“(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.” (Q.S. An-Nur ayat 15).
Firman Allah ini sangat tepat menggambarkan konflik dan permusuhan antar sesama akibat viral kebohongan yang dialirkan melalui media sosial. Kalimat ‘dari mulut ke mulut’ bisa dimaknai dengan dengan ‘dari laman ke laman’, sesuai dengan aliran media sosial melalui facebook, twitter, line, whatsApp, dan lainnya. Cukup memencet item dalam smartphone, maka berita/informasi yang tak jelas sumbernya, yang seringkali memunculkan konflik dan viral kebohongan, begitu mudah menyebar tanpa bisa dihentikan. Sebuah trending topic kerap membuat pengguna sosial media merasa malu jika tidak ikut membicarakannya. Minimal ia akan membagikan kiriman tentang hal yang sedang in.
Dari sini, Idul Fitri sejatinya melahirkan pribadi cerdas dan tidak mudah ikut dalam viral kebohongan. Pribadi yang lahir dari keadaan fitri maka menjadi sosok menebarkan kedamaian dan penuh kasih sayang. Kalau ada berita/informasi yang tidak jelas, maka akan melakukan klarifikasi. Ini sangat tegas dinyatakan dalam al-Quran. “Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat, ayat 6).
Tradisi hidup rukun dan saling tegur sapa sangat nyata dalam momentum idul fitri. Untuk mengetahui kondisi dan keadaan orang lain, maka silaturrahim harus dilakukan ketemu langsung, bukan sekedar melalui media sosial. Walaupun jarak jauh dan medan yang penuh gejolak, tetap saja mereka rela dan siap melakukan apapun demi bertemu saudara dan familinya. Komunikasi melalui teknologi belum bisa menggantikan hidup guyup rukun yang memang mengakar kuat dalam tradisi Islam Nusantara. Inilah kekhasan Islam Nusantara yang terejawantahkan dalam idul fitri dan tradisi mudik.
Kerukunan menjadi kekuatan Umat Islam Indonesia untuk membangun sinergis dalam membangun masa depan bangsa. Kalau tidak ada kerukunan, niscaya Indonesia sudah hancur sejak lama. Karena politik pecah belah (devide at ampera) yang dilakukan penjajah sempat membuat kekuatan bangsa ini tercerai berai, walaupun akhirnya tetap bersatu dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perbedaan pendapat/pandangan dalam menafsirkan ajaran agama tidak kemudian saling mengafirkan, apalagi membunuh. Perbedaan justru dimaknai sebagai rahmat (kasih sayang), sehingga umat terus diajak merajut persahabatan.
Inilah fitrah keindonesiaan yang melekat kuat dalam semua gerak tradisi Islam Nusantara. Makanya, KH A Mustofa Bisri (2015) menegaskan bahwa sejak lahir, kita ini hidup sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan dilahirkan di Indonesia. Kalimat pertama, ‘orang Indonesia yang beragama Islam’ mengharuskan umat Islam di Indonesia untuk mencintai Indonesia. Maka, membela negara merupakan kewajiban bagi seluruh warga Indonesia. Kalau tuan rumah tidak cinta sama rumah bernama Indonesia, itu aneh.
Sementara itu, kalimat kedua; ‘orang Islam yang kebetulan dilahirkan di Indonesia’ cenderung tidak memiliki kewajiban untuk menjaga tanah air. Kelompok Islam yang mengikuti paham tersebut, cenderung menggampangkan kecintaan terhadap Indonesia sebagai tanah air. Mereka seperti turis, tidak peduli mau rumahnya rusak bahkan hancur.
Gus Mus selalu menegaskan bahwa semestinya Islam melahirkan kecintaan dan kasih sayang dalam beragama. Gus Mus selalu mengajak dunia Islam internasional untuk mencontoh Islam yang ada di Indonesia, yang dapat bersanding dengan damai terhadap agama dan ajaran yang berbeda.
Kerukunan, Sumber Keberkahan
Hidup rukun adalah sumber keberkahan. Dengan hidup rukun, maka berkah Tuhan mengalir kepada manusia. Sebaliknya, hidup saling bermusuhan, maka hanya menghadirkan murka Allah. Inilah yang selalu menjadi pegangan umat Islam Indonesia dalam menjaga tanah airnya bernama NKRI.
Spirit kerukunan ini, setidaknya, bisa dilacak dari kisah para Nabi dalam membimbing umat manusia. Lihat saja kisah Nabi Musa AS dalam membimbing bani Israil. Suatu ketika, bani Israil mengalami masa paceklik. Kemarau panjang membuat hamparan bumi mengering. Tanah gersang, air tak muncul dari bumi. Melihat kondisi yang demikian, Nabi Musa sebagai pemimpin bani Israil pun memimpin mereka untuk berdoa kepada Allah. Nabi Musa memimpin mereka untuk memohon hujan, sholat Istisqa. Pertama kali melakukan Istisqa, hujan belum kunjung turun. Tanah masih kering. Pepohonan belum ada yang tumbuh. Rumput-rumput masih kering. Tidak ada kehijauan di daerah tersebut.
Sholat istisqo’ dilakukan sampai tiga kali, tetapi Allah tetap saja belum menurunkan hujan. Sampai akhirnya, Allah memberikan kabar kepada Musa terkait kondisi umatnya tersebut. “Wahai Musa, ketahuilah bahwa di antara kaummu itu ada yang saling bermusuhan. Maka, jika kaummu itu bisa menjaga kerukunan, maka akan turun hujan walau tanpa Istisqa.”
Nabi Musa akhirnya mengumpulkan kaumnya dan menjelaskan terkait wahyu yang telah ia terima. Akhirnya umat Nabi Musa saling bermaaf-maafan, merajut kerukunan antar sesama. Tidak lama, akhirnya hujan datang juga. Tanpa sholat istisqo lagi, Allah sudah memberikan anugerah berupa hujan kepada Nabi Musa dan umatnya.
Inilah, fakta bahwa kerukunan menjadi fitrah keindonesiaan kita. Ini adalah warisan para leluhur yang menanamkan nilai kebajikan antar sesama, sehingga berkah melimpah bisa dinikmati anak cucu sampai hari ini. Hidup yang saling memaafkan dan guyup rukun dalam momentum idul fitri akan memberikan keberkahan bagi bangsa ini. Anugerah Allah selalu mengalir kepada umat manusia yang saling memaafkan dan menjaga kerukunan. Fitrah manusia yang harus saling dilestarikan dalam tradisi Islam Nusantara.