Terkait pola asuh (memperlakukan, mendidik, membimbing, mendisiplinkan serta melindungi anak) yang prinsip dasarnya adalahparental control, setidaknya ada tiga model menurut Baumrind (1975).Pertama, demokratis, yang mengedepankan kepentingan anak diiringi pengendalian. Orang tua mendasari sikapnya secara rasional, realistis terhadap dan tidak berharap berlebihan pada kemampuan anak. Mereka membebaskan anaknya memilih dan melakukan tindakan. Misalnya, mengajak wisata anak melalui musyawarah dan mendahulukan kepentingan bersama. Pola asuh ini menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, mampu mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan kawan, mampu menghadapi stress, mempunyai minat pada hal-hal baru dan kooperatif terhadap orang lain.
Kedua, otoriter, yang cenderung menetapkan standar mutlak yang harus dituruti dan lumrahnya diiringi aneka ancaman. Mereka cenderung memaksa, memerintah dan menghukum anak di kala tidak menunaikan keinginannya. Mereka tidak kenal kompromi dan satu arah dalam berkomunikasi. Misalnya, untuk menentukan tempat wisata, anak wajib sewajib-wajibnya menuruti mereka tanpa banyak bertanya dan tentu saja berarti mengabaikan keinginannya. Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri dari pergaulan.
Ketiga, permisif, yang longgar dalam pengawasan. Orang tua cenderung tidak peduli bila anak dalam bahaya, sehingga seringkali pola ini (sejujurnya paling) disukai anak. Misalnya, untuk ke tempat wisata, orang tua membiarkan sebebas-bebasnya tanpa kontrol anak mau ke mana dan dengan siapa. Dampaknya, pola asuh ini membuka peluang anak melakukan tindakan “semau gue”. Juga menghasilkan karakteristik anak yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.
Pertanyaannya: sikap radikal anak lebih potensial muncul dari pola asuh yang mana? Tentu saja akan sulit muncul dari yang pertama. Pelibatan anak dalam segala hal dengan kontrol yang rasional semestinya dikedepankan. Karena itu, pola asuh kedua dan ketigalah yang semestinya wajib diwaspadai. Kontrol yang super ketat akan membuat anak berontak. Kontrol yang super longgar akan membuat anak bebas bergaul dengan siapapun, termasuk dengan pihak-pihak yang membahayakan diri, keluarga dan masyarakat.
Mewujudkan Surga di Rumah
Tugas terpenting orang tua adalah membentuk karakter yang tangguh bagi anak-anaknya, sehingga berkepribadian kokoh dan tiada tergoyahkan oleh apapun. Menurut kajian Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional yang tertulis dalam Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, 2010, ada 18 nilai karakter bangsa yang penting dikedepankan, yakni: 1) Relijius; 2) Jujur; 3) Toleransi; 4) Disiplin; 5) Kerja keras; 6) Kreatif; 7) Mandiri; 8) Demokratis; 9) Rasa Ingin Tahu; 10) Semangat kebangsaan; 11) Cinta tanah air; 12) Menghargai prestasi; 13) Bersahabat/komunikatif; 14) Cinta damai; 15) Gemar membaca; 16) Peduli lingkungan; 17) Peduli sosial; serta 18). Tanggungjawab.
Dengan aneka keterbatasannya, tentu saja orang tua tidak serta-merta mampu mewujudkan 18 karakter itu pada anak-anaknya. Kerja sama dengan berbagai pihak karenanya wajib diselenggarakan, baik dengan sekolah, masyarakat/ormas maupun pemerintah. Namun minimalnya, untuk mengekang laju arus radikalisme anak, seperti disampaikan banyak ahli, mereka perlu memperkenalkan sekaligus memahamkan ilmu pengetahuan secara baik dan benar, meminimalisir kesenjangan sosial-ekonomi, mendorong menjaga persatuan-kesatuan, mendukung aksi perdamaian, berperan aktif melaporkan dan mensosialisasikan radikalisme-terorisme, meningkatkan pemahaman urgensi hidup bersama, menyaring informasi anak dan sebagainya.
Selain itu, di antara yang penting dilakukan oleh orang tua, adalah:Pertama, mengenalkan urgensi keragaman pada anak, baik keragaman budaya, warna kulit, suku, bahasa, agama dan sebagainya (Qs. al-Hujurat: 13).Kedua, menginjeksikan nilai-nilai penghormatan pada kemanusiaan (Qs. al-Isra: 70), karena seluruh makhluk hakikatnya keluarga Allah Swt. Rasulullah Saw mengingatkan: “al-Khalqu kulluhum ‘iyal Allah wa ahabbuhum ila Allah anfa’uhum li ‘iyalih/Seluruh makhuk adalah keluarga Allah. Dan yang paling dicintai-Nya adalah yang paling bermanfaat bagi keluarganya”.(HR. al-Baihaqi).
Ketiga, mengenalkan arti penting kemanfaatan bagi sesama. Rasulullah Saw mengingatkan: “Khair al-nas anfa’uhum li al-nas/Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.”(HR. Ahmad dan al-Thabrani). Juga, “Man thala umruhu wa hasuna amaluhi/Orang terbaik adalah yang usianya panjang dan amalnya bagus” (HR. al-Tirmidzi).
Keempat, pemahaman untuk melestarikan misi kekekhalifahan di bumi untuk mengelola bumi (Qs. al-Baqarah: 30) dalam segala lininya, sehingga orientasi anak-anak zaman ini semestinya lebih pada kehidupan yang sejati bukan pada kematian yang mubadzir.Kelima, menanamkan nilai-nilai keteladanan luhur dalam bermasyarakat, termasuk menjadikan Muhammad Saw sebagai idola (Qs. al-Ahzab: 21).Keenam, menamkan kearifan lokal/al-‘urf al-shahihsehingga tidak antipati pada budaya di sekelilingnya.
Ketujuh,pengenalan nilai-nilai perdamaian dan kasih sayang. Allah Swt berfirman:“Dan, tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam”. (Qs. al-Anbiya’: 107). Dan sebagainya tentu saja.
Jika hal-hal di atas bisa ditunaikan,insya Allahupaya orang tua mewujudkan rumah sebagai surga (baiti jannati) akan nyata terlaksana, sehingga anak tidak berfikir mencari “surga lain” di luar rumah. Sejauh anak mengembara, ia akan senantiasa merindukan rumah sebagai surga tempatnya mereguk kebahagiaan. Sebab surga yang diasosiasikan anak di luar rumahnya, bisa jadi justru “neraka” yang sesungguhnya.Wa Allah a’lam.