Terjadi perdebatan tak berkesudahan di internal umat Islam, boleh apa tidak mengucapkan “Selamat Natal”? Hal ini wajar karena pendapat ulama juga terbelah, ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan. Tetapi, ada konsekuensi berbeda menyikapi perbedaan tersebut. Tradisi para ulama, terutama ulama-ulama salafussholih menyikapi setiap perbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Sedangkan sebagian umat Islam sekarang menyikapi secara emosional.
Klaim kebenaran hanya milik kelompok tertentu dan pendapat yang mereka pegang sebagai kebenaran tunggal dan mutlak. Hal ini berakibat pada polarisasi kelompok yang benar dan kelompok yang salah. Lebih dari itu, klaim kebenaran tersebut sampai berani melakukan tuduhan sesat, murtad atau kafir.
Perayaan Natal salah satu momen yang menjadi kambing hitam, padahal hukumnya khilaf alias ulama berbeda pendapat antara yang mengharamkan dan yang mengatakan boleh. Apa hendak dikata, fanatisme buta telah merubah sikap keberagamaan seseorang dari rahmah menjadi laknat. Agama yang mengajarkan norma-norma untuk mengedepankan sikap kemanusiaan menghormati antar agama berubah menjadi alat permusuhan dan pemicu intoleransi.
Padahal, sejarah natal juga berhubungan erat dengan sejarah umat Islam sendiri. Isa (Yesus) lahir ke dunia ini diyakini sebagai utusan Allah, membawa agama Nasrani dan kitab Injil, serta menjadi kewajiban umat Islam untuk mengimani Isa sebagai utusan Allah dan kitab Injil adalah kitab yang diturunkan oleh-Nya.
Perayaan Natal adalah momentum umat Kristiani dalam merayakan kelahiran Isa (Yesus).
Toh, sekalipun agama kristen yang sekarang dinilai menyimpang dari ajaran semula sebagaimana dirisalahkan kepada Nabi Isa, serta ada dugaan kuat kitab Injil telah mengalami perubahan, tetapi kita sebagai umat Islam harus jujur bahwa Natal adalah perayaan memperingati hari kelahiran Nabi Isa (Yesus). Umat Islam wajib tidak mengakui agama Kristen sebagai agama yang benar sebab Islam yang diembankan kepada Nabi Muhammad adalah agama penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya. Namun demikian, tidak sepatutnya menilai semua yang mereka lakukan bertentangan dengan agama Islam dan tak boleh dilakukan.
Demikian pula tentang Natal. Perbedaan pendapat para ulama tentang hukum mengucapkan selamat Natal, antara boleh dan tidak sejatinya tidak selalu menjadi percakapan perdebatan. Karena perdebatan ini pada dasarnya adalah perdebatan kosong, sama seperti selalu memperdebatkan perbedaan pendapat para ulama dalam lingkup fikih yang lain. Tidak akan ada manfaatnya karena sejatinya perbedaan pendapat para ulama bukan untuk diperdebatkan, melainkan untuk dipilih salah satunya yang paling maslahah atau manfaatnya lebih besar sesuai kondisi dan situasi.
Sebagaimana maklum dari kaidah fikih, “hukum fikih tidak berbicara di ruang kosong, ia hadir sebagai respon atas situasi dan kondisi zaman”. Seseorang yang tidak memiliki kenalan, kolega atau tetangga yang beragama kristen, lebih baik ikut pendapat yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal. Namun, bagi yang hidup di suatu tempat yang majemuk dan sering berinteraksi dengan umat Kristiani akan lebih bijak jika mengikuti pendapat yang membolehkan mengucapkan selamat Natal.
Dalil yang Mengharamkan Ucapan Selamat Natal
Ada dua hal yang menjadi alasan para ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal.
Pertama, mengucapkan selamat Natal berarti membenarkan keyakinan umat Kristiani yang menganggap Nabi Isa as. sebagai Tuhan dan membenarkan kelahirannya tanggal 25 Desember.
Dalilnya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”. (QS. al Furqa [25]: 72).
Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud “Persaksian palsu ” dalam ayat di atas adalah hari-hari raya kaum musyrik. Pendapat ini diikuti oleh beberapa ulama dari kalangan tabi’in, seperti, Abu Al ‘Aliyah, Thawus dan Ibnu Sirin.
Kedua, mengucapkan selamat Natal dianggap perbuatan tasyabbuh (menyerupai) umat Kristiani. Hal ini dilarang oleh Nabi Muhammad.
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan kaum tersebut”. (HR. Abu Daud).
Dalil yang Membolehkan Mengucapkan Selamat Natal
Para ulama yang membolehkan mengucapkan selamat Natal berargumen, perbuatan tersebut sebagai bentuk perkataan dan dan perbuatan baik kepada sesama manusia.
Argumen ini didasarkan pada ayat al Qur’an: “Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia”. (QS. al Baqarah [2]: 83).
Dalil al Qur’an yang lain, adanya kenyataan Nabi Isa as. mengucapkan selamat atas kelahirannya.
” Dan dalam (keselamatan dan kesejahteraan) semoga dilimpahkan kepadaku (Nabi Isa as.), pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. (QS. Maryam [19]: 33).
Berangkat dari dua ayat di atas, sebagian ulama membolehkan mengucapkan selamat Natal, dengan catatan, tidak meyakini Nabi Isa as. sebagai Tuhan, hanya salah satu Nabi utusan Tuhan.
Diantara para ulama tersebut adalah Habib Umar bin Hafidh dan ulama-ulama yang tergabung dalam Dewan Fatwa Mesir. Namun demikian, umat Islam tidak boleh bergabung atau ambil bagian dalam ritual ibadah perayaan Natal. Yang dibolehkan hanya mengucapkan selamat Natal.
Alhasil, dua pendapat tentang mengucapkan selamat Natal di atas tidak perlu diperdebatkan, apalagi sampai meruncing pada permusuhan. Umat Islam cukup memilih salah satunya. Adanya dua pendapat dalam fikih merupakan khazanah kekayaan intelektual yang harus dihargai, apalagi keduanya sama-sama didasarkan pada ayat al Qur’an.
Sikap terbaik adalah mencari yang lebih maslahat di antara kedua pendapat tersebut sesuai konteks lokal. Misalnya, bagi umat Islam yang tetangga kanan kirinya, teman dan rekan kerjanya kebanyakan umat Kristiani, pendapat kedua akan lebih bijak untuk menguatkan persahabatan dan persaudaraan sesama manusia.
Sementara bagi umat Islam yang hidup dilingkungan mayoritas muslim, serta tidak banyak berinteraksi dengan umat Kristiani, lebih pas memilih pendapat yang pertama. Masing-masing dengan catatan tetap harus saling menghargai.