Kontekstualisasi Hubbul Wathan minal Iman Dulu dan Masa Kini

Kontekstualisasi Hubbul Wathan minal Iman Dulu dan Masa Kini

- in Narasi
44
0
Kontekstualisasi Hubbul Wathan minal Iman Dulu dan Masa Kini

Dulu, pada suatu waktu, Presiden Sukarno pernah bertanya kepada KH. Abdul Wahab Chasbullah. “Pak Kiai, apakah nasionalisme itu ajaran Islam?” Kiai Wahab menjawab tegas, “Nasionalisme yang ditambahi bismillah itulah Islam” (Zuhri 1981, 182).

Artinya, nasionalisme yang digaungkan kaum pribumi dengan spirit Islam sudah mewakili Islam sebagai agama. Jadi di sini, Indonesia menjadi negara bernafaskan Pancasila yang di dalamnya menampung spirit Islam dan tidak perlu mengubah dasar negaranya.

Setelah itu, muncul ungkapan “Mencintai negara sebagian dari Iman,”. Konsep Hubbul Wathan Minal Iman digagas pertama kali oleh kaum pesantren sebelum kemerdekaan, salah satunya KH. Abdul Wahab Chasbullah seorang sesepuh dan pendiri Nahdlatul Ulama. Penguatan nasionalisme itu diamini Presiden Sukarno dengan usulan dan restu dari beberapa ulama dan kiai asli pribumi Indonesia yang sampai saat ini masih bisa dihayati.

Nasionalisme memang bukan istilah yang lahir dari Islam, tetapi makna dan substansinya sebetulnya tidak bertentangan dengan Islam. Sebab itu, mencari landasan nasionalisme atau dalil cinta tanah air tidak begitu sulit dalam Islam. Bahkan, Rasulullah sendiri dikisahkan dalam beberapa hadis juga memiliki rasa cinta terhadap tanah airnya.

Ibnu Abbas dalam hadis riwayat al-Tirmidzi menjelaskan betapa cinta dan bangganya Rasul pada tanah kelahirannya. Rasa cinta tersebut terlihat dari ungkapan beliau terhadap Mekah. Beliau mengatakan, “Alangkah indahnya dirimu (Mekkah). Engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekkah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini” (HR. al-Tirmidzi).

Berangkat dari matan hadis, alasan Nabi meninggalkan Mekkah dan bertolak ke Madinah adalah karena Nabi diusir, bukan semata karena Mekkah negeri orang musyrik. Tidak hanya Mekkah yang dicintai Rasul, Madinah pun juga demikian. Dikisahkan oleh sahabat Anas dalam hadis riwayat al-Bukhari, ketika Rasulullah pulang dari perjalanan jauh, beliau mempercepat kendaraannya (unta) saat melihat dinding kota Madinah, karena cintanya pada Madinah (HR. al-Bukhari).

Berkaca dari sejarahnya, sangat wajar bila Rasulullah mencintai dua negeri ini; Mekkah sebagai tempat kelahiran beliau dan Madinah sebagai tempat hijrah Rasul. Karena itu, rasa cinta tanah air atau nasionalisme bukanlah paham tagut dan kafir sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kelompok.

Hubbul Wathan minal Iman merupakan konsekuensi logis dari prinsip nasionalisme bangsa Indonesia. Selain sebagai spirit untuk mengusir penjajah, ungkapan ini berfungsi untuk mengikat persatuan bangsa pasca kemerdekaan dengan semangat nasionalisme. Komitmen ini penting mengingat persatuan Indonesia pernah diuji oleh kelompok pemberontak yang berusaha merubah tatanan bangsa menjadi sangat eksklusif.

Di di tahun 1960-an, misalnya, ada penolakan keras terhadap organisasi yang ingin mendirikan negara Islam maupun Parpol Islam. Salah satunya adalah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang berdiri pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Partai yang didirikan dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang politik. Masyumi pada akhirnya dibubarkan Soekarno tahun 1960 dikarenakan tokoh-tokohnya dicurigai terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Lalu muncul pemberontakan Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sebuah gerakan politik di bawah komando Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo yang terjadi antara 1949 dan 1962 yang bertujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia dengan menggunakan syariat Islam sebagai sumber hukum yang valid.

Tetapi pergulatan ideologi itu pada akhirnya selesai. Komitmen bangsa terhadap Hubbul Wathan Minal Iman pada kenyataannya melampaui konflik primordial yang ada. Beberapa kelompok sektarian tersebut akhirnya tereliminasi dengan sendiri akibat pemahaman keagamaan yang dangkal dan eksklusif.

Nasionalisme tidak bertentangan dengan universalisme Islam sehingga ia relevan kapan pun dan di mana pun. Nasionalisme bisa menjadi sarana untuk memakmurkan bumi Allah melalui mandat khalifah fil ardh sejalan dengan budaya yang dimiliki oleh bangsa, pluralitas yang menyangkut kemajemukan agama, etnis, budaya, dan sebagainya.

Salah satu tantangan terbesar di era keterbukaan adalah ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa, baik dari segi perbedaan ideologi, agama, maupun suku. Hubbul Wathan minal Iman mengajarkan bahwa cinta terhadap tanah air berarti menolak segala bentuk paham trans-nasional yang dapat merongrong komitmen kebangsaan kita.

Umat Islam perlu menjadi garda terdepan dalam menjaga harmoni sosial dan memperkuat toleransi antarumat beragama. Menjaga persatuan dan kesatuan adalah bentuk nyata dari kecintaan terhadap tanah air, yang juga merupakan bagian dari keimanan.

Jika kita mengaku sebagai umat yang beriman, maka salah satu konsekuensi horizontalnya adalah dengan menjaga bangsa ini tetap damai dan harmonis. Cara paling sederhana adalah dengan tidak menormalisasi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial.

Hal itu karena hoaks dan ujaran kebencian adalah sumbu paling mematikan untuk memecah belah masyarakat dan menciptakan konflik sosial. Pengakuan cinta terhadap negeri juga harus diikuti kesadaran bahwa esensi cinta adalah menjaga dan merawat agar Nusantara akan baik-baik saja di masa yang akan datang.

Spirit Hubbul Wathan Minal Iman mendasari bahwa menjadi nasionalis justru menjadi representasi muslim yang kafah dalam beragama, bukan sebaliknya. Belakangan, adanya kelompok yang mempertentangkan nasionalisme dan spirit beragama justru mengingkari substansi agama itu sendiri, sebab, tidak ada yang menyuruh pemeluknya melawan, apalagi mengganti dasar negara.

Facebook Comments