Ditinjau dari perspektif perkembangan media massa, demokrasi Indonesia pasca Reformasi terbagi ke dalam dua fase. Pertama, era demokrasi telepolitik. Yakni demokrasi dimana televisi menjadi media massa arusutama dalam berkampanye. Era ini dimulai sejak tahun 2000an awal hingga 2009.
Fase kedua, yakni fase yang kita jalani saat ini adalah fase demokrasi digital. Yakni era ketika sarana komunikasi digital seperti smartphone, internet, dan media sosial menjadi piranti utama dalam berkampanye dan membentuk opini publik.
Di era demokrasi digital, model kampanye tidak lagi hanya dilakukan secara konvensional. Seperti pengumpulan massa, konvoi, rapat akbar, dan sebagainya. Namun, juga dilakukan melalui cara-cara digital. Antara lain kampanye melalui meme atau video yang disebar di kanal media sosial.
Kampanye digital kian dipilih oleh para elite politik ketika mayoritas pemilih atau pemegang hak suara dalam Pemilu tahun didominasi oleh kalangan pemilih muda dan pemula. Sebagian besar dari calon pemilih Pemilu hari ini adalah para generasi Y (Milenial) dan generasi Z.
Merujuk data KPU, jumlah pemilih muda (dibawah 40 tahun) mencapai 55 persen dari total pemilih. Dan seperti kita tahu, anak muda merupakan kelompok yang digital friendly, bahkan separuh kehidupan mereka dihabiskan di dunia maya.
Sayangnya, kampanye digital ini bukan tanpa problem. Iklim kebebasan dan keterbukaan dunia digital yang seolah tanpa batas dan aturan kerap menyisakan beragam persoalan. Antara lain maraknya narasi kebencian dan perpecahan yang dilatari oleh perbedaan pilihan atau afiliasi politik.
Krisis Demokrasi di Era Digital
Harus diakui bahwa kontestasi politik di dunia maya kerap kali bertendensi brutal. Perang opini berbalut caci-maki mewarnai konstelasi politik di dunia maya. Semburan kebencian (firehouse of falsehood) menjadi fenomena yang kerap disikapi permisif.
Perlahan namun pasti fenomena politik digital yang vulgar dan brutal serta niretika itu merusak ikatan persaudaraan kita. Ikatan kebangsaan mulai memudar seiring menguatnya segregasi dan polarisasi politik.
Masifnya hoaks, ujaran kebencian, dan propaganda negatif di dunia digital berlatar isu politik membuat kualitas demokrasi kita menurun belakangan ini. Lembaga Freedom House menempatkan kualitas demokrasi Indonesia dalam status Partly Free alias separuh bebas.
Skor indeks demokrasi Indonesia pun mengakami penurunan. Faktornya adalah praktik demokrasi yang kian menjauh dari etika. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin demokrasi kita mengalami defisit bahkan krisis.
Di tengah fenomena inilah, penting kiranya menguatkan literasi politik gen Z yang merupakan kelompok pemilih dalam jumlah besar di Pemilu tahun ini. Literasi politik bukanlah sekedar urusan partisipasi politik.
Lebih dari itu, literasi politik adalah tentang memahami isu-isu politik kekinian, memahami bagaimana kontestasi politik dimainkan, dan memahami bagaimana menentukan pilihan politik secara rasional, bijak, dan kritis (Bernard; 2008).
Tujuan literasi politik adalah membuat masyarakat sipil sebagai konstituen dan pemegang hak pilih memiliki kesadaran bahwa pemilihan umum bukanlah sekedar tentang suksesi kekuasaan. Melainkan bagian penting dari konsolidasi demokrasi sekaligus penguatan pendidikan politik.
Mengapa Literasi Politik Penting bagi Kaum Muda?
Crick dalam Essays on Citienship, menuturkan setidaknya lima poin penting dalam literasi politik khususnya bagi kaum muda. Pertama, membentuk kesadaran kaum muda bahwa setiap warganegara dewasa berhak menentukan hak pilih. Kedua, mendorong kaum muda melek wacana dan isu politik terkini.
Ketiga, membangun kemampuan anak muda dalam mengungkapkan opini politik berbasis argumentasi dan bahasa yang efektif serta sopan. Keempat, mempraktikkan demokrasi elektoral yakni memilih wakil atau pemimpin sekaligus mengekspresikan pilihan/afiliasi politik secara bijak. Kelima, membangun kesadaran kaum muda bahwa perbedaan pilihan politik tidak harus disikapi dengan narasi kebencian apalagi kekerasan.
Ada sejumlah alasan mengapa penguatan literasi politik kaum muda ini sangat urgen dan krusial. Antara lain, secara demografis jumlah pemilih muda merupakan mayoritas (55%) dari total pemilih. Selain itu, kaum muda juga dikenal aktif dalam mengekspresikan pilihan dan afiliasi politiknya di medsos.
Anak muda dengan literasi politik yang mumpuni, niscaya akan lebih rasional dan kritis dalam mengekspresikan pilihan politiknya di medsos. Sebaliknya, kaum muda dengan literasi politik lemah cenderung akan lebih emosional dalam menunjukkan pilihan politiknya di jagad maya.
Terakhir, kita melihat belakagan ini tumbuh fenomena sukarelawan politik di kalangan anak muda. Sejumlah anak muda dengan kesadaran sendiri dan sukarela terjun menjadi mesin pemenangan bagi kandidat pemimpin. Fenomena ini tentu menjadi stimulus baru bagi demokratisasi kita.
Namun, inisiatif anak muda ini tentu harus dibarengi oleh pemahaman atas isu, wacana, maupun strategi politik yang mendalam. Tanpa itu semua, inisiatif kerelawanan itu justru akan memperparah fenomena kampaye hitam yang menjadi musuh demokrasi itu sendiri.