Berbicara kebhinekaan pada dasarnya telah dicontohkan sejak dulu oleh Baginda Rasulullah. Piagam Madinah merupakan bukti kongkret apresiasi Nabi Muhammad terhadap kebhinekaan di Madinah. Masyarakat Madinah yang multikultur dapat dipersatukan dalam damai di bawah panji hukum negara bernama Piagam Madinah tersebut.
Ada pertanyaan menarik dari kenyataan di atas, apakah dengan demikian Rasulullah mengabaikan ayat-ayat jihad dengan hidup berdampingan secara damai dengan komunitas non muslim di Madinah?
Ada sebagian umat Islam mengalami apa yang disebut defisit epistemologi dalam memaknai jihad. Yaitu, pada saat mengambil satu kesimpulan penyatuan antara jihad dengan perang. Suatu pemahaman yang menghasilkan tafsir bahwa keduanya merupakan kesatuan utuh. Kesimpulan tafsir yang sebenarnya salah ini menjadi doktrin pemicu ketegangan. Kelompok radikal sebagai aktor utama penganut tafsir yang sangat bias ini.
Memang, jihad merupakan salah satu ajaran Islam yang termuat dalam al Qur’an. Kata jihad dengan ragam derivasinya disebut sebanyak 41 kali dan dengan ragam makna yang berbeda pula. Sebagai indikasi bahwa kata jihad maknanya tidak seragam.
Dengan demikian, untuk memahami ayat-ayat jihad harus lebih dulu memahami setting historis (sebab penuzulan), faktor sosiologis dan kultural yang melingkupi ayat tersebut. Selain itu, harus pula mengkomparasikan antara satu ayat jihad dengan ayat jihad yang lain, terutama yang masih memiliki keterkaitan.
Hal ini untuk menghindari kesalahan disaat menafsirkan jihad dengan pemahamannya yang kompleks. Seperti sangkaan selama ini bahwa jihad dan perang merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Tafsir penyatuan jihad dan perang disebabkan oleh fokus pemaknaan jihad hanya pada satu atau beberapa ayat jihad saja dan menghilangkan ayat jihad yang lain. Telah terjadi reduksi dan simplifikasi terhadap ayat-ayat jihad.
Ragam Makna Jihad dalam al Qur’an
Bila kita telusuri secara baik dan menyeluruh, ternyata makna jihad dalam al Qur’an beragam. Ada yang bermakna perang (al Tahrim: 9, al Baqarah: 216), bermakna moral (al ‘Ankabut: 69), dan bermakna dakwah (al Nahl: 110).
Dalam konteks perang, jihad ada yang bermakna al Jihad fi Allah atau al Jihad fi Sabilillah (al Hajj: 78). Penuzulan ayat ini dilatari oleh setting historis di mana umat Islam menanggung resiko kesulitan, intimidasi, bahkan kekerasan pada saat menyampaikan risalah Islam.
Untuk memahami perintah perang dalam kondisi demikian harus membaca keseluruhan ayat jihad surat al Hajj ayat 39-41 sebagai penanda dan perintah pertama diperbolehkan perang bagi umat Islam pada periode Madinah.
Namun, perlu diingat, izin perang tersebut karena umat Islam mengalami kondisi kesulitan akibat ulah orang-orang kafir dan harus menanggung resiko yang serius, intimidasi, dan bahkan kekerasan fisik. Sehingga, dalam upaya mempertahankan diri maka umat Islam diizinkan untuk berperang.
Sekalipun diizinkan berperang, namun ada syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh umat Islam, yakni, tidak melakukan perang secara konfrontatif dan ofensif. Umat Islam boleh berperang manakala diserang (defensif), atau ketika difitnah oleh musuh. Syarat lain, tidak boleh melakukan pembunuhan terhadap anak-anak, wanita dan orang tua serta tentara musuh yang telah menyerah.
Syarat-syarat di atas menunjukkan bahwa agama Islam merupakan agama yang mengusung misi kemanusiaan universal. Perang dipilih sebagai alternatif terakhir, itupun dalam upaya mempertahankan diri. Perang dalam Islam sejatinya untuk menghentikan kejahatan yang lebih besar, bukan semata-mata untuk memusnahkan lawan. Aturan ketat dalam perang sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an (al Baqarah: 190-194).
Rekontektualisasi Ayat Jihad
Dengan pembacaan yang komprehensif terhadap ayat-ayat jihad akan menutup kemungkinan bagi penafsiran yang berorientasi pada kekerasan seperti pembunuhan terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda agama atau paham. Hal ini bukan makna jihad yang benar, melainkan kesalahan akibat penafsiran ayat jihad yang parsial.
Jihad dengan makna perang hanya boleh dilakukan dalam dua kondisi; dalam kondisi dianiaya (al Hajj: 39) dan terjadinya pengusiran dari kampung halaman (al Hajj: 30). Selain dalam dua kondisi ini perang tidak diperbolehkan. Dan, sekalipun diperbolehkan perang tidak boleh melampaui batas dalam peperangan yang terjadi (al Baqarah: 190).
Karenanya, penting untuk menafsirkan satu ayat jihad dengan ayat jihad yang lain atau tafsir al Qur’an bi al Qur’an. Teori ini sebagaimana diajarkan oleh para ulama, utamanya dalam ilmu ushul fikih. Langkah ini untuk menghindari tafsir terhadap ayat-ayat jihad yang parsial, apalagi sampai melepas setting historis ayat-ayat tersebut.
Karena bagaimana pun, selalu ada kompleksitas hubungan al Qur’an dengan situasi dan kondisi pada saat ayat itu diturunkan, serta hubungan satu ayat dengan ayat yang lain baik dalam satu konteks pembahasan yang sama atau tidak.
Kompleksitas tersebut harus dibaca dan dipahami seluruhnya untuk menemukan makna yang sesungguhnya. Jihad dengan perang memang diajarkan dalam Islam, namun tidak bisa disimpulkan bahwa bahwa jihad adalah perang. Ada banyak bentuk jihad dalam Islam selain perang.
Hubungan satu ayat dengan ayat yang lain tidak boleh diabaikan. Karena, kadangkala suatu ayat di mansukh (dihapus), redaksi maupun hukumnya. Nasakh dan mansukh adalah salah satu teori dalam ilmu Ushul Fikih untuk memahami makna sesungguhnya dari ayat-ayat al Qur’an.
Ada pula fungsi ayat yang menjelaskan makna ayat yang lain. Hal ini banyak sekali dijumpai dalam al Qur’an. Misalnya, keumuman makna suatu ayat diperjelas oleh ayat yang lain. Sebagaimana diketahui, ada ayat yang memiliki kandungan makna sangat umum sehingga menimbulkan penafsiran beragam. Namun, keragaman makna ayat tersebut terbatasi oleh ayat yang lain. Disebut teori ‘Am dan Khas. Dan seterusnya.
Ayat-ayat jihad juga tidak luput dari fenomena seperti itu. Jihad dengan konotasi perang memang ada. Tapi, harus pula dilibatkan ayat yang berbicara dalam konteks apa perang itu diperbolehkan, serta syarat-syarat dan etika dalam perang.
Jika tidak secara komprehensif akan berakibat pada kesalahan tafsir sehingga membuka peluang ayat-ayat jihad ditafsirkan dan dijadikan dalil untuk melakukan kekerasan. Contoh paling maklum adalah doktrin jihad kelompok radikal. Padahal, sejatinya ayat-ayat jihad dengan perilaku kekerasan model kelompok radikal bukanlah hubungan linear. Hal itu merupakan suatu kesalahan dalam memaknai ayat-ayat jihad.