“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang baru saja lancar dilakukan.
Bisa jadi, ucapan “Allah” itu terbentuk karena TV, pengajaran orangtua atau orang lainnya. Namun, satu hal yang pasti, saya selaku bapaknya belum pernah mengajarinya dan tontonan TV ataupun pengajaran para orangtua awam tak semata kalimat “Allah” yang berdiri sendiri yang lazim diajarkan.
Tak pula anak itu, Pandam namanya, saya ukur dengan ukuran kalangan kejawen ataupun tarekat yang konon meski menghunjamkan kalimat-kalimat semacam itu menjadi sealami detak jantung ataupun hembusan nafas. Namun, tak pula saya berniat mengajarinya dengan menambahkan kalimat-kalimat lainnya yang lazim dikaitkan.
Setidaknya, peristiwa-peristiwa semacam itu, bagi saya, menyingkapkan bahwa bukan semata orangtua, keluarga ataupun sekolah yang turut membentuk seorang anak manusia.
Konon, bagi kalangan kejawen, dan barangkali juga kalangan tarekat, setiap anak manusia sudah dilengkapi dengan berbagai dimensi yang tak hanya sekedar dimensi jasmaniah. Namun juga apa yang dikenal sebagai dimensi ruhaniah yang terbagi ke dalam hati, suksma, dst. Dan ketika agama telah sampai pada dimensi-dimensi di atas jasad atau jasmani itulah, agama tak lagi menjadi sekedar doktrin (benar-salah, surga-neraka) ataupun ideologi, namun juga representasi dari urip atau kehidupan itu sendiri.
Hidup, pada dasarnya, adalah lebih hadir sebagai dunia penghayatan daripada dunia refleksi atau konsepsi, yang oleh Husserl disebut sebagai “lebenswelt,” yang meruncing pada bangunan doktrin ataupun ideologi. Dan dunia anak adalah sebentuk dunia penghayatan yang paling gamblang dirasakan.
Maka, konon, karena itulah spiritualitas hadir untuk melengkapi agama agar tak berlangsung secara selebratif dan garing. Dalam agama Islam, spiritualitas itu dikenal sebagai tasawuf atau sufisme yang bekerja di wilayah kebatinan sebagai kelengkapan dimensi jasmaniah manusia.
Secara sederhana, bukti dari keberadaan wilayah kebatinan ini adalah fenomena mimpi yang terjadi pada manusia. Fenomena mimpi ini ternyata sama sekali tak melibatkan dimensi jasmaniah manusia, meskipun terkadang dalam alam mimpi itu si pemimpi merasakan juga fenomena ketubuhan.
Agama yang berlaku sebagai doktrin, atau bahkan ideologi, tentu saja bukanlah agama yang merepresentasikan sebentuk kehidupan. Baik-buruk, benar-salah, beriman-kafir, surga-neraka, dsb., tentu saja adalah perlu, meskipun terkadang dapat mereduksi sebuah kehidupan yang sebenarnya berlangsung dengan logikanya sendiri.
Pemahaman seperti itulah yang sebenarnya dikandung dari apa yang dikenal dalam agama Islam sebagai kalimat takbir. Agama sebagai doktrin dan agama sebagai kehidupan tentu saja adalah dua hal yang dapat dibedakan, dimana yang pertama dikenal sebagai sebentuk religiositas dan yang kedua sebagai spiritualitas.
Radikalisme, dengan demikian, adalah ekses yang dapat ditimbulkan dari keberagamaan yang sekedar menekankan pada aspek doktriner agama belaka, tak ubahnya hafal akan komposisi sepercik air tanpa sama sekali merasakan kesegarannya. Maka, tentu saja orang-orang yang meletakkan agama sebagai sebentuk kehidupan akan lebih dapat menikmati dan merayakan kehidupan dengan segala keadaannya, dimana kehidupan itu sendiri pun, lazimnya, akan lebih dapat menyambutnya daripada yang sekedar meletakkan agama sebagai sekedar doktrin yang hanya terdiri dari benar-salah, beriman-kafir, dan surga-neraka.