Kebebasan di dalam menyampaikan setiap pendapat atau kritikan, pada hakikatnya harus didasari oleh rasa tanggung-jawab diri secara personal. Bagaimana di dalam menyampaikan sesuatu, harus dijembatani oleh pertimbangan-pertimbangan etis, konstruktif dan didasari oleh pengetahuan yang objektif.
Karena kebebasan adalah hak dan rasa tanggung-jawab baik secara moral-sosial. Sebagaimana yang diungkapkan Plato dalam bukunya “Republik” yang ditulis olehnya sekitar 360 SM. Bahwa Freedom is actually the best (virtue) of democracy. But, democracy will suit a spiritually healthy human being. “Kebebasan sejatinya jalan (kebajikan) demokrasi yang terbaik. Tetapi demokrasi adalah keadaan yang hanya cocok untuk manusia yang sehat ruhaninya” (Jihad Literasi dan Satire-nya Kebebasan Ekspresi di Tengah Krisis Manusia Ruhani, Saiful Bahri https://jalandamai.org)
Pada pelataran metodologis, Plato secara konstruktif meniscayakan kebebasan sebagai saraf kognitif (virtue) dari tubuh demokrasi. Namun, demokrasi di dalam pelataran sosial-masyarakat, akan tampak relevan dan baik jika digunakan oleh manusia-manusia yang sehat ruhaninya human spirituality.
Tentu pada kata “ruhani” Plato meniscayakan seperangkat kesadaran etis religious portion manusia yang beragama. Manusia yang memiliki moralitas yang baik. Sehingga, kebebasan akan didasari oleh rasa tanggung-jawab etis secara personal sebagai binding oneself dan mengedepankan kesadaran-kesadaran yang objektif.
Maka sangat relevan kiranya jika demokrasi yang ada di Indonesia memiliki berkarakteristik Pancasila. Secara fungsional, sebagai the foundations of freedom. Meng-counter kebebasan di dalam berpendapat yang tidak semena-mena digunakan untuk menggelar narasi kebencian, cacian, fitnah dan provokasi dan kebiadaban.
Tetapi suatu kebebasan di dalam menyampaikan kritik dan pendapat, harus dilandaskan pada moralitas keagamaan. Misalnya pentingnya kesantunan di dalam mengkritik. Seperti menggunakan adab yang baik dan mengedepankan puncak musyawarah-mufakat sebagai common goals. Bagaimana secara orientasi, mampu membangun kepentingan bersama dalam perbaikan-perbaikan yang lebih bijak dan bermoral. Sebagaimana Plato yang selalu menekankan bahwa demokrasi akan selalu cocok bagi mereka yang dalam keadaan sehat ruhaninya.
Maka sangat dilematis jika kritikan dan ekspresi kebebasan di dalam menyampaikan pendapat selalu terbawa arus egoisme. Karena di dalam pelataran sosial, masyarakat mengkritik pemerintah itu bukan mendasarkan diri sebagai sesuatu yang objektif di dalam menilai kinerjanya. Tetapi lebih kepada mengedepankan alternatif egoisme diri untuk mengekspresikan kebencian, fitnah dan hasutan yang kadang selalu menyebarkan provokasi marah.
Pun kerap-kali alur kritikan dan ekspresi kebebasan di dalam menyampaikan pendapat akhir-akhir ini jika kita amati, mereka selalu mendedikasikan argumentatif subjektif dan mengacu kepada sebuah (koalisi).
Artinya, counter narasi yang dibangun di satu sisi bukan sebuah kebebasan yang objektif dan etis. Karena lebih kepada pelataran “tunggangan kebebasan” yang diperankan oleh masyarakat untuk menonjolkan kepentingan politik. Lalu dijadikan alat untuk menguatkan satu pihak. Hal ini sengaja mencari celah kelemahan dan didasari oleh kritikan yang sering-kali meniscayakan fitnah, kebencian dan cacian personal agar masyarakat menghilangkan harapan kepada pemerintah yang saat ini sedang berjalan.
Padahal, kebebasan berpendapat itu haruslah murni kesadaran objektif dan etis terhadap kondisi kebijakan pemerintah yang mengalami kekurangan dan kelemahan yang harus diperbaiki. Dengan membangun nuansa kritikan yang condong kepada masukan dan harapan akan pembenahan terhadap sistem pemerintahan yang saat ini sedang berjalan.
Hal yang semacam ini, niscaya sebagai bentuk jalannya kebebasan demokrasi yang dibutuhkan di negeri ini. Meminta masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan merdeka di dalam menyuarakan aspirasi yang didasari oleh landasan etis dan objektif. Karena secara fungsional, mereka berhak menaruh harapan untuk bisa bersuara, melakukan pengecekan dan membangun aktivitas pengawasan yang secara konstruktif demi kebaikan bagi bangsa ini.
Namun, tidak dengan sebuah kritikan yang selalu mengarah kepada kebencian, hate speech, fitnah dan menghasut masyarakat agar pesimis. Gelaran kebebasan ekspresi di dalam menyampaikan pendapat yang semacam ini senyatanya tidak didasari pengetahuan yang objektif. Kebebasannya tidak didasari oleh rasa tanggung-jawab moral. Karena yang ada hanya sebuah aktivitas kebebasan yang tidak mendasari sebuah tujuan bagaimana demokrasi itu bisa diaplikasikan dengan baik.
Dari sinilah kiranya sangat penting untuk meng-counter diri agar di dalam kebebasan ekspresi dan merdeka di dalam menyampaikan pendapat. Menyampaikan sikap kritis, membuat aspirasi, masukan dan bahkan arahan kepada pemerintah dengan cara-cara yang santun dan beradab. Karena kebebasan di dalam demokrasi Pancasila kita, haruslah didasari oleh rasa tanggung-jawab moral, pengetahuan yang objektif dan santun di dalam menyampaikan pendapat. Hal ini mengemukakan demokrasi yang meniscayakan masyarakat yang lebih beradab dan berperadaban.