Kaum Muda dan Narasi Media Sosial

Kaum Muda dan Narasi Media Sosial

- in Narasi
1752
1
Kaum Muda dan Narasi Media Sosial

Perilaku masyarakat dalam bermedia sosial terlihat memprihatinkan. Media sosial tidak digunakan secara arif untuk menyampaikan kebenaran dan penghormatan, melainkan untuk menyebarkan fitnah dan hujatan. Satu peristiwa kecil, melalui media sosial, bisa diframing dalam berbagai bentuk. Tindakan positif, dapat dipelintir menjadi perbuatan negatif. Sementara aktivitas negatif, bisa dibingkai sebagai hal positif. Orang yang berbuat baik, mendadak bisa dituduh sebagai perusak. Sementara orang yang tidak baik, dapat dianggap orang terhormat. Kebenaran benar-benar menjadi absurd. Ketidakmampuan untuk melihat hakikat kebaikan dengan cara menyingkirkan dusta-dusta yang tercampur didalamnya merupakan hal yang membuat permasalahan menjadi pelik. Dibutuhkan kecerdasan tingkat tinggi untuk mengatasinya, sehingga fenomena ini tidak terus hadir di sekitar kita.

Salah satu kasus teranyar adalah viralnya video pembakaran bendera bertuliskan tauhid yang dilakukan oleh anggota Banser di Garut. Sontak saja, kejadian ini memicu polemik. Di media sosial, kondisinya lebih menyeramkan. Fitnah dan hujatan datang silih berganti. Berbagai klarifikasi, argumentasi, dan permohonan maaf yang dilakukan pihak pembakar bendera tidak semakin meredakan suasana. Isu ini pun terus digoreng tanpa lelah oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tersendiri. Padahal jika kita dapat berpikir jernih, isu ini hanyalah persoalan kesalahpahaman. Tidak ada maksud sengaja untuk menghina kalimat tauhid. Sungguh, terus membesarkan masalah ini sangat kontraproduktif dengan keinginan kita semua. Dan tidak memberi keuntungan apapun. Terlebih lagi, yang terlibat didalamnya sama-sama Muslim, sehingga harus bisa berlapang dada terhadap saudaranya.

Narasi propagandis yang ingin memecah belah kerukunan bangsa inilah yang harus diwaspadai. Jangan sampai rakyat terjebak dalam permainan orang-orang yang tidak menginginkan kedamaian di Indonesia. Apalagi tidak bisa dipungkiri, bahwa ada segelintir pihak yang menengguk keuntungan dari beragam situasi ini. Dan merekalah yang harus diperangi dan diberantas. Kita harus paham siapa kawan dan siapa lawan. Jangan menjadikan lawan sebagai kawan, dan kawan menjadi lawan. Siapa yang gemar menghasut dan mengadu domba, harus dimusuhi. Sementara mereka yang senang mendamaikan, wajid dirangkul.

Baca juga :Nyali Pemuda Masa Kini

Tanggung jawab ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Meskipun begitu, kita berharap ada sekelompok elit masyarakat yang bisa menjadi garda depan untuk melawan berbagai propaganda dan narasi perpecahan di media sosial. Mereka diharap menjadi teladan dalam menciptakan perdamaian. Dan salah satu elit yang bisa memikul beban ini adalah pemuda. Sebagai kaum terdidik dan mampu membaca situasi zaman, pemuda perlu membuat inisiatif dan terobosan untuk membenahi ketidakberesan yang menjamur di masyarakat. Menuntun nalar orang-orang sekitar agar memahami kebenaran dan kebohongan. Mengajak sesama menjauhkan diri dari hoaks dan hasutan pemecah bangsa. Peran seperti inilah yang diharapkan hadir kembali pada generasi muda Indonesia.

Kita menginginkan, Indonesia tetap menjadi negara yang aman, damai, dan penuh dengan kesejahteraan. Tidak seperti negara-negara lain yang hari-harinya dipenuhi dengan perang dan permusuhan. Merujuk pada Indeks Perdamaian Global Tahun 2018, yang dikeluarkan oleh the Institute for Economics and Peace, menyatakan Indonesia berada di peringkat 55 dari 163 negara yang dikaji. Peringkat ini turun 2 peringkat dari tahun sebelumnya. Dalam lingkup Asia Pacifik, Indonesia berada pada posisi 10 di bawah New Zaeland, Singapura, Jepang, Australia, Malaysia, Taiwan, Laos, Mongolia, dan Korea Selatan. Dari 163 negara di dunia, peringkat terbawah adalah Somalia, Irak, Sudan Utara, Afganistan, dan peringkat terakhir adalah Suriah.

Memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-90 (28 Oktober 2018), tanggung jawab sosial kaum muda untuk masyarakat perlu digelorakan. Kita perlu belajar dari sejarah, bagaimana anak-anak muda memiliki mimpi dan idealisme untuk mempersatukan Indonesia. Pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928, anak-anak muda berkumpul dan mengikrarkan persatuan. Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Berbagai suku, agama, ras, dan golongan, tidak membuat sekat bagi anak-anak muda di masa perjuangan kemerdekaan. Indonesia tetap menjadi hal utama, menyingkirkan perbedaan diantara mereka. Jika spirit Sumpah Pemuda ditarik pada kondisi saat ini, seharusnya tidak ada lagi keributan yang mengatasnamakan identitas SARA. Termasuk kegaduhan di media sosial yang melibatkan sesama anak negeri.

Facebook Comments