Gotong Royong Membonsai Bibit Radikalisme Sejak Dini

Gotong Royong Membonsai Bibit Radikalisme Sejak Dini

- in Narasi
868
0
Gotong Royong Membonsai Bibit Radikalisme Sejak Dini

Radikalisme merupakan hantu abadi kemanusiaan. Ia sulit terduga kapan pangkal dan ujungnya. Kewaspadaan mendeteksi sejak dini menjadi keniscayaan dan konsekuensi guna mencegah segala efek negatifnya. Kelengahan sesaat akan fatal dan menjadi gunung es di kemudian hari.

Sebagaimana dipahami radikalisme di era sekarang sangatlah rapi dan agresif. Kesadaran dan pemahaman individual tidaklak cukup. Kekuatan komunal diperlukan sebagai penangkal. Indonesia memiliki nilai warisan leluhur yang telah terbukti sepanjang zaman, yaitu gotong royong. Sistem gotong royong salah satunya melahirkan konsepsi solidaritas. Solidaritas sosial penting dibangun dan dipuluk secara total tanpa batas. Totalitas solidaritas diharapkan menjadi strategi efektif sebagai mitigasi mendeteksi dan membonsai radikalisme sejak dini.

Konsepsi Solidaritas

Esensi solidaritas adalah empati. Tidak semata sebagai aktualisasi korsa identitas. Sehingga solidaritas mestinya dibangun tanpa batas. Al-Qur’an menyatakan,“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…”(Ali ‘Imran: 110).

Untuk itu dalam Islam dikenal konsepukhuwwah basyariahatau persaudaraan sesama manusia. Tujuan utama adalah untuk saling bekerjasama dan saling tolong menolong untuk berbuat kebajikan dan kebenaran dan bukan untuk bermusuhan atau melakukan perbuatan mungkar. Solidaritas kemanusiaan merupakan bagian dari upaya saling tolong menolong.

Persaudaraan merupakan strategi yang bersifat universal untuk menciptakan kemakmuran, keadilan dan kedamaian bagi manusia di alam semesta. Persaudaraan adalah ikatan psikologis, ikatan spiritual, ikatan kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang amat dalam di dalam hati nurani setiap orang, melekat dan terintegrasi menjadi satu kesatuan dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Ciri-ciri kehidupan bermasyarakat dan pada abad 21 ini adalah kehidupan tanpa batas, saling pengaruh mempengaruhi secara global (Gaffar, 2020).

Solidaritas dapat dibangun atas 3 hubungan, yakni hubungan darah, hubungan persahabatan atau klien dan persamaan nasib, serta otoritas pemimpin. (Sulasman dan Rusmana, 2013). Konsep solidaritas sosial juga telah disajikan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya. Misalnya pada bab ketiga, pasal ke-5 menyatakan bahwa dakwah memberikan pada suatu dinasti, pada permulaannya, suatu kekuatan yang menambah kuatnya solidaritas sosial yang ada padanya sebagai hasil dari jumlah pendukungnya. Selanjutnya pada pasal ke-6 tentang gerakan keagamaan tanpa solidaritas sosial tidak akan berhasil.

Strategi Aktualisasi

Solidaritas kemanusiaan tidak mengenal syarat sebagai penyebab atau pemicunya. Namun membutuhkan syarat dalam aktualisasinya. Pertama, solidaritas kemanusiaan mestinya tanpa batas. Batas apapun itu, baik geografis, etnis, agama, dan lainnya. Musibah, bencana, penindasan, kelaparan, dan sengkarut masalah manusia lannya cukup menjadi alasan untuk menggugah solidaritas kita. Membantu mereka yang membutuhkan tentu tidak harus melihat dulu identitasnya. Meskipun manusiawi jika memiliki kesamaan identitas solidaritas akan cepat dan lebih kuat rasanya.

Kedua, solidaritas mesti diaktualisasikan secara cerdas. Kondisi darurat yang membutuhkan bantuan mesti diutamakan dengan skala prioritas. Setelahnya penting dipahami dinamika dan dikaji akar permasalahannya. Harapannya bentuk solidaritas berikutnya baik berupa bantuan material maupun non material akan tepat sasaran dan tidak justru menambah atau memperkeruh permasalahan. Kondisi dilematis biasanya muncul jika akarnya adalah konflik. Sedapat mungkin solidaritas mampu membangun mitigasi konflik dan tidak larut dalam konflik.

Upaya solidaritas dapat dilakukan misalnya dengan diplomasi, mempertemukan lintas stakeholder dan lainnya. Bahkan jika sudah tidak ada opsi lain dan hasil kajian menunjukkan adanya pelanggaran dapat menempuh jalur hukum.

Ketiga, solidaritas dilakukan secara damai. Tujuan solidaritas adalah membantu agar tercipta kedamaian dan kesejahteraan. Sehingga lakunya harus juga dengan laku damai. Aksi yang meluapkan emosi untuk mengecam tindakan penindasan mesti tetap dilakukan dalam koridor konstitusional dan peraturan internasional. Generalisasi mesti dihindari, misal dengan menarik pusara konflik wilayah lain ke daerahnya. Dinamika kemanusiaan adalah inti dari peradaban. Perbedaan identitas dan sekat justru harus disikapi dengan kebutuhan solidaritas yang kuat.

Solidaritas di era kini tidak cukup hadir di dunia nyata, namun juga di dunia maya (siber). Hal ini tidak terlepas dari tuntutan era informasi. Solidaritas siber dibutuhkan guna menandingi dan melawan upaya-upaya pihak-pihak yang tidak menginginkan kedamaian. Selain itu juga juga perlu dalam upaya bersama mengkampanyekan kedamaian itu sendiri.

Facebook Comments