Tidak dinyana, adegan Gus Miftah tengah membecandai penjual minuman yang viral itu berdampak luas pada banyak hal. Tulisan ini tentu tidak hendak membela siapa pun. Namun, di zaman dimana segala hal yang viral itu dianggap kebenaran, bertabayun adalah hal yang utama. Tabayun itu bukan pembelaan, apalagi penghakiman. Namun, upaya menyeimbangkan perang opini yang kadung meluas.
Peristiwa itu terjadi di sebuah pengajian di Magelang yang juga dihadiri oleh Gus Yusuf dan habib Zaidan bin Haidar. Belakangan, Gus Yusuf memberikan klarifikasi via video yang menjelaskan bahwa Gus Miftah tidak berniat menghina, namun hanya becanda. Di video lain, Habib Zaidan juga mengklarifikasi bahwa jemaag yang tertawa itu bukan menertawakan profesi penjual es teh, namun terbawa suasana yang penuh humor.
Di titik ini, saya mungkin sedikit berbeda pendapat. Gus Miftah memang tengah melucu. Namun, lelucon itu tidak etis. Apalagi disampaikan oleh tokoh agama dan di forum keagamaan. Dalam humor, ada aturan tidak tertulis berisi larangan mendeskreditkan kondisi fisik seperti kecacatan, dan kondisi sosial seperti kemiskinan, bencana alam, dan sejenisnya. Memang ada humor gelap (dark humor) yang kerap menyerempet itu sensitif seperti agama, kematian, dan sebagainya.
Namun, humor gelap hanya bisa dikeluarkan di konteks ruang dan waktu yang tepat dan konsensual (persetujuan). Jika tidak, maka akan timbul ketersinggungan dari pihak tertentu. Kita tentu ingat bagaimana sejumlah pelawak tunggal (komika) dihujat massa bahkan tersandung kasus hukum karena materi lawakannya yang tidak tepat.
Cancel Culture Propaganda Kaum Intoleran
Hal menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah bagimana kasus ini berusaha dieksploitasi oleh kelompok intoleran, kaum Wahabi, dan golongan radikal lainnya. Mereka menyadari bahwa Gus Miftah adalah figur penting dalam gerakan dakwah Islam moderat ala Nusantara.
Gus Miftah juga representasi dari pendakwah NU yang punya basis massa yang kuat dari segala lapisan masyarakat. Gus Miftah juga besar di media sosial. Maka, ketika ia melakukan blunder, hal itu pun menjadi momentum kaum intoleran radikal untuk beramai-ramai menghamtam kelompok moderat.
Polemik Gus Miftah di media sosial telah merembet kemana-mana. Muncul pula narasi yang mencoba membangun persepsi dan opini publik bahwa semua tokoh pegiat moderasi beragama dan pendakwah Aswaja itu sama seperti Gus Miftah karakternya. Yakni gemar menyerang martabat manusia.
Penggiringan opini ini tentu bertujuan untuk membangun persepsi negatif tentang agenda moderasi beragama. Kaum radikal pun menjadikan momentum blunder Gus Miftah ini untuk mengajak umat melakukan cancel culture pada semua penceramah Aswaja dan agenda moderasi beragama.
Cancel culture adalah istilah yang ngetremd di kalangan milenial dan gen Z. Artinya kurang lebih adalah memboikot seseorang, kelompok, atau jenama (merk) tertentu, karena melakukan atau mendukung perilaku yang melawan prinsip kemanusiaan. Misalnya, boikot terhadap penyanyi yang melakukan kekerasan seksual dengan tidak mendengarkan lagunya, tidak membeli albumnya, dan tidak mendatangi pertunjukannya.
Membenahi Etika Penceramah Aswaja
Di era digital, model perlawanan melalui cancel culture ini terbilang efektif. Brand-brand ternama misalnya kerap mengalami kerugian ketika mendapatkan gelombang cancel culture dari masyarakat, karena mendukung kampanye LGBT atau isu sensitif lainnya.
Namun, haruskah kita melakukan cancel culture ke seluruh pendakwah Aswaja moderat hanya karena ulah salah satu oknumnya saja? Tentu hal itu tidak bijak dan justru merugikan umat Islam itu sendiri.
Apa yang dilakukan Gus Miftah itu adalah kesalahan personal. Itu tidak menunjukkan karakter Pendakwah NU, Aswaja, apalagi pegiat moderasi beragama secara umum. Kesalahannya adalah kesalahan priabdi yang tidak bisa dikaitkan dengan agenda moderasi beragama.
Kita tentu boleh saja melakukan cancel culture terhadap Gus Miftah sebagai sebuah hukuman sosial dengan tujuan agar dia bisa berbenah. Namun, melakukan cancel culture ke seluruh pendakwah Aswaja dan pegiat moderasi beragama tentu bukan tindakan bijak. Tindakan itu hanya akan menguntungkan kelompok Wahabi intoleran radikal yang memang sejak awal anti pada Aswaja, NU, dan moderasi beragama.
Mereka memang sedari awal selalu memusuhu para pegiat moderasi beragama dan mencari-cari kesalahannya. Bahkan, ketika kesalahan itu tidak kunjung didapat, mereka tidak segan memfitnah dan melabeli para tokoh moderat dengan berbagai cap buruk.
Kita tentu ingat bagaimana kalangan radikal kerap menjuluki para tokoh Islam moderat sebagai antek asing, jongos zionis, budak Israel, dan sebagainya. Kita tentu juga tidak akan lupa bagaimana kaum radikal menghina para ulama dan kiai Aswaja, apalagi NU dengan berbagai label negatif, seperti ahlul bidah, pemuja klenik, kiai dukun, dan sebagainya. Pendek kata, kaum Wahabi intoleran radikal memang anti pada kaum Aswaja moderat.
Gelombang cancel culture yang muncul akibat polemik Gus Miftah ini tentu harus diwaspadai. Jangan sampai merembet pada tokoh pendakwah Aswaja moderat lainnya. Melokalisir gelombang cancel culture ini penting agar agenda moderasi beragama tidak digembosi oleh kasus ini.
Ke depan, penting bagi para pendakwah dan pegiat moderasi beragama untuk menjaga ucap dan perilakunya agar tidak menyinggung siapa pun. Ketersinggungan akibat ucap dan perilaku para pegiat moderasi beragama rawan diframing, dieksploitasi, bahkan diradikalisasi oleh kaum Wahabi intoleran.