Kesaktian Pancasila Ada dalam Laku Keseharian

Kesaktian Pancasila Ada dalam Laku Keseharian

- in Narasi
1307
0

Pancasila adalah dasar negara yang diharapkan bisa menjadi spirit yang dijiwai seluruh rakyat Indonesia. Jiwa atau spirit Pancasila ini merupakan modal untuk menciptakan kehidupan yang dicita-citakan bersama; masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jiwa Pancasila diharapkan bisa terbatinkan dan menjadi spirit bagi seluruh masyarakat, dari kelompok dan lapisan mana pun, sehingga tercipta persatuan, sinergi, dan keharmonisan dalam kehidupan bersama.

Pelbagai pihak atau kelompok, terutama yang merasa tidak puas akan jalannya kehidupan bangsa ini, akan selalu menyuarakan aspirasinya. Ketika ada ketidakadilan terjadi, masyarakat akan mempertanyakan di mana nilai-nilai keadilan yang dimiliki bangsa ini sebagaimana terkandung dalam Pancasila. Di titik ini, Pancasila akan menjadi pengontrol bagi jalannya pemerintahan.

Persoalan muncul ketika segala ketidakpuasan masyarakat terhadap jalannya kehidupan bangsa ini tak disampaikan secara proporsional melalui ketentuan yang berlaku, melainkan ditunggangi oleh kelompok atau oknum tertentu, yang kemudian memunculkan gerakan-gerakan yang bisa mengancam tegaknya bangunan negara Pancasila yang selama ini kita jaga. Di titik inilah, nilai-nilai Pancasila seperti nilai persaudaraan, persatuan, dan toleransi yang selama ini kita rawat mendapat cobaan dengan munculnya pelbagai permusuhan antar sesama saudara sebangsa.

Melihat hal tersebut, maka menjadi penting untuk terus merawat nilai-nilai Pancasila agar kita bisa menghadapi segala bentuk ancaman dan tantangan yang muncul. Seperti ditegaskan dalam editorial Jalandamai (25/9), bahwa setidaknya ada dua tantangan besar yang pernah dihadapi Pancasila sebagai ideologi sakti yang melindungi kehidupan bangsa ini. Pertama, menguatnya gerakan radikalisme keagamaan yang bercita-cita mengusung negara agama sebagai dasar negara. Kedua, gerakan radikalisme berhaluan kiri, yang dimotori gerakan komunisme di Indonesia.

Kedua hal tersebut seperti dua pihak yang bergantian berebut dominasi dan pengaruh di tengah negara Pancasila yang sedang terus belajar mengamalkan nilai-nilai Pancasilanya sendiri ini. Sebagaimana diungkapkan Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latif, dalam tulisannya berjudul Menuju Pancasila Sakti (Kompas, 26/9/2017) bahwa berbagai cobaan ideologis yang dialami bangsa ini menyiratkan adanya jurang yang lebar antara idealitas dan realitas Pancasila. “Apabila jutaan anak Indonesia lebih tertarik pada ideologi-ideologi lain ketimbang Pancasila, pertanda ada yang salah dalam cara kita mempromosikan dan mengamalkan Pancasila,” tulisnya.

Nilai-nilai Pancasila harus mewujud dalam praktik-praktik riil kehidupan. Untuk bisa merevolusikan Pancasila, lanjut Yudi Latif, bangsa Indonesia harus memiliki tiga kesaktian (Trisakti) di tiga ranah perubahan sosial; berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam hal ini, bagi penulis, aspek paling mendasar yang menjadi tiang penyangga terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis dan damai adalah terwujudnya masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Mewujudkan masyarakat berkepribadian dalam kebudayaan artinya tentang membangun masyarakat religius yang berperikemanusiaan, sanggup menjalin persatuan (gotong-royong), persaudaraan, dan semangat pelayanan (pengorbanan) pada sesama. Hal yang akan kita temukan ketika mendalami sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia. Ini tentang bagaimana mewujudkan masyarakat beragama yang mampu menebarkan semangat kemanusiaan dan persatuan, dengan ciri tolong-menolong, persaudaraan, dan pengorbanan. Jika kita perhatikan, nilai-nilai tersebut tak lain adalah hal yang sangat krusial untuk kembali dirawat di tengah gelombang intoleransi berbasis SARA yang menguat belakangan ini, di mana etos persatuan, kemanusiaan, dan kebhinekaan terus tergerus.

Keteladanan

Agar nilai-nilai Pancasila bisa tertanam di jiwa seluruh masyarakat Indonesia, diperlukan gerakan bersama dari seluruh elemen bangsa. Mulai dari kalangan pemimpin, hingga masyarakat di akar rumput. Kalangan pemimpin harus bisa menjadi teladan bagi masyarakat luas dengan menunjukkan sikap dan tindakan yang merefleksikan nilai Pancasila. Mustahil mengharapkan masyarakat hidup damai dan bersatu dengan semangat Pancasila jika para pemimpinnya justru menampilkan sikap dan perilaku egois, arogan, dan provokatif yang justru memecahbelah. Terkait teladan dari pemimpin tentang semangat Pancasila, ada kisah inspiratif dari persahabatan sejati dua politisi kawakan pada akhir dekade 1950-an, yakni Prawoto Mangkusasmito (1910-1970) tokoh Partai Masyumi yang menjabat Wakil Perdana Menteri (1952-1953) dan IJ Kasimo (1900-1986) Ketua Partai Katolik.

Dikisahkan di buku Mata Air Keteladanan; Pancasila dalam Perbuatan (Yudi Latif; 2014), sebagaimana dikutip sastawan Damhuri Muhammad (Kompas,16/9/2017), bahwa Prawoto adalah pejabat penting namun memiliki pribadi bersahaja, bahkan di usia 40 tahun belum memiliki rumah. Ia menyewa rumah di Jalan Kertosono (Jakarta). Mendengar kabar Prawoto masih tinggal di rumah sewaan, IJ Kasimo menghubungi pemilik rumah sewaan tersebut yang seorang suster Katolik keturunan Tionghoa. Kasimo melakukan persuasi agar pemilik rumah berkenan menjual rumahnya pada Prawoto, hingga akhirnya rumah itu benar-benar berpindah hak milik pada Prawoto.

Sebuah kisah keteladanan tentang persahabatan inspiratif dua tokoh berbeda pandangan polilik, juga agama. Menurut Yudi Latif, persahabatan Prawoto dan Kasimo mencerminkan semangat ketuhanan yang berperikemanusiaan. Dari sana, kita sadar bahwa pada sila pertama Pancasila, yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jika diamalkan dalam konteks hubungan sesama manusia, yang ditegaskan bukan siapa “Tuhannya”, melainkan nilai-nilai “ketuhanannya”. Yakni tentang perilaku meniru sifat kasih Tuhan, yang membuat orang memiliki rasa kepedulian, solidaritas, dan kasih sayang pada sesama. Sifat-sifat yang tak lain merupakan modal mewujudkan terciptanya masyarakat yang saling menghargai, toleran, dan kuat dalam ikatan persaudaraan.

Kisah para pendahulu menggambarkan bagaimana nilai-nilai Pancasila benar-benar tertanam dan menjiwai setiap tindakan para pemimpin, sehingga menciptakan persatuan dan solidaritas yang kuat antar sesama putra bangsa. Kini, kita sadar, bahwa kesaktian Pancasila sebagai dasar negara baru akan terlihat ketika mampu kita terjemahkan ke dalam pelbagai sifat dan laku sehari-hari, seperti mengutamakan sikap toleransi, simpati, tenggang rasa, mau berkorban, serta terus berupaya merawat persaudaraan dan persatuan dengan sesama.

Facebook Comments