Intoleransi, Rasisme dan Masa Depan Kebhinekaan NKRI

Intoleransi, Rasisme dan Masa Depan Kebhinekaan NKRI

- in Narasi
1247
0
Intoleransi, Rasisme dan Masa Depan Kebhinekaan NKRI

Indonesia merupakan bangsa yang didirikan di atas fondasi imajinasi tentang kebhinekaan. Indonesia tidak didesain sebagai sebuah negara yang monokultur apalagi monoreliji. Indonesia ialah negara dan bangsa yang menyatukan kepingan-kepingan suku, ras, agama dan budaya yang berbeda dan mengikatnya dengan komitmen persatuan dan kesatuan. Maka, musuh utama dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini pada dasarnya ialah segala anasir, paham atau gerakan yang potensial menimbulkan retakan-retakan sosial. Dua di antaranya yang paling mengkhawatirkan ialah intoleransi dan rasisme yang belakangan ini mencuat di ruang publik kita.

Sikap intoleran merupakan respons negatif dalam menyikapi perbedaan terutama soal agama dan budaya. Alih-alih bersikap afirmatif dan menerima perbedaan sebagai keniscayaan, pandangan intoleran cenderung mendorong manusia untuk bersikap destruktif dalam menyikapi perbedaan. Sikap intoleran bisa dimanifestasikan ke dalam berbagai bentuk, mulai dari verbal (ucapan), struktural (kebijakan), maupun fisik (kekerasan). Intoleransi bisa dibilang merupakan problem klasik bangsa yang hingga saat ini belum terselesaikan. Sedangkan rasisme, merupakan pandangan yang menganggap satu ras lebih superior ketimbang ras lain sehingga melahirkan pandangan yang aroganistik. Seperti halnya intoleransi, rasisme juga bisa mewujud ke dalam tindakan verbal, struktural, maupun fisik.

Dalam sistem demokrasi yang meniscayakan adanya kebebasan dan keterbukaan, sikap intoleran dan rasisme merupakan sebuah anomali yang seolah tidak bisa dihindarkan. Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku berjudul The Social Construction of Reality menyebut bahwa semua anomali sosial, termasuk sikap intoleran dan rasisme merupakan hasil dari konstruksi sosial masyarakat. Ini artinya, intoleransi dan rasisme bukan hal alamiah yang ada di diri manusia, melainkan hasil konstruksi masyarakat dimana manusia itu tinggal. Berger dan Luckman mengistilahkan anomali sosial, termasuk intoleransi dan rasisme ini sebagai sebuah creative destructive yakni kreatifitas manusia yang sifatnya merusak.

Creative destructive yang mewujud pada sikap intoleran dan rasisme ini tidak pelak telah mendorong masyarakat untuk berperilaku hirarkis, kaku, arogan dan segregatif. Dalam konteks Indonesia hal ini muncul pada pola kehidupan masyarakat yang cenderung terkotak-kotakkan oleh perbedaan SARA (suku, agama, dan ras). Pola kehidupan sosial yang demikian itu jelas bukan ideal apalagi dalam konteks Indonesia yang dikenal sebagai negara bhineka. Pola segregasi sosial cenderung rawan akan pecahnya konflik sosial. John Gunn dalam Violence in Human Society dengan nada mewanti-wanti menyebutkan bahwa bencana atau krisis kemanusiaan di dalam sebuah masyarakat bisa terjadi manakala ikatan positif (sosial, kultural dan spiritual) itu hancur. Hancurnya ikatan positif itu akan menggiring masyarakat ke arah sifat dan perilaku yang didasari kecurigaan, prasangka dan kebencian bahkan kekerasan.

Membangun Kreatifitas dan Imajinasi Konstruktif

Intoleransi dan rasisme barangkali bisa dikategorikan sebagai gejala putusnya ikatan positif tersebut. Intoleransi dan rasisme yang dilakukan secara berulang dan masif jelas akan menimbulkan perasaan trauma pada korban yang umumnya merupakan kaum minoritas. Dalam jangka panjang, trauma itu bisa bereskalasi dan bertransformasi menjadi dendam yang melahirkan bentuk diskriminasi dan kekerasan yang baru. Jika ini terjadi, maka kita akan terjebak pada kondisi yang diistilahkan oleh Helder Camara sebagai spiral of violence alias spiral kekerasan berulang yang sukar diputus. Lebih parah lagi, jika intoleransi dan rasisme itu lantas disikapi secara permisif dan dianggap wajar oleh masyarakat.

Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan masa depan kebhinekaan NKRI? Satu hal yang pasti, kita tidak bisa membiarkan praktik intoleransi dan rasisme menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Sebaliknya, kita harus menganggapnya sebagai penyakit sosial (social patology) yang harus diobati dan dienyahkan. Langkah pertama yang bisa kita ambil ialah mengembangkan budaya counter-violence dengan menumbuhkan imajinasi dan kreatifitas yang bersifat konstruktif, alih-alih destruktif. Kreatifitas konstruktif inilah yang akan mendorong masyarakat untuk membangun sebuah sistem sosial yang dilandasi oleh nilai, spirit dan prinsip egalitarianisme. Dalam kultur egalitarian, semua kelompok suku, agama dan ras akan diperlakukan setara dan adil.

Langkah kedua ialah membangun budaya dialogisme di kalangan entitas bangsa yang beragam. Harus dipahami bahwa hilangnya ikatan kebangsaan yang tergerus oleh nalar intoleransi dan rasisme merupakan ekses negatif dari lunturnya budaya dialog di kalangan entitas bangsa. Kita sudah terlalu lama bermonolog, berbicara dengan satu sudut pandang, satu kepentingan dan satu tujuan, yakni mengedepankan satu golongan saja. Kita lupa bahwa bangsa ini dibangun dengan tujuan kolektif yang mencakup seluruh entitas suku, agama dan ras yang beragam. Disinilah pentingnya dialog agar terjadi kesepahaman dan menghindari adanya perpecahan.

Filosof Mikhail Bakhtin pernah berujar bahwa dialog merupakan hal yang penting mengingat manusia bukanlah benda mati, melainkan makhluk berjiwa yang memiliki kehendak dan ekspresi. Dialog dalam pandangan Bakhtin tidak hanya sekadar dipahami sebagai sebuah komunikasi verbal antara dua pihak atau lebih. Namun, lebih dari itu dialog ialah upaya untuk saling memahami. Melalui dialog, sang liyan (the other) akan memainkan peranan sentral dalam membentuk sang diri (the self). Tanpa sang liyan, sang diri tidak akan bermakna apa-apa.

Konkretnya, kita memahami diri kita dengan berinteraksi, bersosialisasi dan berdialog di ruang sosial. Eksistensi manusia, menurut Bakhtin pada dasarnya tercermin dari pola interaksinya dengan orang lain. Budaya dialog ini penting untuk membangun tradisi kesaling-pengertian dan kesaling-pemahaman antarentitas bangsa yang bisa meminimalisasi praktik intoleransi dan rasisme. Dengan mengaplikasikan kreatifitas konstruktif inilah kita patut optimis bisa menjaga dan merawat kebhinekaan NKRI di tengah kepungan arus perpecahan dan segregasi sosial.

Facebook Comments