Dampak Budaya Misuh di Media Sosial

Dampak Budaya Misuh di Media Sosial

- in Narasi
558
0
Dampak Budaya Misuh di Media Sosial

Di media sosial, misuh bukan lagi sesuatu yang kurang elok untuk dilontarkan. Dia telah menjadi budaya sekaligus kebiasaan. Beberapa pihak “membenarkan” hal demikian sebagai pola komunikasi yang menunjukkan bentuk “kedekatan emosional”.

Pengaruhnya tentu, terhadap anak-anak usia dini. Sebab, banyak kasus yang Saya temui, perihal seorang anak yang memisuhi orang tuanya karena kesal. Mereka tidak peduli siapa-pun yang dia hadapi.

Aktivitas memisuh pada dasarnya akan melahirkan semacam sikap “tak tahu batas”. Batasan antara anak dan orang tua tentu mengacu ke dalam perilaku sopan-santun dalam berucap/bersikap. Menghormati yang lebih tua serta mengasihi yang lebih muda darinya.

Tentu siapa-pun berhak menafsirkan berbagai macam peran-fungsi dari perilaku misuh. Namun, ini tetap bukanlah edukasi yang baik bagi generasi bangsa. Mereka tidak layak mewarisi kebiasaan itu.

Misuh, adalah cara yang paling sederhana di dalam melihat bagaimana sikap angkuh, egoisme, anarkisme dan bahkan perilaku arogan itu terbentuk. Meskipun, memisuh dapat dimaknai, diartikan dan bahkan ditujukan ke dalam berbagai macam tujuan tertentu. Namun, bukankah kita tidak bisa mengontrol (sebuah kebiasaan)?

Segala sesuatu yang datang secara reflektif pada dasarnya akan mengkoneksikan terhadap kebiasaan yang kita miliki. Orang pandai bela diri tentu akan refleks menangkis pukulan yang menyasar dirinya. Begitu juga orang ketika emosi, maka kebiasaan-kebiasaan yang mengakar dalam dirinya akan muncul secara spontan.

Ini adalah pemahaman yang korelatif di balik dampak buruk sikap memisuh itu. Sebab, tidak semua bersepakat dengan pembenaran di balik sikap memisuh yang dianggap sebagai jalan membangun hubungan baik atau bentuk dari keakraban.

Bahkan, banyak orang yang marah ketika dirinya dipisuhi. Sebab tidak semua orang mampu membangun “frekuensi” yang sejalan untuk menerima sesuatu yang sebetulnya kurang baik itu. Ini adalah kebiasaan yang tak layak untuk diwarisi anak-anak.

Di media sosial, beberapa pihak sering-kali memberi semacam penjelasan tentang sikap memisuh yang justru melahirkan kedekatan. Bahkan, mereka menganggap tidak ada unsur-unsur membenci atau mencaci. Hal ini mencoba membangun semacam legal standing untuk membiarkan aktivitas memisuh sebagai budaya.

Tentu, kalau kita kritisi terkait pembelaan yang semacam ini pada dasarnya hanya menilai apa yang dia ingin sampaikan dan ingin tunjukkan secara sepihak. Sebab, komunikasi interaktif pada dasarnya melibatkan dua pihak dan kita tidak akan bisa memahami (jalan berpikir) seseorang dalam menerima perilaku yang semacam itu.

Misalnya, Saya adalah seorang pemisuh, lalu saya memisuhi teman yang sebetulnya sama-sama memisuh. Maka, sirkulasi komunikatif yang semacam ini pada dasarnya telah membangun semacam dasar “pembiaran/kebiasaan/melumrahkan” hal yang semacam itu.

Lantas, bagaimana kebiasaan memisuh itu lalu Saya sampaikan kepada orang yang tidak gemar memisuh? Bahkan secara mayoritas banyak yang memiliki perasaan negatif terhadap hal yang semacam itu. Apakah kita akan mengklarifikasi dengan menjelaskan sedetail mungkin tentang apa yang Saya lakukan? Lalu memaksakan diri agar lawan bicara Saya menerima hal semacam itu?

Dalam konteks yang semacam inilah, yang Saya ini sebagai sesuatu yang sangat tidak layak untuk dikonsumsi anak-anak bangsa. Ini secara orientasi akan membangun semacam kebiasaan-kebiasaan yang tidak tahu batas.

Maka, orang tua harus menjaga betul anak-anak dari perilaku yang semacam itu. Mengajarkan bagaimana pentingnya berkata yang baik. Menjauhi segala yang berkaitan dengan sikap memisuh. Serta ungkapan-ungkapan verbal lainnya yang menyinggung perasaan orang lain dan memecah-belah.

Facebook Comments