Gotong Royong Mendeteksi Benih Radikalisme di Kalangan ASN

Gotong Royong Mendeteksi Benih Radikalisme di Kalangan ASN

- in Narasi
1085
0
Gotong Royong Mendeteksi Benih Radikalisme di Kalangan ASN

Tertangkapnya lima anggota jaringan teroris di Aceh yang salah satunya merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan bukti nyata bagaimana infiltrasi ideologi radikalisme dan terorisme di lembaga pemerintahan itu begitu mengkhawatirkan. Kasus di Aceh itu bisa dipastikan hanyalah puncak dari fenomena gunung es yang sebenarnya. Desas-desus banyaknya birokrat dan ASN terlibat terorisme atau setidaknya bergabung dengan ormas-ormas intoleran-radikal sudah sejak dulu berembus. Di luar yang dapat diidentifikasi, kita patut curiga ada lebih banyak ASN yang terlibat jaringan radikalisme dan terorisme.

Survei lembaga Alvara Research Center pada tahun 2017 lalu cukup memberikan gambaran bagaimana ideologi radikal berkembang di kalangan ASN. Dalam survei tersebut, ada gambaran jelas preferensi ideologi di kalangan ASN. Meski sebagian besar masih menyetujui ideologi Pancasila sebagai dasar negara (85, 4 persen), namun ada sebagian ASN setuju dengan gagasan khilafah sebagai bentuk negara ideal ketimbang NKRI (22, 2 persen). Ironisnya, ada 19, 6 persen ASN yang menyetujui tindakan kekerasan dengan tujuan mendirikan kekhalifahan Islam. Angka-angka itu tentu bukan sekadar statistik, melainkan semacam warning alarm bagi pemerintah dan masyarakat akan peta penyebaran radikalisme di kalangan ASN.

Fenomena ASN terlibat radikalisme, apalagi terorisme tentu tidak bisa dianggap sebagai masalah remeh. Seperti kita tahu, ASN merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah (negara) yang bertugas melayani masyarakat dengan berlandaskan pada konstitusi. ASN merupakan pelaksana lapangan dari seluruh kebijakan pemerintah. Dalam konteks wawasan kebangsaan, ASN kiranya menjadi pelopor sekaligus teladan pengamalan nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila di tengah masyarakat. Lantas, apa jadinya jika mereka justru terlibat radikalisme dan terorisme yang kita tahu merupakan musuh besar bagi keutuhan NKRI dan Pancasila?

Maraknya penyebaran radikalisme dan terorisme di kalangan ASN ini bisa dikatakan sebagai sebuah kondisi kecolongan yang dialami oleh pemerintah maupun masyarakat. Selama ini kita kadung percaya dan optimistis bahwa kalangan birokrat dan ASN pasti steril dari paparan ideologi radikal-ekstrem. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Di satu sisi, kelompok-kelompok jaringan teroris dan organisasi radikal menjadikan para pegawai pemerintah, terutama ASN sebagai sasaran prioritas untuk direkrut menjadi anggota atau simpatisannya. ASN merupakan kelompok kelas menengah yang dianggap memiliki kelas sosial tinggi, serta memiliki akses pada kebijakan pemerintah sehingga sangat strategis dalam sebuah gerakan sosial-keagamaan. Fakta inilah yang membuat kelompok radikal-teroris sangat giat melancarkan propaganda dan indoktrinasinya di kalangan ASN.

Pentingnya Sistem Deteksi Dini Radikalisme di Kalangan ASN

Di saat yang sama, kita harus mengakui bahwa instansi-instansi pemerintah kurang maksimal dalam membangun sistem deteksi dini radikalisme. Akibatnya, banyak instansi pemerintah merasa kecolongan ketika banyak anggotanya memiliki pandangan yang radikal, atau malah terlibat dalam jaringan teroris. Salah satu contoh bentuk kecolongan instansi pemerintah terhadap infiltrasi radikalisme itu ialah banyaknya masjid-masjid di lingkungan pemerintah yang menjadi area propaganda dan indoktrinasi paham radikal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak masjid atau mushalla di kantor-kantor pemerintahan lebih sering mendaulat para penceramah agama atau ustasd bercorak radikal ketimbang mengundang para ulama moderat.

Maka dari itu, kita membutuhkan sikap kegotongroyongan untuk mendeteksi dini radikalisme di kalangan ASN. Dalam konteks ini, kita patut menyambut gembira dikeluarkannya Perpes RAN PE yang salah satu tujuan pokoknya ialah membangun sinergi antarlembaga dan kementerian dalam menghalau segala bentuk gerakan ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Perpres RAN PE kiranya bisa menjadi payung hukum sekaligus katalisator kebijakan untuk mendorong terciptanya gotong royong lintassektor dalam mendeteksi gejala awal radikalisme di kalangan birokrat pemerintah. Selain itu, kita juga patut mendukung gagasan Menteri BUMN Erick Tohir yang mengusulkan agar penceramah di lingkungan kantor BUMN berasal dari ulama-ulama Nahdlatul Ulama. Gagasan ini kiranya bisa diduplikasi ke lingkungan kantor pemerintah lainnya.

Di saat yang sama dan tidak kalah pentingnya ialah pemerintah perlu terus-menerus melakukan pengawasan internal terkait pandangan dan sikap keberagamaan kalangan ASN. Ini penting lantaran radikalisme biasanya dimulai dengan gejala-gejala awal seperti keberagamaan yang eksklusif, anti-perbedaan, intoleran hingga akhirnya mengarah pada sikap kebencian dan aksi kekerasan. Kebutuhan untuk membangun sistem deteksi dini radikalisme yang memadai di kalangan ASN ialah kebutuhan mutlak dan tidak bisa ditawar. Terlalu beresiko bagi keutuhan negara jika banyak ASN terpapar ideologi radikal, apalagi terlibat jaringan teroris. Sistem deteksi dini itu akan lebih efektif jika diterapkan mulai dari proses rekrutmen ASN. Pemerintah perlu memikirkan sebuah mekanisme seleksi dan pembinaan ASN untuk memastikan para abdi negara itu steril dari paham radikal-ekstrem. Upaya ini bisa dilakukan dengan menjalin sinergi dengan banyak stakeholder mulai dari organisasi keagamaan sampai para tokoh agama berhaluan moderat.

Facebook Comments