Nuladha laku utama
Tumrape wong Tanah Jawi
Wong agung ing Ngeksiganda
Panembahan Senopati
Kepati amarsudi
Sudane hawa lan nepsu
Pinesu tapa brata
Tanapi ing siyang ratri
Amamangun karyenak tyasing sasama
—Serat Wedhatama
Pemahaman keagamaan yang radikal, pada dasarnya juga bisa dipicu oleh latar-belakang keagamaan yang kecil ataupun kurang. Tak jarang, dalam konteks agama Islam, orang-orang yang sok islami sebelumnya hanyalah para libertarian yang kemudian merasa bertobat, dan celakanya, menganggap yang tak sebagaimana dirinya hanyalah kalangan yang seolah-olah beragama, yang butuh diingatkan bahkan sekedar untuk berbasah basmalah.
Padahal, ibarat lomba lari, mereka yang didamik sebagai kalangan yang seolah-olah beragama, yang barangkali melakoni hidup dimana kehidupan itu tak semata dapat dirangkum oleh berbagai teks keagamaan, apa yang kini sedang dijalani para mantan libertarian dalam beragama itu telah mereka lakoni pada saat usia-usia bocah, dimana kehidupan hanyalah serasa selebar daun kelor. Maka dapat dipastikan, bagaimana konsep-konsep seperti pluralitas agama, moderasi beragama, kebatinan, dialog lintas-iman, atau konsep-konsep dan praktik-praktik untuk menata ruang bersama, dapat menjadi hal-hal yang sedemikian mengancam akidah.
Namun, apakah golongan “lawasan” yang didamik sebagai golongan yang seolah-olah beragama itu diam saja ketika mereka direndahkan sedemikian rupa oleh para mantan libertarian semacam itu?
Bagi sementara orang, para mantan libertarian itu justru diangkat tinggi-tinggi dan didudukkan laiknya para ustadz ataupun ustadzah, dan bahkan mursyid ataupun mursyidah, hanya agar perasaan bertobatnya menuai hasil, meskipun dengan kegelian yang hinggap dengan amat sangat meresapnya.
Radikalisme keagamaan, dalam berbagai data yang ada, sebenarnya lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang memiliki latar-belakang keagamaan yang minim laiknya para mantan libertarian yang merasa bertobat itu. Pada tahap inilah mereka dapat dikatakan belum dewasa dalam beragama.
Dalam kearifan budaya Jawa terdapat ungkapan bahwa kebenaran itu (bener), meskipun otomatis tak salah, belum tentu juga berarti pener. Watak-watak apologetik dalam beragama, yang lazimnya dimiliki oleh para mantan libertarian yang kemudian merasa bertobat, atau bisa pula orang-orang baru dengan kondisi psikologis yang biasa menjangkiti proses merasakan sebuah kebenaran, dalam kasus ini, adalah sebuah tamsil yang bagus tentang kearifan Jawa itu.
Bener, atau sebuah kebenaran, bahwa Tuhan itu tak bisa diserupakan dengan apapun, termasuk dengan manusia. Namun, akan menjadi hal yang tak pener ketika dikenakan pada Yesus sebagaimana yang diyakini oleh para umatnya. Atau sebaliknya, juga bener bahwa Tuhan, karena saking Maha Kuasanya, bisa menyejarah atau memanusia. Namun, tak akan pener ketika kebenaran itu dikenakan pada Tuhan sebagaimana yang diyakini oleh umat Islam.
Satu rahasia dari bener yang belum tentu pener itu ternyata adalah bahwa menjaga rasa orang lain sama dengan menjaga rasa sendiri. Dan tentu rumus ini adalah ketika beragama bukan sekedar soal tubuh dan nalar belaka, namun juga soal rasa pangrasa. Di sinilah konon rasa adalah wilayah sekaligus sikap puncak dalam agama dan beragama. Tubuh boleh penyok, nalar boleh tumpul, namun rasa ternyata mampu tak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Karena itulah, dalam Serat Wedhatama, “Amamangun karyenak tyasing sasama,” atau menata rasa sesama, tak kalah penting dengan kewajiban-kewajiban beragama yang lain: “Kepati amarsudi/ Sudane hawa lan nepsu/ Pinesu tapa brata.”