Dari Ritus Beragama ke Habitus Bernegara

Dari Ritus Beragama ke Habitus Bernegara

- in Narasi
1405
0
Dari Ritus Beragama ke Habitus Bernegara

Dua identitas manusia modern yang kerap menimbulkan persoalan ialah identitas keagamaan dan identitas ke(warga)negaraan. Dua hal itu pula yang kerap menimbulkan persoalan yang tidak pernah selesai. Beragama seperti kita tahu dilandasi oleh keimanan dan ritus peribadatan yang khas. Masing-masing agama dipastikan memiliki konsep teologis, eskatologis dan hukum yang berbeda-beda. Koridor keimanan dan peribadatan ini harus senantiasa dipegang teguh oleh umat beragama. Inilah yang disebut ritus beragama.

Demikian pula dalam konteks bernegara. Negara sebagai sebuah institusi tertinggi dalam masyarakat niscaya dibangun di atas fondasi cita-cita bersama yang tertuang dalam konstitusi dan undang-undangnya. Kehidupan bernegara mengidealkan sebuah keteraturan hukum dan harmoni sosial yang kuat. Maka, semua negara pastilah memiliki institusi atau lembaga pemerintahan yang bertugas menyusun, melaksanakan dan mengawasi undang-undang. Inilah yang dinamakan habitus bernegara.

Sayangnya, kesadaran akan dua hal tersebut acapkali masih belum benar-benar terpatri dalam sanubari masyarakat Indonesia. Sejak awal berdirinya negeri ini, persoalan ihwal ritus beragama dan habitus bernegara telah menjadi tema perdebatan yang tidak kunjung usai. Para pendiri bangsa sebenarnya telah meneladankan sebuah sikap dan cara pandang yang bijak dalam hal ini. Lahirnya Pancasila bisa dibilang merupakan upaya mencari titik temu antara ritus keagamaan dan habitus kenegaraan agar keduanya tidak saling bertentangan.

Meski demikian, implementasi prinsip Pancasila harus diakui belum sepenuhnya terejawantahkan dalam kehidupan beragama dan bernegara. Buktinya, tujuh dekade lebih bangsa ini merdeka dan dua dekade lebih menikmati era Reformasi, persoalan tentang ritus beragama dan habitus bernegara seolah tidak pernah usai. Belakangan, ketika Reformasi berhasil menghadirkan sistem politik yang lebih demokratis dan menjamin kebebasan ruang publik, konflik antara kehidupan bernegara dan beragama bukannya mereda, namun justru makin mengemuka.

Kemunculan kelompok-kelompok yang secara terbuka menggugat sakralitas Pancasila seolah tidak bisa dikendalikan. Pelecehan terhadap undang-undang dan lembaga negara dipertontonkan secara vulgar oleh sejulmah kelompok vigilantis. Sikap arogan dan jemawa telah menjadi semacam bahasa keseharian yang dipakai kelompok tertentu untuk mendelegitimasi otoritas negara. Fenomena ini mengemuka dalam persidangan pentolan FPI, Mohammad Rizieq Syihab beberapa waktu lalu. Ia menolak disidang daring, dan melakukan aksi tutup mulut dengan bersujud dan membaca al Quran di tengah persidangan. Tidak hanya itu, para pengacaranya juga melontarkan kalimat-kalimat kasar pada Jaksa Penuntut Umum.

Peristiwa yang demikian itu dengan segala jenis dan variasinya bisa dipastikan akan terus terjadi jika masyarakat masih memandang ritus beragama dengan habitus bernegara sebagai dua hal berbeda. Dalam studi agama, ritus dipahami sebagai sebuah aktivitas peribadatan atau penyembahan yang dilakukan terus-menerus berdasar pada keyakinan atas agama tertentu. Ritus dipahami sebagai sebuah bentuk atawa simbol penyerahan diri dan pengagungan terhadap kekuatan yang tidak terlihat (tuhan, dewa atau sejenisnya).

Sedangkan habitus, sebagaimana dikenal dalam leksikon sosiologi merupakan sebuah praktik kehidupan sosial (termasuk bernegara) yang berdasar pada konsensus bersama sehingga terinternalisasi ke dalam alam bawah sadar manusia. Contoh sederhana dari konsep habitus ialah budaya antre dalam menggunakan fasilitas layanan umum atau mendapatkan pelayanan publik. Budaya antre dibangun di atas prinsip dasar bahwa keteraturan merupakan hal yang baik dan mendukung harmoni sosial. Namun, budaya antre tidak lahir dengan sendirinya, melainkan harus dibiasakan, dilatih, bahkan dikondisikan sedemikian rupa agar menjadi kebiasaan publik.

Sebagian umat beragama kerap beranggapan bahwa ritus keagamaan hanya melulu soal urusan transendental antara manusia dan Tuhannya. Ritus keagamaan lantas berhenti pada capaian yang sifatnya formalistik bahkan simbolistik. Orang dikatakan relijius dan saleh jika ia rajin beribadah dan mengekspresikan simbol agama di muka publik. Padahal, idealnya tidak demikian. Ritus keberagamaan idealnya memberikan andil pada terbentuknya habitus sosial, termasuk dalam bernegara. Percuma seseorang rajin sholat, gemar zakat, berkali-kali haji dan umrah, namun mengantre di kasir supermarket saja tidak mau.

Begitu pula, percuma seseorang mengklaim diri sebagai tokoh agama, kerap memakai retorika keagamaan dalam setiap manuver politiknya serta gemar mengumpulkan massa atas nama membela agama, jika patuh terhadap aturan dan hukum negara saja tidak bisa. Disinilah pentingnya membangun koherensi antara ritus keberagamaan dengan habitus sosial-bernegara. Ritual keagamaan hendaknya berpengaruh signifikan pada tumbuhnya budaya taat hukum dan tertib sosial. Jika tidak, maka ritus beragama itu akan berakhir menjadi sesuatu yang nirmakna dan irelevan denga realitas sosial.

Maka dari itu, saleh secara keagamaan saja tidak cukup, karena kita hidup di negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Selain kewajiban menjalani ritus beragama, kita juga mengemban tanggung jawab untuk membangun habitus kenegaraan, yakni sikap patuh para aturan hukum dan tunduk pada norma sosial. Ritus beragama tidak selayaknya berdiri sendiri, apalagi menjadi alat untuk menjustifikasi perbuatan melawan hukum negara. Sebaliknya, ritus beragama idealnya bisa menjadi modal kultural dan sosial untuk mengembangkan habitus bernegara.

Facebook Comments