Masih segar dalam ingatan kita, ulah aktivis perempuan Ratna Sarumpaet yang menyebarkan berita bohon atas dirinya. Entah itu motif politik maupun sekadar mencari sensasi, apa yang telah dilakukan Sarumpaet adalah tindakan tidak terpuji. Maka wajar saja ketika ada lembaga yang menganugerahi Sarumpaet sebagai “Ibu Hoax Indonesia”. Pun, sudah merupakan keputusan yang tepat ketika pihak kepolisian menangkapnya, karena telah membuat gaduh masyarakat Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa internet menjadi lahan basah penyebaran hoaks. Setidaknya, dari kasus tersebut, masyarakat mestinya bisa belajar bahwa informasi yang kelihatannya valid, ternyata mengandung kebohongan yang tak bisa diampuni. Sehingga, dalam menerima berita tersebut, seseorang perlu diam sejenak untuk mencerna informasi tersebut, baru setelah yakin bahwa berita itu bukan merupakan kebohongan, boleh menyebarkannya.
Terlebih kini kita masuk ke tahun politik. Di mana hal apapun bisa dijadikan komoditas politik, termasuk tragedi yang tengah menimpa Palu, Donggala, dan Sigi. Warga negara dan/atau pengguna internet aktif, mesti jeli dalam memilah rimba informasi, sehingga tidak terjebak pada informasi hoaks. Karena, ketika satu orang termakan hoaks –tanpa sadar- lalu menyebarkan informasi tersebut, maka akan membawa korban lainnya yang lebih banyak dan dampaknya juga luas.
Mengacu pada data yang dirilis oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika, pada tahun 2016 saja ada hampir 800 ribu akun, baik media sosial maupun portal online, yang telah diblokir karena mengandung konten hoaks maupun ujaran kebencian. Tahun 2017, ada sekitar 600 akun yang diblokir karena melakukan tindakan yang sama.
Data kementrian tersebut bisa menjadi warning bahwa Indonesia darurat hoaks –dan klaim itu semakin menguat semenjak Sarumpaet dengan percaya diri menebarkan virus kebohongan. Warganet di manapun di Indonesia mesti menyadari status ‘darurat hoaks’ ini, supaya dalam beraktivitas di dunia maya bisa terkontrol, dan tidak langsung berbagi informasi ketika belum memastikan kebenarannya. Karena, diakui atau tidak, acapkali reaksi masyarkat berawal dari berita hoaks yang tersebar di dunia maya.
Setidaknya survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada 7-9 Februari terhadap 1.116 responden di Indonesia menyatakan bahwa sebanyak 44,30 persen masyarakat menerima berita hoaks setiap hari. Sementara 17,20 persen menyatakan menerima berita hoaks lebih dari sekali dalam sehari.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia masih belum mampu memilah informasi hoaks dan valid. Ini tentu menjadi keprihatinan bersama, karena berawal dari hoaks, amat mudah bagi jalinan persaudaraan dan bangunan perdamaian sebuah komunitas tercerai berai.
Literasi Digital, Kunci Lawan Hoaks
Seseorang mudah termakan isu hoaks karena tidak memiliki nalar kritis dalam menerima informasi. Nalar kritis inilah yang mesti dibangun semenjak dalam keluarga, lalu sekolah dan masyarakat. Untuk memiliki ‘perangkat’ nalar kritis tersebut, adalah dengan jalan melakukan literasi digital. Literasi, secara sederhana bisa dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses mambaca dan menulis. (www.komunikasipraktis.com) Keahlian mengolah informasi juga berbading lurus dengan ‘jam terbang’ kita dalam membaca. Dari hasil bacaan itulah, kita lalu bisa menuangkan dalam bentuk tulisan. Bacaan yang berkualitas, akan melahirkan tulisan yang berkualitas pula.
Selain membaca buku, untuk mengikuti perkembangan zaman, kita juga perlu mengonsumsi informasi dari internet, yang amat pesat perkembangannya. Implementasi literasi digital, bisa dilakukan untuk memilah informasi yang berserak di internet. Adapun caranya adalah, pertama, berhati-hati dengan judul yang provokatif. Indikator paling mudah untuk menyimpulkan sebuah informasi itu hoaks adalah dari judulnya. Berita hoaks biasanya menggunakan judul-judul provokatif dan sensasional.
Kedua, cermati alamat situs. Galilah informasi sedalam-dalamnya dari situs yang dapat dipercaya. Ketiga, periksa fakta. Untuk memeriksa apakah informasi tersebut mengandung fakta atau sekadar rekayasa, maka perhatikanlah sumber informasi tersebut. Jika hal tersebut berasal dari politikus, pegiat ormas, bahkan pengamat sekalipun, sebaiknya jangan mudah percaya. Karena mereka bukanlah sumber yang ‘netral’.
Keempat, cek keasilian foto. Ada banyak informasi yang ternyata menyertakan foto tidak sesuai konteksnya. Sebagaimana kerap terjadi dalam berita mengenai konflik di Timur Tengah, kerap menampilkan foto hoaks, dalam arti tidak ada hubungan antara isi berita dan foto. Kelima, ikut serta dalam grup anti-hoaks. Ada banyak grup anti hoaks yang tersebar di Facebook dan media sosial lainnya, salah satunya adalah Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoaks (FAFHH).