Indonesia tengah dihantam gelombang kedua pandemi Covid-19. Kondisinya jauh lebih parah ketimbang gelombang pertama di medio 2020 lalu. Pasalnya, virus Corona diketahui telah bermutasi menjadi lebih menular dan mematikan. Rumah sakit di sejumlah daerah dilaporkan kewalahan menangani pasien Covid-19 yang terus berdatangan.
1, 5 tahun menghadapi pandemi tentu bukan hal mudah. Rasa lelah berkelindan dengan bosan dan bercampur dengan takut serta cemas. Akumulasi dari perasaan itu sayangnya acapkali membuat publik abai pada aturan protokol kesehatan. Harus diakui, 1, 5 tahun mengarungi pandemi tidak lantas membuat masyarakat bisa beradaptasi dengan normal baru yang mensyaratkan penerapan protokol kesehatan.
Buktinya, kerumunan tetap terjadi dimana-mana. Sebagian di antaranya merupakan kegiatan keagamaan. Sebagai penganut agama mayoritas, umat Islam harus diakui menyumbang andil tidak sedikit pada berbagai bentuk pelanggaran protokol kesehatan. Membatasi aktivitas manusia di ranah ekonomi, sosial maupun kebudayaan cenderung lebih mudah ketimbang membatasi kegiatan keagamaan. Pembatasan kegiatan agama hampir pasti selalu direspons publik dengan negatif.
Islam Agama Adaptif
Jika kita tengok sejarahnya, Islam sebenarnya ialah agama yang adaptif dan fleksibel. Buktinya, Islam yang berasal dari Jazirah Arab di Abad ke-VII M bisa berkembang di seluruh penjuru dunia dan masih tetap eksis di abad ke-XXI ini. Dalam perkembangannya itu, ajaran Islam tentu bersentuhan dengan lokalitas. Dari persentuhan itu pula, Islam tidak mengalami distorsi, alih-alih justru kian kaya akan ekspresi. Islam juga bisa melintasi zaman demi zaman sampai sekarang menjadi bagian dari dunia modern.
Semua itu dimungkinkan karena dakwah Islam yang adaptif. Artinya, Islam selalu berusaha hadir dalam setiap dinamika dan persoalan manusia di setiap zaman. Corak dakwah yang demikian itu membuat Islam diterima oleh berbagai kelompok masyarakat dengan tradisi dan agama yang berbeda-beda. Corak dakwah yang adaptif pada problem zaman itulah yang idealnya diaplikasikan dalam konteks pandemi saat ini.
Artinya, agama harus menjadi institusi sosial yang hadir sebagai solusi atas problem pandemi. Para tokoh dan organisasi keagamaan harus bersinergi dengan pemerintah untuk bersama-sama melawan pandemi. Peran institusi agama ini sangat vital lantaran bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, agama merupakan elemen penting dalam kehidupan. Agama tidak lagi menjadi urusan vertikal-transendental, namun telah menjadi urusan horisontal-sosial.
Cara kita berperilaku di ruang publik, berhubungan dengan sesama manusia, mencari nafkah dan sebagainya hampir semua dipengaruhi oleh agama. Begitu kuatnya pengaruh agama bagi kehidupan individu maupun masyarakat. Itulah mengapa, para tokoh agama menempati posisi sentral dan strategis dalam struktur masyarakat kita. Maka dari itu, sudah selayaknya para tokoh agama mendakwahkan pentingnya menaati protokol kesehatan guna memutus mataranti penularan virus Corona. Inilah yang disebut dakwah wabah, yakni upaya membangun kesadaran teologis terkait pandemi Covid-19.
Perspektif Keagamaan
Dakwah wabah penting untuk mengajak umat melihat persoalan pandemi ini tidak melulu dari kacamata saintifik, namun juga dari perspektif keagamaan. Agama tidak selalu harus dipertentangkan dengan sains. Bahkan, pada titik tertentu agama dan sains memiliki keterkaitan erat yang tidak bisa dipisahkan. Di dalam Islam misalnya, banyak ayat Al Quran yang bernuansa saintifik dan telah menginspirasi sejumlah ilmuwan dalam menyusun teori ilmu pengetahuan.
Titik temu antara perspektif teologis dan saintifik inilah yang diperlukan oleh umat Islam saat ini agar bisa menghadapi pandemi. Dari sisi teologis, Islam memang mengajarkan umatnya untuk bersikap ikhlas dalam menghadapi setiap ujian dan cobaan yang datang kepadanya. Termasuk datangnya penyakit, wabah dan sejenisnya. Di titik ini, Islam memang memiliki dimensi qadariyah atau nalar fatalisme yang kuat. Yakni bahwa segala sesuatu merupakan takdir Allah.
Namun, jangan lupa Islam juga memiliki konsep ikhtiyar atau usaha. Yakni bahwa segala sesuatu harus diupayakan dalam tindakan sebelum dipasrahkan pada kekuasaan Allah melalui konsep tawakkal. Haram bagi umat Islam bertawakkal sebelum berikhtiyar. Di dalam Islam, ikhtiyar dan tawakkal merupakan satu paket yang tak terpisahkan. Di titik ini, kita bisa melihat bahwa Islam memiliki nalar determinisme. Yakni bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan dampak atau akibat dari perilaku sebelumnya.
Hukum sunnatullah (sebab-akibat) inilah yang kiranya dipakai dalam menghadapi pandemi. Kematian memang tidak bisa ditolak. Namun, hidup sehat dan bertanggung jawab pada keselamatan orang lain bisa diupayakan. Di tengah pandemi, upaya menyelamatkan diri sendiri dan orang lain itu dilakukan dengan menaati protokol kesehatan secara konsekuen.