Memainkan Isu Sara bukan Karakter Bangsa Kita

Memainkan Isu Sara bukan Karakter Bangsa Kita

- in Narasi
1114
0

Media sosial sudah menjadi bagian dari keseharian banyak orang. Di media sosial, setiap hari orang saling terhubung, saling berkomunikasi, maupun membaca dan membagikan informasi. Hal tersebut juga menjadi aktivitas sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan, Indonesia termasuk negara dengan penduduk yang paling cerewet di media sosial. Tepatnya, Indonesia berada di urutan ke-5 sebagai negara paling cerewet di dunia maya.

Bahkan, data semiocast.com, sebuah website yang mendata terkait aktivitas sosial media, menyebutkan, Ibu Kota negara Indonesia, Jakarta, merupakan kota paling cerewet di dunia maya. Setiap detik, ada 5 tweet atau kicauan di Twitter dari warga Jakarta. Selain itu, kota Bandung, sebuah kota yang juga dari Indonesia, berada di urutan ke-6. Jakarta dan Bandung mengungguli kota-kota besar seperti Paris dan Los Angeles. Ini menggambarkan betapa besar dan tingginya aktivitas masyarakat Indonesia di dunia maya.

Di satu sisi, masyarakat Indonesia termasuk dalam masyarakat yang paling cerewet di dunia maya. Dalam keaktifannya tersebut, segala hal bisa dituangkan, baik perasaan, aktivitas, sampai pemikiran dan tanggapan terhadap pelbagai macam isu yang sedang berkembang. Di sisi lain, masyarakat Indonesia juga merupakan masyarakat majemuk, terdiri bermacam suku, agama, ras, dll., yang mana membawa konsekuensi berupa keragaman budaya, pandangan, kepercayaan dan sebagainya. Di titik inilah, terlihat risiko besar terjadinya gesekan dan pertikaian di dunia maya bagi masyarakat kita.

Dunia maya, terutama media sosial telah menyediakan panggung yang luas dan bebas bagi siapa pun untuk berekspresi. Ruang yang bebas tersebut kemudian tak jarang membuat orang gegabah mengeluarkan statement, pendapat, maupun perasaan, tanpa memikirkan dampak yang lebih jauh. Akibatnya, tak jarang muncul posting-an dan unggahan dengan konten-konten yang bermuatan SARA yang beterbaran di media sosial, entah yang sengaja dibuat dan disebarkan demi kepentingan tertentu, maupun yang dibuat dengan gegabah karena ketidaksengajaan atau ketidaktahuan individu.

Lidya Wati Evelina, dalam penelitian berjudul Analisis Isu SARA di Media Sosial Indonesia (2015), memaparkan pelbagai kasus terkait isu SARA dalam rentan waktu 3 tahun anyara 2013-2015. Kasus-kasus yang banyak terjadi di Facebook dan Twitter tersebut di antaranya seperti kicauan rasis yang dilontarkan seorang pengacara terhadap seorang pejabat, kasus seorang wanita yang menghina warga Yogyakarta di Path, sampai kasus pemuda dari Lombok yang mengujat perayaan Nyepi di Bali. Melihat pelbagai kasus tersebut, Lidya mengatakan bahwa ekspresi di media sosial dapat mengakibatkan keruguan bagi individu yang mengunggah emosinya. Selain sanksi moral dari masyarakat, mereka mendapat sanksi hukum.

Kasus-kasus tersebut menggambarkan dampak besar sebuah ungkapan di media sosial ketika sudah menyinggung persoalan SARA. Persoalan menjadi bukan lagi sekadar individu dengan individu, namun akan membangkitkan amarah suatu kelompok, sehingga berisiko besar menciptakan pertikaian lebih luas di masyarakat. Bahasa di media sosial memang cenderung bebas. Orang bisa melontarkan ungkapan apa pun dengan mudah dan cepat tanpa proses penyuntingan atau editing terlebih dahulu. Bahasa yang bebas tersebut kemudian rentan menyinggung orang lain. Terlebih, jika apa yang dituangkan sudah menyinggung hal-hal sensitif menyangkut SARA.

Jika melihat ke belakang, di samping kasus-kasus bermuatan SARA yang pernah terjadi media sosial tersebut, bangsa ini juga pernah mengalami beberapa konflik bermuatan SARA yang mengakibatkan peperangan, kerusakan, dan bahkan pembunuhan secara luas. Kita ingat kasus-kasus seperti sentimen terhadap etnis Tionghoa yang berujung penjarahan dan kekerasan mengerikan pada 1998, konflik umat beragama di Ambon pada 1999 yang melibatkan umat Islam dan umat Kristen, sampai konflik antara suku Dayak dan Madura dalam tragedi Sampit di tahun 2001. Ironisnya, pelbagai konflik yang telah memakan banyak korban tersebut di antaranya bermula dari konflik politik, sosial, ekonomi, maupun konflik antar individu yang digoreng atau disuarakan secara gegabah hingga merambah ke wilayah SARA.

Bukan kita

Melihat betapa menyakitkan dan mengerikannya dampak dari konflik SARA yang pernah terjadi pada bangsa ini, kita menjadi semakin sadar akan bahaya dari sikap rasisme, sentimen, ujaran kebencian, dan pelbagai sikap yang bisa memicu terjadinya pertikaian, peperangan, dan perpecahan bangsa. Bahwa sebagai bangsa majemuk dengan masyarakat beragam, sikap yang lebih perlu ditumbuhkan adalah sikap saling menghargai dan toleransi.

Nilai-nilai dan sikap tersebut sebenarnya sudah ditunjukkan masyarakat Nusantara dan para pendahulu kita sejak dulu kala. Masyarakat Nusantara sejak zaman dahulu dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan terbuka terhadap pengaruh budaya baru. Hal ini misalnya tergambar dari munculnya pelbagai akulturasi budaya, di mana bangsa kita menerima pengaruh budaya lain yang datang, seperti kebudayaan Hindu-Budhha dari India, maupun pengaruh Islam dari Timur Tengah, tanpa kehilangan karakter dan kebudayaan asli Indonesia. Perbedaan disikapi dengan kebijaksanaan, sehingga ditransformasikan menjadi hal baru yang indah, unik, demi kehidupan bersama yang harmnonis. Hal ini pula yang dilakukan para pendiri bangsa kita saat mendirikan bangsa ini lewat semangat persatuan dan komitmen membangun negara Pancasila.

Para pendahulu telah mengajari kita bagaimana menjadi bangsa yang besar dengan penghargaan yang tinggi terhadap keragaman. Artinya, kita bukan bangsa yang gampang bertikai hanya karena perbedaan, terlebih karena perbedaan primordial bernuansa SARA. Kita adalah bangsa besar yang menjunjung tinggi persaudaraan, kesetaraan, dan menghargai keragaman, bukan bangsa yang gemar memainkan isu SARA hanya untuk kepentingan sempit demi kekuasaan maupun golongan.

Facebook Comments