Sufisme nusantara, atau tasawuf yang kental dengan citra lokalnya, pada dasarnya tak jauh berbeda dengan sufisme yang berkembang di Khurasan ataupun Baghdad—dan memang pada kenyataannya kebanyakan tarekat memang tak lahir di Arab. Dalam sejarahnya sufisme terbagi menjadi dua gaya besar: sufisme yang berkembang di Khurasan yang condong heterodoks dan sufisme yang berkembang di Baghdad yang berkecenderungan ortodoks. Al-Hallaj, Rumi, Ibn ‘Arabi, Mulla Sadra, adalah beberapa pusat sufi yang bergaya Khurasan. Sementara Syekh Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali adalah beberapa pusat sufi yang lebih berkiblat ke Baghdad.
Di nusantara perkembangan sufisme saya kira juga memiliki dua kecenderungan gaya tersebut. Gelombang pertama sufisme di nusantara jelas bergaya Khurasan dengan ditemukannya teks tasawuf tertua, The Admonitions of Seh Bari, yang kemudian, saya kira, merupakan babon dariSerat Wujil yang mengisahkan wejangan hakikat Sunan Bonang atau Prabu Wa(h)dat pada salah satu santrinya, Wujil.
Teks tasawuf yang konon tertua tersebut memang mengindikasikan bahwa ia merupakan wejangan dari Sunan Bonang. Padahal, di antara walisongo, Sunan Bonang bukanlah wali yang tertua karena merupakan anak dari Sunan Ampel. Apakah Sunan Bonang hanyalah gelar yang dapat mengacu ke wali siapa pun penerusnya sebagaimana Sunan Giri I, Sunan Giri II, dst., atau merupakan pribadi yang satu dan sama tak ada data yang pasti. Yang jelas, di samping makam Sunan Bonang berada di lebih satu tempat dan gelarnya sebagai Prabu Wa(h)dat, yang dalam bahasa Jawa dapat diartikan melajang ataupun wali yang berkedudukan mencit (Wahdat), ia cukup kentara menganut konsep Martabat 7 yang berkecenderungan Khurasan.
Konsep Martabat 7 memang bukanlah konsep tasawuf-filsafati yang tiba-tiba ada tanpa adanya revisi, kombinasi, ataupun pembaharuan—sebagaimana metode dzikir lathaif yang merupakan ijtihad Syekh Ahmad Sirhindi yang konon terpengaruh oleh sistem Yoga di India dimana di masa Syekh Baha’udin al-Naqsyaband belum mengada.
Secara umum memang konsep Martabat 7 dinisbahkan pada Syekh al-Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi yang kumandang dengan paham besarnya wihdatul wujud. Syekh Abdul Karim al-Jilli pun kemudian, saya kira, mendetailkannya pada konsep penciptaan manusia dan alam sebagaimana keadaan anak manusia ketika di rahim ibu, rahim alam, dan rahim yang Maha Rahim. Syekh Fadlullah Burhanpuri lantas mengkontekstualisasikannya dengan kebudayaan India yang memang sudah terdapat konsep 7 titik imajiner atau cakra dalam sistem Yoga—yang kemudian dari sinilah Syekh Ahmad Sirhindi mengembangkannya menjadi dzikir lathaif. Syekh Abdurrauf al-Singkeli membawanya ke nusantara dengan wasilah di pulau Jawa Syekh Abdul Muhyi dan berkembang, salah satunya, ke Serat Wirid Hidayat Jati Ronggawarsita.
Dengan menyimak jalinan transmisi yang lintas tarekat tersebut maka, saya kira, kita patut mengajukan sebuah pertanyaan: di antara berbagai sistem tasawuf atau tarekat yang beraneka ragam itu, yang manakah kemudian yang heterodoks dan ortodoks? Naqsyabandiyah jelas ortodoks, tapi ia juga mengenal adanya 7 tahapan yang notabene heterodoks. Syatthariyah jelas pula ortodoks, tapi ia juga gamblang menyajikan konsep Martabat 7 yang notabene heterodoks.
Mengenai heterodoksi dan ortodoksi, kiranya kisah Syekh Yazid al-Bisthami, yang dikenal menjadi salah satu rantai dari silsilah keilmuan Naqsyabandiyah, konon juga kerap mengeluarkan syathahat sebagaimana al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar di Jawa. Dan jelas, tarekat Akmaliyah secara terang menjadikannya salah satu rantai sanad keilmuan Akmaliyah, perpaduan antara Naqsyabandiyah (dari jalur Abu Bakar al-Shiddiq) dan Syattariyah (dari jalur Ali) sebagaimana Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang diracik oleh Syekh Khatib al-Sambasi yang jelas, meskipun dinisbahkan pada jalur besar Sayyidina Ali, mengenal juga dzikir lathaif yang khas dalam tarekat Naqsyabandiyah yang mengambil jalur Sayyidina Abu Bakar.
Dengan demikian, dalam hal ini, kita pun patut bertanya sekali lagi pada heterodoksi dan ortodoksi dalam tasawuf: dengan jalinan yang sedemikian lintas tarekat semacam itu, bagimanakah kita menentukan status heterodoks dan ortodoks dalam tasawuf dan segala macam tarekatnya tersebut? Barangkali, faktor kebahasaan yang kurang kita cermatilah yang kerap membuat kesalahpahaman selama ini, seandainya pun ada, persaingan antara paham dan tarekat tasawuf. Saya banyak meneliti pustaka-pustaka yang secara sekilas ditengarai sebagai kejawen atau kebatinan yang selama ini, bagi orang-orang yang belum mengerti, tak islami atau tak dapat dimasuki dengan nilai-nilai keislaman (Wedhatama dan “Kuluban” di Bulan Ramadhan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.iddan Wulangreh dan Deradikalisasi: Menggali Sisi Praktis Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Dan hasilnya, kerap memang faktor bahasa yang kurang kita cermatilah yang menjadikan keterputusan dan kebenaran yang seolah serpihan kaca yang siap menjadikan luka (Kebatinan dan Anyaman Keberagaman, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Pada Sang Prabu Wa(h)dat, kiranya kita lebih dapat merenungi hal yang lebih penting dari sekedar perdebatan dan klaim diri selama ini.
Kawruhana kaki
Lamun mbenjang yen wus palastra
Yandi parane?
Upamakna paksi mabur
Cul saking kurunganeki
Upamakna wong lunga sanjaWus wajibe mulih mula mulanira