ʿurf bisa menjadi sumber hukum Islam selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an maupun Sunnah. Salah satu contohnya adalah dalam urusan muamalah atau transaksi ekonomi. Tradisi yang sudah berlaku dalam perdagangan bisa dijadikan dasar hukum asalkan tidak mengandung unsur yang dilarang seperti riba atau gharar (ketidakpastian).
Namun demikian, tak semua tradisi dapat diterima begitu saja. Nabi Muhammad SAW juga menolak keras tradisi-tradisi yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip dasar Islam, seperti praktik penguburan anak perempuan hidup-hidup, yang saat itu merupakan kebiasaan di sebagian suku Arab. Dalam hal ini, Nabi memberdayakan nilai-nilai baru yang lebih adil, beradab, dan penuh kasih sayang sesuai dengan visi Islam.
Penerapan Islam dalam konteks lokal seperti di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tradisi setempat. Islam yang berkembang di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, menjadi lebih moderat dan inklusif justru karena kemampuannya untuk beradaptasi dengan ʿurf atau adat istiadat lokal.
Islam tidak harus selalu dipahami secara kaku dalam format yang sama di semua belahan dunia. Hal ini ia dasarkan pada studi historis tentang jaringan ulama di Nusantara yang terhubung dengan ulama Timur Tengah pada abad ke-17 dan 18. Melalui jaringan ini, ulama Nusantara mengembangkan pemahaman Islam yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat, tanpa mengurangi substansi dari ajaran-ajaran dasar Islam itu sendiri. Pendekatan ini juga diambil oleh para ulama Indonesia dalam menangani berbagai masalah kontemporer, seperti demokrasi dan pluralisme.
Penerapan Pancasila di Indonesia sebagai dasar ideologi negara adalah wujud dari penerapan Islam yang moderat dan inklusif. Ia berpendapat bahwa Islam di Indonesia harus menjadi rahmatan lil’alamin, berperan sebagai berkah bagi semua orang tanpa memandang latar belakang agama. Sikap ini mencerminkan penerimaan tradisi lokal dalam bingkai Islam yang universal, serta menolak bentuk-bentuk Islam yang ekstrem dan eksklusif.
Penerapan ʿurf dalam Islam menawarkan peluang untuk mengakomodasi perbedaan budaya, namun juga menghadirkan tantangan dalam menjaga integritas ajaran Islam. Seperti yang terjadi di Indonesia, dimana tradisi lokal dan kepercayaan adat sering kali mempengaruhi praktik Islam, seperti upacara adat pernikahan, penyelenggaraan kematian, dan upacara keagamaan lainnya. Sebagian ulama modern, menekankan pentingnya pendidikan Islam yang kontekstual, yang tidak hanya memahami aspek hukum dan ibadah Islam, tetapi juga bagaimana Islam berinteraksi dengan dinamika sosial masyarakat local.
Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh konkret dalam cara memberdayakan tradisi lokal sebagai bagian dari praktik berislam, sementara ulama-ulama dan tokoh-tokoh yang ada di Indonesia melanjutkan warisan ini dengan menekankan pentingnya Islam yang kontekstual dan relevan dengan masyarakat modern. Islam, melalui fleksibilitasnya terhadap ʿurf, menunjukkan bahwa ia dapat berkembang di berbagai tempat dan zaman tanpa kehilangan substansi ajarannya.
Pemberdayaan tradisi lokal ini juga menekankan bahwa Islam adalah agama yang tidak memaksakan homogenitas, tetapi menawarkan ruang bagi pluralisme dan keunikan budaya selama prinsip-prinsip dasar keadilan, tauhid, dan moralitas tetap dijaga. Islam harus mampu menjadi agen transformasi sosial yang memperkuat harmoni dan persatuan di tengah keberagaman tradisi. Ini menjadikan Islam terus relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan modernitas.