Sejatinya, terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Seberapapun masifnya penangkapan dan penegakan hukum terhadap orang, kelompok dan jaringan teror, ia hanya menimbulkan efek kejut sesaat. Pada saat itu, terorisme tidak mati total, tetapi hanya mengalami masa hibernasi.
Bukan tidak penting, tetapi penanggulangan terorisme dengan pendekatan penegakan hukum (hard approach) semata niscaya tidak akan mampu mencegah berulangnya aksi terorisme. Bahkan kerap sekali penangkapan kelompok teror justru memicu pertentangan dan memunculkan rasa dendam yang tinggi terhadap aparat penegak hukum.
Kenapa hal itu terjadi? karena pendekatan ini belum mampu menyentuh akar permasalahan, yaitu ideologi dan faktor sekunder lainnya yang mendorong terorisme. Karenanya, aspek pencegahan sebagai garda depan penanggulangan terorisme yang dikembangkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme selama ini sudah pada jalur yang tepat dengan mengedepankan pendekatan lunak (soft approach) dalam rangka ingin menyentuh dari hulu hingga hilir persoalan terorisme.
Dalam strategi pencegahan terorisme ada dua strategi yang telah dilaksanakan oleh BNPT. Pertama, strategi kontra radikalisasi yakni upaya mencegah dan menangkal paham radikal agar tidak mempengaruhi masyarakat. Dalam strategi ini sasaran program kontra radikalisasi adalah masyarakat yang belum terpapar paham radikal terorisme.
Dalam implementasinya, program ini berbentuk kerjasama sinergis dan partisipatif dari berbagai elemen masyarakat dalam menangkal paham radikalisme dan terorisme yang mulai menyusup ke tengah masyarakat. Program yang dilaksanakan semisal pelatihan, dialog, workshop halaqah, seminar dalam rangka penguatan wawasan kebangsaan dan ajaran damai. Karenanya menjadi salah kaprah apabila ada istilah “deradikalisasi di pesantren”, deradikalisasi di sekolah, deradikalisasi di masjid”. Program terhadap berbagai institusi masyarakat itu adalah kontra radikalisasi yang bertujuan memperkuat dan memberdayakan masyarakat agar tidak terpengaruh paham terorisme.
Kedua, strategi deradikalisasi, yakni upaya sistematis dengan pendekatan multidisipliner dalam rangka mentransformasikan dari ideologi radikal menuju pemahaman yang moderat, terbuka dan toleran. Dalam hal ini obyek sasaran deradikalisasi adalah mereka yang sudah terpapar paham radikal yang meliputi narapidana terorisme, mantan teroris, keluarga, jaringannya hingga masyarakat yang berpotensi menjadi radikal.
Strategi kedua inilah yang banyak mendapatkan kritik hingga menuai kontroversi. Saya melihat kritik itu lebih didasarkan pada ketidakmengertian secara menyeluruh terhadap apa itu deradikalisasi atau ada pengkaburan makna terhadap esensinya. Beberapa orang, mungkin juga pengamat, melancarkan beberapa kritik bahwa deradikalisasi yang dilakukan pemerintah “gagal total”. Kritik ini sering muncul di berbagai media dan lumayan menaikkan pamor sang komentator.
Sejatinya program deradikalisasi merupakan tahap panjang, menyeluruh dan integratif. Merehabilitasi pecandu narkoba saja membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi ingin mengobati orang yang mengalami “candu” ideologi dan keyakinan yang salah. Kelompok teroris ibarat orang yang sedang terjangkiti dan mengidap ideologi kekerasan. Dalam pandangannya: “apapun masalahnya, kekerasan jalan keluarnya”.
Butuh diagnosa yang tidak serampangan apa sebenarnya penyebab primer dan dasar seseorang menjadi teroris. Beda orang, beda motif. Beda motif, beda pula obat atau treatment. Dalam pengertian ini program deradikalisasi bukan proses instan layaknya menyajikan mie goring dan rebus. Deradikalisasi merupakan proses pengobatan dengan pendekatan persuasif, mengedepankan dialog ideologis, psikologis dan diskusi mendalam.
Dalam prakteknya. ada beberapa orang yang tidak mau sama sekali diajak berdiskusi bahkan menolak keras dengan tuduhan semuanya thogut. Dalam kasus seperti ini membutuhkan treatment berbeda dan khusus. Tetapi ada yang sudah menyadari kesalahan dan suka rela berdiskusi walaupun enggan mengubah keyakinan dan ideologinya. Beda lagi terhadap orang yang sudah bersedia merubah diri dan kembali pada ajaran damai tanpa kekerasan.
Nah berikutnya, ada juga orang yang masih sinis memandang deradikalisasi dengan angan-angan konspiratif; semisal pesenan Amerika, proyek Yahudi, dan imajinasi nyentrik lainnya. Muncullah kontroversi istilah deradikalisasi sebagai proses de-islamisasi, pendangkalan akidah, dan tuduhan lainnya. Nasaruddin Umar dengan cukup jelas menyatakan bahwa deradikalisasi bukan berarti sebuah upaya menghadirkan pemahaman dan wawasan baru, apalagi sebagai pendangkalan pemahaman keagamaan (Islam), melainkan sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman yang benar tentang agama dan wawasan bernegara (Umar, 2014, 4).
Dari penegasan tersebut cukup jelas bahwa program deradikalisasi merupakan upaya mentransformasikan pemahaman radikal seseorang atau kelompok untuk diarahkan dan diluruskan kembali ke arah pemahaman yang damai, moderat dan toleran. Sehingga dalam pelaksanaan deradikalisasi perlu dilakukan bersamaan dengan deideologi. Deideologi ini kunci utama dalam penyadaran serta proses reorientasi ideologi teroris untuk kembali ke ajaran yang benar.
Sederhananya, deradikalisasi ingin mengobati para pecandu ideologi kekerasan dengan ragam motif, alasan dan faktor yang menyebabkan seseorang memilih dalam aksi teror. Proses penyembuhan melalui deradikalisasi ini bukan menggantikan pemahaman baru, apalagi agama baru, tetapi mengembalikan pemahaman seseorang terhadap ajaran agama yang benar dan pemahaman wawasan kebangsaan.
Deradikalisasi ingin mengajak para pecandu ideologi kekerasan untuk kembali pada khittah manusia sebagai khalifah fi al-ardl yang bertugas memelihara perdamaian, bukan membuat kerusakan di muka bumi ini. Karena itulah, proses ini sekali lagi bukan seperti membuat mie instan yang dalam waktu 1 jam siap saji. Ada beberapa tahapan yang dilalui untuk menghasilkan target dan sasaran program yang akurat. Dalam konteks itulah, butuh sinergi berbagai kementerian dan masyarakat untuk memperkuat, bukan memperlemah program yang sangat penting ini. Rawat Indonesia Damai, Tanpa kekerasan dan Terorisme.