“Cyber-Terrorism” di Era Pandemi dan Pentingnya Kekebalan dari Virus Radikalisme

“Cyber-Terrorism” di Era Pandemi dan Pentingnya Kekebalan dari Virus Radikalisme

- in Narasi
995
0

Di masa pandemi ini, peristiwa terorisme memang menurun drastis. Namun, itu bukan berarti gerakan radikal keagamaan musnah dari negeri ini. Di dunia nyata, aksi terorisme memang surut seiring dengan adanya aturan pembatasan sosial yang sedikit-banyak mempersempit ruang gerak para teroris. Sebaliknya, di dunia maya, narasi ekstremisme dan kekerasan justru menunjukkan eskalasi peningkatan yang kian mengkhawatirkan.

Di dunia maya, manuver kelompok teroris dapat diidentifikasi ke dalam setidaknya dua hal. Pertama, upaya menyebarkan narasi provokatif, adu-domba dan kebencian terutama pada pemerintah. Tujuannya apalagi jika bukan untuk mendelegitimasi wibawa pemerintah serta melemahkan kepercayaan publik pada institusi negara. Kedua, upaya menyebarkan ideologi keagamaan yang bertentangan dengan prinsip, kebangsaan, kebinekaan dan keindonesiaan. Yakni ideologi keagamaan yang bertumpu pada kebencian dan kekerasan.

Situasi pandemi telah mengubah sebagian besar aspek kehidupan publik. Kini sebagian besar masyarakat lebih banyak berinteraksi dan beraktivitas di dunia maya. Data Kemenkominfo menyebut bahwa di masa pandemi terjadi kenaikan pengguna internet dan media sosial sebesar 7-10 persen. Pergeseran (shifting) gaya hidup dari konvensional (analog) ke digital ini tampaknya juga dilakukan oleh kelompok ekstremis-teroris.

Sebelum pandemi, mereka menggunakan kanal-kanal media sosial untuk menebar narasi dan propaganda keagamaan yang mengarah pada ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Di masa pandemi ini, upaya radikalisasi masyarakat melalui kanal digital yang dilakukan kaum radikal-teroris itu kian masif terjadi. Melalui kanal digital, mereka melakukan proses radikalisasi, indoktrinasi, penggalanan danan, rekrutmen dan membangun jejaring terorisme yang solid.

Fenomena inilah yang disebut oleh Barry Collin sebagai “cyber-terrorism”. Yakni gerakan ekstremisme dan terorisme yang memanfaatkan teknologi digital atau internet untuk mempropagandakan gerakannya, merekrut anggota baru sekaligus merencanakan aksi lapangan. Fenomena ini tentu tidak bisa dipandang sepele. Situasi pandemi kiranya tidak boleh membuat kita lengah sedikit pun oleh manuver kaum radikal.

Sama halnya dengan wabah Covid-19, narasi kebencian, kekerasan apalagi terorisme merupakan musuh berbahaya yang harus dilawan bersama. Terorisme ialah patologi sosial yang melemahkan sendi-sendi kebangsaan. Untuk itu, kita perlu membangun sistem kekebalan masyarakat untuk menangkal virus radikalisme yang menyebar masif di ruang publik digital kita. Diperlukan upaya nyata untuk memperkuat sistem imun masyarakat agar tidak mudah terpapar dan terinfiltrasi gerakan radikal-terorisme di dunia maya.

Trilogi Literasi

Sistem kebebalan masyarakat terhadap virus cyber-terrorism ini dapat dibangun di atas fondasi trilogi literasi yakni literasi digital, literasi keagamaan dan literasi kebangsaan. Literasi digital ialah kemampuan memilih-memilah informasi di dunia digital agar tidak terjerumus pada konten bernada kebencian, kekerasan, radikalisme dan ekstremisme. Kelompok teroris seperti diketahui, memiliki banyak sekali situs dan akun medsos yang berisi konten-konten radikalisasi. Sasaran mereka ialah masyarakat, utamanya generasi muda yang adaptif pada teknologi digital.

Dunia maya ibarat hutam rimba informasi dan pengetahuan yang tidak semuanya bersifat mencerahkan dan berisi kebenaran. Sebagian justru berisi narasi-narasi menyesatkan. Salah satunya konten-konten dengan tendensi radikalisme dan terorisme. Maka dari itu, kemampuan literasi digital diperlukan agar masyarakat lebih dulu memiliki sistem imunitas sehingga bisa menangkal infiltrasi virus cyber-terrorism sejak dini.

Selain literasi digital, penting pula memperkuat literasi keagamaan. Terorisme memang tidak diajarkan oleh agama apa pun. Namun, harus diakui bahwa pemahaman keagamaan yang konservatif turut menyumbang andil pada berkembangnya ideologi kebencian dan kekerasan. Ironisnya, pandangan keagamaan konservatif dengan karakter eksklusivistik dan intoleran ini banyak disebarluaskan oleh para pemuka agama di kanal-kanal media sosial.

Konten keagamaan yang menjurus ke radikalisme-terorisme inilah yang saat ini dominan di ruang digital kita. Maka, dibutuhkan kesadaran umat untuk hanya mengonsumsi konten keagamaan yang mencerahkan dan menyejukkan. Di saat yang sama, kita juga perlu mendorong para ulama, kiai dan ustad untuk aktif di dunia digital dan memproduksi konten keagamaan yang mampu membentengi umat dari narasi konservatisme dan eksklusivisme.

Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah memperkuat literasi kebangsaan. Di tengah pandemi sekarang ini, suara sumir yang berupaya mendelegitimasi pemerintah dan meruntuhkan kepercayaan publik pada negara kian santer terdengar. Adu-domba dan provokasi kebencian menjadi menu sehari-hari di lini masa media sosial kita. Semua itu bukan kebetulan belaka, melainkan bagian dari skenario besar kaum radikal-teroris untuk menggoyang eksistensi bangsa dari dalam. Di tengah situasi yang demikian ini, kita perlu mempererat solidaritas sosial, dan memperkuat komitmen kebangsaan kita. Komitmen pada kebangsaan, kebinekaan dan keindonesiaan akan membentuk imunitas untung menangkal virus terorisme di dunia digital yang bergentayangan selama pandemi ini.

Facebook Comments