Etika Dakwah (Nusantara) di Era Digital; Meneguhkan Moderasi, Mencegah Dehumanisasi

Etika Dakwah (Nusantara) di Era Digital; Meneguhkan Moderasi, Mencegah Dehumanisasi

- in Narasi
6
0

Humor terbaik adalah menertawakan diri sendiri. Humor terburuk adalah menertawakan yang lemah, dhaif, dan tak berkuasa“. Demikian quote masyhur dari seorang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Sebuah kutipan yang layak kita hadirkan di tengah hiruk pikuk kontroversi dan polemik menyangkut penceramah agama yang heboh belakangan ini.

Adalah Gus Miftah, seorang pendakwah nyentrik, yang identik dengan rambut gondrong, blangkon, dan kacamata hitam model aviator, membikin geger jagat maya dalam beberapa hari belakangan ini. Pasalnya, video ia tengah membecandai seorang penjual minuman di pengajian viral di media sosial.

Kasus ini berakhir happy ending; kedua pihak sepakat saling memaafkan. Namun, polemik kadung meluas ke tengah masyarakat. Cilakanya lagi, polemik ini seolah dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk mendelegitimasi dakwah Aswaja ala NU, agenda moderasi beragama, dan pemerintahan yang sah.

Gus Miftah selama ini merepresentasikan dakwah moderat yang mengajak pada perilaku beragama yang toleran pada keragaman agama dan adaptif pada kearifan lokal. Blangkon yang nyaris tidak pernah absen dipakai dalam penampilan publiknya seolah menegaskan komitmennya bahwa agama dan budaya tidak harus dipertentangkan.

Gus Miftah juga kerap direpresentasikan sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Belakangan, ia juga diangkat sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Pemeliharaan Sarana Ibadah dan Kerukunan Beragama. Kini, ia telah mundur dari jabatan tersebut pasca kontroversinya yang meluas. Menjadi tidak mengherankan jika blunder Gus Miftah itu dimanfaatkan kelompok radika untuk mendelegitimasi agenda moderasi beragama.

Kontroversi ini kiranya menjadi momentum untuk meneguhkan ulang etika dakwah di era digital. Era dimana apa saja bisa menjadi kontroversi karena viral. Sebuah era dimana politically correct itu menjadi isu yang penting di masyarakat. Di era digital, seorang pendakwah tidak hanya dituntut cakap dalam public speaking.

Lebih dari itu, seorang pendakwah idealnya juga memiliki kepekaan terkait isu-isu sosial-kemanusiaan. Seorang pendakwah harus memiliki perspektif terkait isu-isu kontemporer seperti keadilan gender, penghargaan terhadap disabilitas, dan lain sebagainya. Hal ini penting agar materi dakwah tidak menyinggung kaum rentan seperti perempuan, kelompok difabel, minoritas agama, dan kelompok lemah lainnya.

Tanpa perspektif tersebut, penceramah agama rawan terjebak pada perilaku dehumanisasi. Yakni perilaku merendahkan atau bahkan menghapus martabat dan harkat manusia. Ironisnya, perilaku dehumanisasi ini kerap dilakukan secara tidak sengaja. Misalnya melalui kemasan humor sarkastis yang menjurus pada seksisme, rasisme, misoginisme, dan sejenisnya.

Ironisnya lagi, tanpa sadar umat pun kerap bersikap permisif pada perilaku dehumanisasi yang dibalut dalam lelucon atau humor tersebut. Hal ini terjadi karena sejumlah hal. Antara lain, adanya sindrom bystander effect yakni sikap merasa bahwa dirinya bukan pelaku, melainkan hanya penonton. Dalam tinjauan yang lai, sikap permisif pada dehumanisasi juga menandai menipisnya empati di tengah masyarakat.

Dakwah Moderat; Memanusiakan Manusia

Hakikat dakwah moderat dengan demikian, bukan hanya ditentukan dari variabel toleransi, inklusivisme, anti-kekerasan, dan adaptif pada kearifan lokal. Lebih dari itu, dakwah moderat kiranya juga dilihat dari variabel etika dan moralitas para pegiatnya. Atau dalam hal ini adalah para penceramah agama tersebut. Menjadi absurd jika penceramah agama gemar mempromosikan keberagamaan yang toleran, inklusif, dan adaptif pada kearifan lokal, namun di saat yang sama ucapannya kerap problematik dan cenderung nir-empati.

Penceramah agama berkarakter moderat, namun probematik dari sisi etika dan moral itu akan mendatangkan kerugian bagi agenda moderasi beragama itu sendiri. Terbukti, blunder verbal para penceramah agama moderat kerap menjadi celah atau momentum bagi kalangan konservatif-radikal untuk menghajar balik dan mendelegitimasi agenda moderasi beragama.

Maka, dalam konteks dakwah Nusantara di era digital, moderasi dan humanisasi itu adalah satu paket yang tidak boleh dipisahkan. Seorang penceramah agama memiliki tanggung jawab untuk di satu sisi meneguhkan moderasi dan di sisi lain mencegah terjadinya dehumanisasi. Di titik ini, kapabilitas penceramah agama sebagai pembicara publik diuji.

Arkian, di era digital yang serba viral ini, para penceramah agama dan pegiat moderasi beragama dituntut mampu membangun retorika keagamaan yang sejalan dengan prinsip kemanusiaan. Etika dakwah moderat di era digital ini salah satunya adalah dengan mencegah perilaku dehumanisasi yang kerap tanpa sadar dilakukan melalui humor atau lelucon. Humor dan lelucon memang telah menjadi semacam bumbu atau gimmick para kiai dan ulama NU yang moderat.

Namun, jangan sampai humor atau lelucon itu justru menjurus pada dehumanisasi dan menjadi celah bagi kaum radika untuk mendeletigimasi agenda moderasi beragama. Kasus yang menimpa Gus Miftah ini kiranya menjadi pelajaran penting ihwal urgensi mengembangkan etika dakwah moderat ala Nusantara. Yakni dakwah yang berkomitmen untuk memanusiakan manusia.

Facebook Comments