Tatkala Rasulullah Saw mulai menyebarkan ajaran Islam secara terang-terangan di Makkah, tak ayal lagi, pertentangan dan permusuhan dari kaum musyrik Makkah kian hari kian kencang dan mengganas. Aneka ancaman dan intimidasi dialami silih berganti, baik oleh beliau sendiri maupun pengikutnya. Aneka kedustaan dialamatkan pada mereka. Wahyu al-Qur’an dicela dan isinya dinilai sebagai dongeng-dongeng tiada berguna.
Siksaan fisik yang dialami pengikut Rasulullah Saw kian hari juga kian berat saja. Bumi Makkah, sebagai bumi pertiwi kelahiran mereka, tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman ditinggali. Tiada lagi perlindungan. Hari-hari dihantui ketakutan atas keselamatan jiwa mereka. Melihat situasi ini, Rasulullah Saw memerintahkan shahabat-shahabatnya hijrah (berpindah) ke Habasyah (Abessenia/Ethiopia), guna meminta “suaka politik”.
Penguasa Habasyah kala itu, Raja Najasyi (Nejus) yang beragama Nashrani, dikenal sebagai penguasa yang baik dan tidak membiarkan terjadi penzaliman pada siapapun yang tinggal di wilayah kekuasaannya. Di kalangan penduduk Makkah dan sekitar Habasyah, Penguasa Nashrani ini memang dikenal luas keadilannya, karena ia menjalankan roda kekuasaan benar-benar berpanduan pada kitab sucinya.
Berbekal informasi dan harapan positif inilah, Rasulullah Saw mendorong shahabat-shahabatnya berhijrah ke Habasyah pada tahun ke-5 setelah beliau diangkat menjadi Rasul. Rombongan pertama ini sebanyak 14 shahabat; 10 laki-laki dan 4 perempuan. Diantaranya Usman bin Affan, Zuber bin Awwam dan Abdurrahman bin Auf. Mereka ini kelak menjadi tokoh-tokoh penting dalam perkembangan Islam. Rasulullah Saw sendiri tidak turut serta, karena menjadi garda depan menghadapi musuh-musuhnya di Makkah.
Mendengar pemberian suaka 14 kaum muslim ini, kafir Quraisy di Makkah berupaya memulangkan mereka. Berbagai lobi politik pada Raja Najasyi digelar. Tak ada hasil yang menggembirakan, karena Penguasa Nashrani itu berkomitmen melindungi siapun yang terzalimi dan berlindung di wilayahnya. Apalagi ia juga dikenal sangat menghormati tamu-tamunya. Alih-alih balik ke Makkah dengan resiko ancaman yang terus menghantui, mereka justru merasa aman dan nyaman di perantauan, di bawah perlindungan penguasa yang berbeda agama itu. Jaminan keamanan membuat mereka hidup tanpa rasa takut. Penderitaan di Makkah terkurangi dan bahkan mulai hilang. Mereka juga bebas menjalankan ajaran agamanya.
Namun demikian, ada juga sebagian dari mereka yang kembali ke Makkah. Bukannya mendapat kebaikan, aneka intimidasi dan ancaman tetap saja mereka terima. Keberingasan menjadi-jadi. Pencambukan, penjemuran di terik matahari, terus saja dialami. Lingkungan sosial Makkah kian tidak bersahabat bagi pengusung ajaran tauhid ini. Kesan pertama berlindung di bawah Penguasa Nashrani menjadi pemicu umat Islam di Makkah untuk turut berhijrah ke Habasyah.
Karena itu, pada tahun ke-7 kerasulan, yang berarti selang dua tahun setelah hijrah ke Habasyah yang pertama, kaum muslim melakukan hijrah keduanya. Kali ini turut serta 101 shahabat: 83 laki-laki dan 18 perempuan. Tujuh kali lipat jumlah rombongan yang pertama. Hijrah kedua ini dikomandoi Ja’far bin Abdul Muthallib. Permohonan tinggal di Habasyah yang disampaikan Ja’far-pun direspon baik oleh Raja Najasyi, yang memahami penderitaan mereka. Ia bersimpati dan berupaya melindungi mereka.
Kisah hijrah ke Habasyah yang sampai dua kali, ini sungguh menarik dicermati sebagai pelajaran. Memang benar, saat itu baik kuantitas maupun kualitas kaum muslim awal masih jauh dari ideal. Mereka belum mampu melawan penindasan yang dialami terus-menerus. Upaya mencari perlindungan ke luar Makkah mesti dilakukan. Dan tentu saja, semua atas instruksi Rasulullah Saw berdasarkan arahan wahyu Allah Swt. Bukan keputusan sendiri.
Lalu, apa nilai pelajarannya? Pertama, perlindungan keamanan dari aneka ancaman dan penindasan niscaya akan didapat dari penguasa yang adil, apapun latar belakang agamanya. Ini disadari benar oleh Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Nyatanya, di bawah kekuasaan Raja Nashrani itu, kaum muslim merasa nyaman dan terlindungi. Hingga dua kali mereka berhijrah. Betul, kondisi kaum muslim yang lemah menjadi alasannya. Sebab jika kondisi kaum muslim kuat, tentu saja tidak perlu mereka meminta perlindungan, melainkan berkewajiban melindungi siapapun yang terzalimi.
Kedua, Habasyah sendiri oleh Rasulullah Saw tidak diniatkan sebagai tempat hijrah yang permanen. Beliau menilai, tanah Habasyah tidak subur (kering), tanah dataran rendah, dll. Karenanya, Habasyah semata tempat sementara guna menghindari aneka intimidasi dari para musuhnya. Rasulullah tetap memandang hijrah di wilayah Jazirah Arabia menjadi tempat terbaik, yang karenanya hijrah yang permanen dilakukan ke Madinah. Lagi-lagi, alasan utamanya ke Habasyah hanyalah untuk mendapat perlindungan sosial.
Ketiga, dalam konteks perlindungan dan keadilan, Rasulullah Saw saat itu tidak lagi melihat Raja Najasyi berdasarkan latar belakang agamanya. Keadilan dan kepedulian pada pihak yang terzalimi menjadi alasan utama mencari suaka politik ke Habasyah. Apapun latar belakang agamanya, jika ia menerapkan keadilan bagi seluruh lapisan penduduknya, maka kesejahteraan dan keamanan akan tercukupi dengan baik. Inilah substansi peran penting kekuasaan. Dalam konteks modern, hal-hal demikian juga semestinya penting menjadi catatan.
Itulah beberapa makna penting hijrah ke wilayah yang dikuasai non-muslim, yang semestinya menjadi catatan yang tak boleh dilupakan. Kita umat Islam juga patut berterima kasih pada Raja Nashrani itu, karena keadilannya menjadikan Islam bertahan hingga hari ini, selain juga karena izin Allah Swt tentu saja.