AYO Mondok (Bag 3)

AYO Mondok (Bag 3)

- in Narasi
4659
0

Model Kepengasuhan Pondok Pesantren

Seperti halnya model pesantren, model-model kepengasuhan pun banyak rupanya. Ada jenis pengasuh tunggal; berupa seorang kiai (biasanya sudah sepuh) yang menjadi one-man-show di pesantren tersebut. Tipe ini menuntut kiai untuk jadi ‘ultraman’; mengajar semua materi untuk semua pengajian, sebagaimana umum terjadi di pesantren salaf non-klasikal. Lebih dari itu, kiai bahkan memimpin seluruh kegiatan keagamaan pula, termasuk imam shalat berjamaah 5 kali sehari.

Si ‘ultraman’ ini dituntut segala-galanya, termasuk membereskan masalah dana operasioal pondok yang notabenenya tanpa dana berarti dari iuran santri, apalagi dari pemerintah. Bukan tak ada lagi sih, model kepengasuhan macam ini sudah jarang ditemukan, hanya banyak di dalam empunya cerita, dari si anu dan menurut si anu. Akibatnya, kiainya tidak bisa piknik sama sekali, menghabiskan semua usia dan kesehariannya di pesantren. Wisatanya hanya dari kondangan ke kondangan, tahlilan ke tahlilan, dan dari kitab yang satu ke kitab lainnya, gitu tok!

Umumnya, di banyak pesantren yang ada di Madura dan daerah Tapal Kuda, Jawa Timur, kiai hanya mulang (mengajar) kitab-kitab inti, baik harian ataupun per setengah pekan atau mingguan. Ada pula yang ‘membebani diri’ lagi dengan memimpin langsung shalat berjamaah sepanjang waktu. Bonus kesibukannya adalah melakukan pengajian di luar pondok dan beberapa kegiatan sosial di lingkungan masyarakat sekitar. Jadi, tugasnya sangat banyak dan sangat melelahkan. Inilah salah satu sebab mengapa kiai yang berbisnis itu umumnya tidak dapat menjalankannya sendiri, melainkan titip modal usaha saja karena waktunya habis untuk yang begini-begini.

Model lainnya adalah pengasuh ekskutif. Kiai bertanggung jawab terhadap roda kepesantrenan, namun yang menjalankan adalah para guru, ustad, saudara atau famili (keluarga dalem). Kiai seperti ini biasanya mengimami shalat untuk waktu tertentu saja, semisal maghrib dan subuh, atau pada waktu lainnya. Model seperti ini juga lazim dan semua maklum sebab kiai juga memiliki tugas lain yang tak kalah pentingnya.

Salah satu model kepengasuhan unik adalah kepengasuhan keluarga. Misalnya, pesantren memiliki beberapa komplek pondok yang disebut dengan pesantren daerah dan dipimpin oleh seorang kiai (konon, di University of Oxford juga begitu, di mana college-college yang mirip asrama di pesantren tersebut diketuai oleh seorang profesor). Mereka semua adalah pengasuh tunggal namun di daerah masing-masing, mirip negara serikat. Awal terbentuknya bermula dari putra dan putri atau menantu kiai sepuh yang hijrah, menerima santri dan menyediakan asrama tersendiri, tapi lembaga pendidikan formalnya tetap sama.

Dengan demikian, tak ada ‘pengasuh pesantren’. Yang ada adalah ‘pengasuh pesantren daerah A atau daerah B dan seterusnya’. Namun begitu, tetap ada yang dituakan, yang oleh orang luar pesantren disebut ‘pengasuh’ karena faktor kesepuhannya.

Masalah Utama: Tidak Betah

Seperti yang disampaikan pada bagian awal tulisan ini, bahwa kecenderungan mondok itu umumnya berasal dari orangtua atau walisantri dan bukan dari si anak sendiri, maka wajar jika banyak ditemukan anak yang tidak kerasan; tidak betah tinggal di pondok. Penyebabnya adalah perubahan besar lingkungan dan pergaulan si anak: dari lingkungan terbatas (keluarga kecil) ke lingkungan heterogen (di pesantren), dari serba-bebas ke serba-terbatas, dari serba dilayani ke situasi kehidupan yang lebih mandiri.

Tidak kerasan/betah juga muncul karena aturan pondok yang ketat jika dibandingkan dengan kehidupan mereka sebelumnya yang serba-bebas, termasuk keterbatasan fasilitas, sarana dan prasarana, sanitasi. Ketika wali santri mengeluhkan keterbatasan ini, jadilah ia kenyataan yang sulit, sebab pesantren seolah dituntut untuk menyediakan banyak fasilitas namun dengan dana terbatas (saya tidak mengerti cara berpikir seperti ini).

Andai ada usul menaikkan biaya, terkadang baru kiai mudanya saja yang setuju, kiai sepuh keberatan sebab tujuan pesantren didirikan salah satunya agar anak-anak desa yang miskin tidak gagal mondok hanya karena alasan biaya. Repot, bukan? Kenyataannya, dan ini yang lebih repot, adanya fasilitas yang wah tidak menjamin seseorang lantas betah. Tidak kerasan/betah memang mirip rasa takut, tak ada obatnya.

Jika sakit kepala dapat diatasi dengan paracetamol, maka ‘sakit’ karena tidak betah biasanya diobati dengan beberapa cara yang malah terkesan irasional. Walisantri umumnya membawa petunjuk orang kuna, yaitu membawa setangkup pasir/tanah dari rumahnya untuk kemudian ditaburkan di sekitar halaman bilik si anak. Konon, cara ini dianggap suatu ‘syarat’ agar anak kerasan dengan suasana baru. Barangkali, cara ini adalah upaya membawa suasana dan aura pekarangan rumah dan dihadirkan ke lingkungan pondok dalam wujud debu-debu itu. Cara lain yang juga populer adalah memberi minum si santri baru itu dengan air kulah atau bak mandi. Jijik, ya? Begitulah.

Ayo Mondok! Mengapa Mondok?

Dari awal, yang saya paparkan adalah pengalaman apa adanya, kenyataan ala kadarnya. Rasanya, belum ada barisan kalimat yang menyentuh sisi persuasi. Saya mencegah diri untuk menulis paragraf yang mengandung iklan terselubung perihal keunggulan ‘pesantren’ dan ‘mondok’ karena khawatir akan menciptakan asumsi yang melampaui bayangan dan pengandaian mereka yang sama sekali belum pernah tinggal di sana. Tidak seperti kampus-kampus yang punya slogan, seperti “kampusnya orang beradasi”, “kampusnya para astronot”, “kampusnya para dukun”, misalnya, dlsb. Setahu saya, pesantren tidak biasa mengiklankan diri. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab moral, juga karena semakin banyaknya santri pun tidak akan membuat pesantren meraup banyak keuntungan finansial.

Bahkan, ada pandangan berpantang untuk menolak santri seberapa banyak pun yang datang, sebabnya adalah karena larangan ‘menghalangi’ orang yang mencari ilmu. Jadi, jika situasi pondok tersebut dianggap tidak kondusif, calon santri akan menjalani seleksi alam: tetap tinggal atau tidak kerasan.

Yang sekarang perlu diketahui adalah alasan ‘mengapa mondok?’ sebab terlanjur diajak; ‘ayo mondok!’. Saya harus mundur beberapa langkah untuk dapat melakukan lompatan ke titik jawaban: untuk melihat visi dan misi pondok, lihatlah alumninya. Inilah statemen yang kerap dilontarkan orang ketika nanya ini-itu tentang pondok tertentu. Alumni pondok tahfidz akan jadi penghafal Alquran. Satu-dua orang yang gagal hafal dan bahkan jadi preman tidak akan merusak visi-misi pondok tahfidz tersebut sebab itu perkecualian, bukan silogismenya.

Pondok pesantren yang menekankan pembelajaran materi tata bahasa Arab (nahwu-sharraf), rata-rata santrinya bakal jago di bidang itu. Berbagai pondok punya ciri khas, semisal pondok yang pengajian kitabnya banyak didominasi kitab pertabiban, astrologi, dan sejenisnya, alumninya punya kemampuan supranatural. Ada pula pondok yang kompetensinya mencetak pakar fikih dan hukum agama. Karena tadi sudah dikatakan bahwa pondok pesantren tidak biasa ‘mengiklankan diri’, maka calon santri yang harus cari tahu; lihat kitab-kitabnya, amati sistem dan pembelajarannya, perhatikan alumninya, serta profil pengasuh dan kepengasuhannya. Soalnya, tak sedikit pondok pesantren yang papan namanya pun tidak ada, tak ada pintu gerbang atau gapura yang menunjukkan lokasi pesantren dan sejenisnya.

Facebook Comments