Keruntuhan Peradaban dan Penthahelix

Keruntuhan Peradaban dan Penthahelix

- in Kebangsaan
6
0
Setiap peradaban besar mempunyai titik tolak dan momentum yang diperingati yang dikenal dengan sistem kalender. Kalender Gregorian adalah yang identik dengan umat Nasrani dan paling umum dikenal secara internasional diperkenalkan Paus Gregorius XIII pada tahun 1582 yang mengawali pada 1 Januari. Bangsa Yahudi dengan kalender Ibrani mengenal tahun baru Rosh Hashanah. Ada juga peradaban Tionghoa berbasis siklus bulan yang dikenal dengan Imlek. Ada pula Kalender Persia yang dikenal sebagai Kalender Iran dengan tahun baru yang disebut Nowruz. Dan tentu saja, peradaban Islam yang dikenal dengan tahun baru Hijriyah, dimulai bulan Muharram. Kenapa Islam akhirnya memutuskan harus mempunyai sistem kalender dan peringatan yang harus diperingati setiap tahun? Bukankah Nabi tidak mengajarkannya? Pertama tentu kita tidak boleh berasumsi Islam dengan ijtihad pemikiran dan kebudayaannya sudah selesai ketika Nabi wafat. Banyak sekali tantangan dan kebutuhan yang harus dilalui dan dilampaui umat Islam. Inovasi, kreasi dan kebaruan bukan bid’ah yang tabu dalam memajukan Islam. Adalah Khalifah Umar bin Khattab yang berinisiatif agar umat Islam mempunyai sistem penanggalan yang jelas karena ketiadaan catatan waktu dari dokumen untuk keperluan admistratif pemerintahan. Dipanggillah tokoh-tokoh untuk mendiskusikan sistem kalender dan awal mula tahun dalam Islam. Singkat kata, Islam mengawali pada momentum perpindahan dari Makkah ke Madinah yang dikenal hijrah. Sistem kalender ini pun dikenal dengan Tahun Hijriyah. Bukan merujuk pada sistem kalender Romawi, Persia dan sebagainya. Bukan pula merujuk pada kelahiran atau wafatnya Nabi. Pilihan cerdas umat Islam adalah momentum hijrah. Jenius dan tepat sekali ketika kalender Islam disandarkan pada momentum hijrah. Setiap tahun umat Islam diingatkan untuk kembali mengambil pesan dan semangat perpindahan mentalitas dan pemikiran dari kejumudan, fanatisme, dan kebencian menuju semangat komunitas Madinah yang dinamis, toleran, terbuka dan yang paling penting terikat dalam persaudaraan. Hijrah Nabi ke Madinah bukan sekedar pelarian dan pencarian suaka politik sebagaimana hijrah sebelumnya. Hijrah kali ini berbeda. Ada misi penyelamatan umat dari cengkraman penyiksaan kaum Qurays sekaligus misi perdamaian di Madinah sebagaimana permintaan para suku-suku yang selalu terlibat pertikaian di sana. Maka, yang paling sukses dan teringat dari hijrah ini adalah ikatan persaudaraan Madinah. Membangun sebuah peradaban yang diikat dengan tali persaudaraan. Tidak ada lagi kekerasan, kebencian dan ekslusifitas, tetapi semua berada dalam naungan konsitusi yang disusun dan diperjanjikan bersama. Sangat brilian apa yang dilakukan Rasulullah dengan gerakan hijrah dan membangun Madinah. Tidak ada yang merasa tersisihkan. Pendatang tidak mengalahkan pribumi. Perbedaan suku dan agama bukan halangan untuk saling melindungi. Negara dengan ide demokrasi yang pada saat bersamaan daratan lain masih bermegah-megah dengan sistem kekaisaran dan kerajaan. Dan tentu saja, tidak mengherankan ketika sahabat Umar, sang Khalifah dan mujtahid ini, tidak diragukan memilih momentum hijrah sebagai penanda awal tahun baru Islam. Bukan tanpa makna dan pesan. Umar tentu saja ingin umat Islam generasi berikutnya yang belum mengalami peristiwa hijrah mampu merasakan energi dan sensasi hijrah. Apa pesannya? Umat Islam diajak untuk melakukan muhasabah. Intropeksi dan refleksi. Meninggalkan kebiasaan penuh dendam, benci dan permusuhan menuju semangat saling bersaudara. Selamat Tahun Baru Islam, Mari Perkokoh Persaudaraan Kebangsaan Kita.

Tragedi di padang Bubat pada abad keempat belas, di mana kesalahpahaman diplomatik antara
Majapahit dan Sunda berujung pertumpahan darah, menjadi pembuka babak kelam bagi keruntuhan
sebuah imperium besar. Peristiwa ini, meski bukan perang saudara di jantung Majapahit,
menyiratkan bibit kerapuhan internal yang kelak membesar dan berpuncak pada Perang Paregreg.

Berbeda dengan ancaman eksternal, Perang Paregreg justru dipicu oleh perseteruan antar elite
pewaris takhta yang saling menggerogoti pilar kekuasaan. Ironisnya, Sumpah Palapa Gajah Mada
yang telah merajut Nusantara dalam satu visi kebesaran, justru terkoyak oleh intrik dan ambisi
personal generasi penerusnya. Sejarah kelam ini memberikan pelajaran universal: pertahanan sejati
sebuah entitas politik atau peradaban tidak terletak pada kekuatan militer, melainkan pada kohesi
sosial dan kemampuan mengelola friksi internal menjadi energi konstruktif. Pelajaran kuno inilah
yang secara relevan menggema dalam upaya modern menanggulangi ancaman asimetris seperti
terorisme melalui pendekatan kolaboratif Pentahelix.

Pendekatan Pentahelix, yang mengintegrasikan pemerintah, akademisi, sektor swasta, komunitas
sipil, dan media, merupakan manifestasi kontemporer dari evolusi tata kelola negara. Ini menandai
pergeseran dari paradigma government yang sentralistik menuju konsep governance yang
partisipatif dan berjaringan, sebuah upaya menggalang "modal sosial" sebagaimana diungkapkan
Robert Putnam. Kepercayaan, norma resiprositas, dan partisipasi aktif warga menjadi fondasi
tindakan kolektif menghadapi ancaman transnasional dan ideologis. Negara tidak lagi berperan
sebagai Leviathan tunggal ala Thomas Hobbes, melainkan sebagai fasilitator sinergi kekuatan
masyarakat, mengakui keterbatasannya sekaligus potensi besar masyarakat sipil.

Namun, tantangan implementasi Pentahelix terletak pada orkestrasi kelima elemen agar bergerak
harmonis, menghindari kakofoni akibat ego sektoral atau ketidakpercayaan. Kearifan sejarah
Nusantara dengan tradisi konsultatifnya menjadi krusial. Konsep deliberasi publik dan pengambilan
keputusan partisipatoris harus menjiwai interaksi dalam Pentahelix, bukan sekadar pelibatan
formalistik. Ini berarti mendengar dan mengakomodasi beragam suara, termasuk minoritas dan
kelompok rentan. Sebagaimana diingatkan Johan Galtung, kekerasan struktural, ketidakadilan sosial,
dan marginalisasi ekonomi seringkali menjadi lahan subur radikalisasi. Oleh karena itu, mengatasi
keluhan sosial-ekonomi secara adil adalah bagian integral strategi pencegahan terorisme yang
komprehensif.

Dalam pilar deradikalisasi, di mana program seringkali terfragmentasi, Pentahelix menawarkan
strategi holistik dan terkoordinasi. Deradikalisasi efektif melampaui indoktrinasi kognitif; ia harus
menyentuh dimensi psikologis, emosional, dan eksistensial individu. Ini memerlukan keterlibatan
ahli psikologi, sosiolog, antropolog, dan tokoh masyarakat sebagai "mediator budaya" yang
menjembatani narasi kebangsaan dengan realitas individu. Program reintegrasi mantan narapidana
terorisme, misalnya, akan lebih berdaya guna jika mengedepankan penerimaan sosial, penghapusan
stigma, dan pemberdayaan ekonomi, sejalan dengan teori kontrol sosial Travis Hirschi yang
menekankan penguatan ikatan sosial individu dengan komunitas pro-sosial.

Perang melawan terorisme pada hakikatnya adalah "perang ideologi," sebuah pertarungan narasi. Di
sinilah peran sentral akademisi, media, dan institusi pendidikan dalam Pentahelix tak terbantahkan.
Urgensi verifikasi informasi (tabayyun), perlawanan terhadap disinformasi dengan argumentasi solid,
dan penyebaran narasi persuasif menjadi agenda utama. Konten digital yang menyebarkan
intoleransi harus dihadapi dengan kontra-narasi cerdas yang mengedepankan nilai kemanusiaan

universal, kearifan lokal, dan penguatan literasi digital kritis. Ini adalah pertarungan dalam "ruang
publik" Jürgen Habermas, di mana nalar publik harus menang atas obskurantisme.
Namun, perlu kewaspadaan agar Pentahelix tidak menjadi jargon atau panggung elite semata,
terjebak formalitas tanpa substansi. Mekanisme evaluasi yang transparan, independen, dan
akuntabel mutlak diperlukan sebagai sistem checks and balances untuk memastikan kolaborasi ini
menghasilkan dampak positif terukur. Tanpa akuntabilitas dan pengawasan publik, model ideal
sekalipun berpotensi disalahgunakan atau menjadi tidak efektif.

Pada akhirnya, keberhasilan Pentahelix menanggulangi terorisme tidak diukur dari nihilnya serangan
fisik, melainkan dari terbangunnya ketahanan sosial (social resilience) yang berakar pada partisipasi
aktif masyarakat, keadilan sosial, dan penghormatan HAM. Ini adalah kerja kebudayaan dan
peradaban yang memerlukan napas panjang dan komitmen tulus. Sebagaimana leluhur menjaga
harmoni melalui semangat kebersamaan, kita di era modern harus merawat peradaban dari
ancaman disintegrasi melalui kolaborasi substantif. Kegagalan membangun kohesi sosial hakiki
hanya akan mengulang tragedi Paregreg dalam bentuk baru, di mana kerapuhan internal menjadi
pintu masuk bagi anasir destruktif.

Facebook Comments