Adu Domba dan Over-klaim Bela Pancasila

Adu Domba dan Over-klaim Bela Pancasila

- in Narasi
504
0
Adu Domba dan Over-klaim Bela Pancasila

Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menimbulkan polarisasi di masyarakat. Pro-kontra tidak terelakkan. Satu pihak mengklaim, rancangan itu demi merawat eksistensi Pancasila. Pihak lain menyatakan, rancangan itu justru akan merusak Pancasila. Saling klaim pun terjadi. Setiap pihak merasa paling benar.

Saling klaim dengan merasa diri paling benar adalah masalah dalam konteks berbangsa dan bernegara. Meyakini bahwa hanya pihak/kelompoknya yang benar, sementara pihak/kelompok lain salah, akan mengakibatkan hubungan harmoni sesama anak bangsa bisa rusak. Terlebih-lebih, klaim kebenaran itu diikuti dengan aksi-aksi kekerasan, provokasi, adu domba, serta ujaran kebencian.

Demi mempertahankan klaimnya benar, menjatuhkan kelompok lain pun dianggap sah. Demi memperlihatkan bahwa klaim kelompok lain salah, maka memfitnah, memprovokasi, bahkan melakukan ujaran kebencian dianggap sebagai jalan jihad.

Fenomena inilah yang kita lihat akhir-akhir ini, terutama di media sosial. Setiap kelompok sibuk dan merasa dirinya paling benar. Kelompoknya paling berhak membela Pancasila. Pihaknya paling berjasa menjaga Pancasila. Partainya yang paling gigih merawat Pancasila dengan sederat klaim lainnya.

Inilah yang saya sebut dengan overklaim. Klaim berlebihan tanpa memberi bukti dan fakta. Klaim yang jauh dari tindakan riil di lapangan. Klaim yang hanya omong kosang. Di mulut katanya membela, tetapi dalam praktik malah sebaliknya.

Yang kita perlukan sekarang bukan klaim pembelaan, melainkan bukti riil bahwa laku kita dalam berbangsa dan bernegara sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Kita membumikan Pancasila di kehidupan sehari-hari. Tidak korupsi, tidak mengusung ideologi khilafah, merawat kebhinekaan dan persatuan. Inilah yang disebut “membela” Pancasila, bukan dengan klaim kosong saja.

Adu Domba dan Bahaya Truth Claim

Klaim kebenaran (truth claim) bukan saja berbahaya dalam beragama (Charles Kimball: 2013), melainkan juga ia sangat destruktif dalam hubungan berbangsa dan bernegara. Kita boleh mayakini bahwa kelompok/pihak kitalah yang benar, tetapi dengan catatan kita tidak mengasikan bahwa kelompok lain juga ada kemungkinan benar.

Baca Juga : Bersiaga Memerangi Provokasi di Media Sosial

Jika yang terjadi klaim sepihak, sembari menegasikan pihak lain, sangat berbahaya bagi keberlangsungan hubungan harmoni anak bangsa. Inilah yang disebut overklaim. Segala macam cara dilakukan demi menunjukkan bahwa pihak/kelompoknyalah paling sahih.

Bahaya turunan berupa ujaran kebencian, provokasi, adu domba, bahkan sering terjadi aksi kekerasan, sangat mudah kita jumpai di sosial media. Pemelitiran suatu fakta dengan dalih membela klaim kelompoknya sering dilakukan. Dramatisasi dengan menjadikan kami pahlawan, meraka penghianat, adalah strategi yang sering dimainkan. Kontestasi demi maraup simpati –dengan segala cara –akan dilakukan oleh kelompok yang merasa dirinya paling benar.

Adu domba adalah salah satunya. Dengan memelintir dan mempermainkan emosi, para pengguna media sosial dengan mudah ditarik ke gerbang kelompoknya. Ketika ada dramatisasi dan provokasi terhadap sebuah peristiwa, maka emosi para pengguna medsos mau tidak mau akan ikut hanyut dan terbawa, yang pada akhirnya akan me-share, like, berkomentar.

Pemelintiran di sini bermakna luas, ia bisa bermakna mendramatisir sebuah peristiwa atau kasus, yang sejatinya biasa-biasa saja; atau menginterpretasikan sebuah informasi, yang tujuannya bukan itu atau sesuai dengan kepentingannya; mengedit video kemudian membubuhi bahasa-bahasa provokatif yang membuat orang lain terpancing; atau membelokkan suatu maksud informasi kepada tujuan palsu. Semua bentuk dan pola ini adalah pemelintiran. Semuanya dilakukan demi klaim kebenaran kelompoknya.

Mempermainkan emosi dengan pemelintiran tentu sangat mudah. Hal ini disebabkan, konten dan informasi di medsos tidak bisa diverifikasi langsung oleh penerima kerena banyaknya informasi yang beredar. Semakin banyak pemelintiran yang beredar, maka semakin besar kemungkinan emosi para pengguna medsos terbawa, yang berujung banyaknya adu domba dalam bentuk ujaran kebencian, rasisme, dan semacamnya.

Bela Pancasila dengan Laku Pancasila

Membela Pancasila sejatinya bukan dengan overklaim, melainkan dengan laku. Sikap, tindakan, dan prilaku harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Tidak ada gunanya berbusa-busa meng-klaim bahwa pihaknya paling Pancasilais, sementara tindakan dan prilakunya justra sangat kontras bertolak belakang dengan Pancasila.

Pancasila tidak perlu dibela dengan aksi-aksi demontrasi, apalagi diikuti dengan aksi kekerasan. Yang kita butuhkan saat adalah agar Pancasila bisa membumi dalam setiap lini dan aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila harus dijadikan sumber laku kahidupan. Bukan sekadar slogan kosang saja.

Laku Pancasila adalah upaya mempraktekkan nila-nilai Pancasila dalam tindakn riil di masyarakat. Ia adalah betuk implentasi dan penanaman nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Dalam teorinya, ada tiga cara penegakan nilai Pancasila, yakni preemtif, preventif dan represif. Refresif adalah pemaksaan. Preventif adalah pencegahan. Keduanya dinilai banyak sisi lemah, kadang justru menimbulkan penolakan. Sementara preemtif penanaman nilai-nilai agar bisa diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Preemtif merupakan penanaman nilai-nilai agar dapat meningkatkan kesadaran di masyarakat untuk tidak melanggar setiap peraturan yang dibuat pemerintah di tengah pandemi Covid-19. Cera ini dengan mempraktekkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sikap gotong royong, persatuan, kemanusian, kepedulian sosial adalah modal besar dalam perang mala pendemi. Dengan laku Pancasila adalah upaya untuk menyadarkan masyarakat bahwa di tengah ujian besar kepada bangsa ini, kita masih punya pegangan bersama. Pegangan itu dalam sejarah telah berhasil menjadikan bangsa ini keluar dari berbagai ujian.

Facebook Comments