Di tengah masyarakat yang majemuk, narasi tentang hubungan antara agama dan negara kerap menjadi perbincangan yang menarik dan sering diperdebatkan. Walaupun sejatinya diskursus ini telah tuntas di masa lalu, tetapi selalu ada pendatang baru yang selalu mengungkit dan menggugat kesepakatan lama.
Kelompok radikal kerap menuding bahwa umat Islam di Indonesia belum benar-benar bertauhid karena tidak hidup dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara formal. Artinya, bagi mereka, keislaman umat Islam Indonesia belum murni karena masih menerapkan sistem yang tidak islami. Mereka menilai sistem demokrasi dan ideologi Pancasila sebagai bentuk kemunafikan atau bahkan kekufuran, karena dianggap tidak berlandaskan hukum Allah secara utuh.
Pandangan semacam ini bukan hanya keliru secara historis dan teologis, tetapi juga mengabaikan kekayaan khazanah Islam yang bersifat inklusif, adaptif, dan kontekstual. Lebih jauh lagi, tudingan semacam ini berbahaya bukan karena akan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat, memecah persatuan umat, tetapi juga menjadi fatal karena bisa mengkafirkan saudara sesama muslim.
Pertama-tama, perlu ditegaskan bahwa syariat Islam bukan semata-mata hukum formal yang harus diberlakukan oleh negara. Syariat secara harfiah berarti “jalan menuju sumber air”, yaitu jalan hidup yang diridhai Allah. Imam al-Syathibi, seorang ulama besar yang merumuskan Maqashid al-Syariah, menyatakan bahwa tujuan utama syariat adalah menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dalam konteks negara seperti Indonesia yang plural dan multikultural, penerapan syariat tidak bisa dimaknai sebagai penegakan hukum pidana Islam secara total (hudud, qishash, dsb) di level negara, melainkan sebagai aktualisasi nilai-nilai keadilan, kasih sayang, etika, dan maslahat dalam kehidupan bersama.
Islam tidak pernah menggariskan secara formal bentuk negara dalam format tunggal.Karena itulah, dalam sejarahnya pemerintahan dalam Islam selalu dinamis dan berubah. Yang utama dalam pemerintahan yang islami adalah adanya penerapan syariat dengan prinsip-prinsip nilai: keadilan (al-‘adl), musyawarah (syura), tanggung jawab (amanah), dan kebebasan (hurriyah). Semua prinsip ini justru sangat sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Pancasila dan Tauhid: Harmoni, Bukan Kontradiksi
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak bertentangan dengan tauhid, justru menjadi wadah ekspresi tauhid yang kontekstual dalam masyarakat majemuk. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, adalah penegasan bahwa negara ini dibangun atas dasar pengakuan terhadap realitas transenden: Tuhan Yang Esa.
Secara historis, ulama dan cendikiawan muslim dalam perumusan negara telah menyepakati Indonesia bukan negara teokratis, dan memilih bentuk negara nasional berasaskan Pancasila. Pancasila tidak menafikan tauhid, tapi justru mewadahi pengamalan keimanan dalam kehidupan publik tanpa diskriminasi. Itulah nilai-nilai islami yang sebenarnya.
Pancasila memiliki nilai tauhid yang mengagungkan Ke-Esa-an Tuhan. Tetapi, Pancasila bukan agama, tapi ia melindungi penganut agama. Ia bukan syariat, tapi ia memfasilitasi syariat hidup berdampingan dalam bermasyarakat. Bertauhid di negara Pancasila adalah mengakui ke-Esa-an Tuhan dengan melindungi seluruh umat beragama dalam naungan tauhid. Dalam pandangan ini, bertauhid di Indonesia bukan berarti mendirikan negara Islam formal, tetapi menjadikan nilai-nilai tauhid – keadilan, kejujuran, tanggung jawab, dan toleransi – sebagai dasar dalam hidup berbangsa.
Indonesia, dengan Pancasila dan UUD 1945, bukan negara sekuler dalam arti memisahkan agama dan negara secara total. Ia adalah negara religius yang menjamin kebebasan beragama dan memberikan ruang bagi pemeluk Islam untuk menjalankan keyakinannya. Tidak ada larangan bagi umat Islam untuk shalat, berzakat, berhaji, mendirikan pesantren, bahkan menerapkan hukum keluarga Islam melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI). Bahkan, urusan haji, sebagai bagian syariat penting umat Islam diurus oleh negara.
Menyebut negara seperti Indonesia sebagai negara kafir adalah bentuk pemahaman yang sempit dan ahistoris. Bertauhid di negara Pancasila bukan berarti menuntut negara mengadopsi hukum Islam secara literal, tetapi mengupayakan agar nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan terwujud dalam kehidupan bernegara.
Bertauhid artinya tidak hanya mengakui keesaan Allah, tetapi juga berlaku adil terhadap sesama makhluk-Nya. Menjaga persatuan, merawat kerukunan, menjunjung keadaban, dan menolak kekerasan adalah ekspresi tauhid yang sejati. Islam tidak lahir dalam ruang kosong; ia tumbuh di tengah masyarakat yang berbeda-beda, dan selalu mengedepankan kemaslahatan. Indonesia sebagai negara Pancasila adalah model hidup damai dalam keberagaman yang sesuai dengan semangat Islam rahmatan lil ‘alamin.