Budaya Literasi untuk Menangkal Hoax

Budaya Literasi untuk Menangkal Hoax

- in Narasi
2115
0

Demokrasi membuat masing-masing orang bebas menyalurkan aspirasinya. Kemajuan teknologi dan informatika menjadikan demokrasi makin liberal. Tinggal klik, ketik dan upload tulisan kita akan dibaca dan dengar oleh banyak orang. Karena kemajuan teknologi dan informatika kehidupan di dunia maya dan nyata hampir tiada sekat. Apa yang terjadi di dunia maya berpengaruh terhadap dunia nyata, begitupun sebaliknya.

Menurut lembaga riset pasar e-Marketer, populasi netter tanah air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Prediksi pada tahun 2017 meningkat menjadi 112,6 juta. Dan tahun 2018 diprediksi naik lagi menjadi 123 juta. Sungguh angka yang fantastis bukan?

Besar dan bertambahnya pengguna internet tiap tahun menunjukan bila internet atau dunia maya makin menjadi gaya hidup atau life style orang. Tidak hanya menjadi gaya hidup, lama-kelamaaan ia akan menjadi point of view atau pandangan hidup.

Apalagi sekarang lagi trend-nya hoax. Di tengah-tengah maraknya informasi yang berseliweran hoax hampir pasti telah membudaya. Konten-konten hoax biasanya berisi provokasi, propaganda, perpecahan hingga ujaran kebencian. Konten tersebut sangat mudah ditemui di jagad maya yang serba bebas ini.

Hal ini diperparah orang dengan mudahnya mengakses informasi tanpa diimbangi dengan klarifikasi isi konten dan sumbernya. Ini disebabkan orang yang ingin instannya saja. Selain itu, tingkat pendidikan dan wawasan tiap orang mempengaruhi terhadap cara mereka berinternet ria.

Apalagi sampai sekarang pun belum ada standar yang jelas terkait perbedaan hoax dengan berita asli. Kalau tidak teliti kita bisa saja terjebak antara berita asli yang ternyata hioax.

Paul Joseph Goebbels menteri propaganda zamannya Adolf Hitler pernah berkata, sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja.

Perlunya kita mengetahui dan memahami tentang berita hoax. Baca dan klarifikasi informasi dengan teliti sebelum men-share. Karena seperti pernyataan Gobbels, share kita secara terus-menerus terhadap berita hoax akan menjadikan berita tersebut diyakini benar oleh orang-orang. Berhati-hatilah!

Budaya Literasi

Budaya literasi dalam dunia nyata dan dunia maya amat penting. Karena dengan literasi dapat menyelamatkan kita dari berita bohong atau hoax. Budaya literasi artinya membaca dan menulis. Dengan membaca wawasan kita akan bertambah, daya kritis kita meningkat. Lalu dengan menulis artinya kita menyalurkan apa yang kita ketahui dari yang kita baca. Tentunya setelah melalui daya kritis dan analitis kita.

Tapi di Indonesia yang terjdi sangat memprihatinkan. Ini terbukti berdasarkan riset dan studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Betapa riskannya posisi Indonesia dalam literasi dibanding dengan negara-negara lain. Ini jelas sangat berbahaya. Dapat dikatakan Indonesia sedang darurat literasi. Ini akan berdampak terhadap berlangsungnya masa depan Indonesia. Karena permulaan dari kekerasan, perpecahan, disintegrasi kebangsaan adalah minimnya literasi.

Pertambahan pengguna internet tiap tahun tanpa diiringi budaya literasi yang kuat akan njomplang. Sekarang ini internet sudah menjadi tempat tinggal kedua selain dunia nyata. Tetapi yang terjadi, dunia maya tidak sepenuhnya aman. Bila kita tidak berhati-hati kita akan terjebak dan tersesat dalam dunia maya.

Kalau kita mengaca dari finlandia yang pendidikannya nomor wahid di dunia dan tingkat literasinya tinggi. Di sana pemerintah berperan aktif dalam meningkatkan budaya literasi dengan menyediakan tempat membaca, menulis, dan menggambar bagi anak di tempat umum seperti, museum dan kantor polisi.

Sementara orang tua di rumah merupakan guru pertama yang mengajari anak untuk belajar dan berinteraksi serta belajar bahasa. Lalu, orang tua pun berperan aktif dalam membentuk sikap anak termasuk mengarahkan kepada dunia literasi.

Dan yang terakhir sekolah memotivasi anak untuk membaca dan menulis. Selain itu sekolah juga menciptakan lingkungan yang mendukung untuk literasi. Seperti membuat perpustakaan yang sangat nyaman untuk membaca dan menulis. Bahkan di sana perpustakan dikengkapi dengan sofa, karpet dan bantal.

Penulis rasa, ada perbandingan yang amat mencolok dan kontras terkait peran pemerintah, keluarga dan sekolah di Finlandia dan di Indonesia. Akan tetapi tidak ada salahnya bila Indonesia meniru gaya budaya literasi Finlandia.

Facebook Comments