“Pangrungu ingsun duk masih alit/ Nora Islam dumeh sembahyang/ Nora Islam dene pangangge/ Nora Islam dene destar puniku/ Nora Islam dene kolambi/ Nora Islam dene sastra/ Duk pangringu ingsun/ apan ewuh jenenge wong Islam/ Nora Islam sejatine nampik kelawan milik/ Batal kharam miwah kharam
“Pangrungu ingsun duk ing nguni/ Nora Islam dene sembahyang/ Yen tan weruh maring islame/ Miwah ing kafir puniku/ Nora dumeh mangano babi/ Senajan sembahyang/ Kelawan pitutur/ Yen tan weruh jenenge wong Islam/ Nora Islam lir kitiran mobang-mabing/ Kafire kawak kumawak.”
—Suluk Malang Sumirang
Secara teologis, apakah totalitas, yang dalam agama Islam dikenal dengan istilah “kaffah,” menjadi sebentuk tuntutan orang dalam berislam mengingat konsep diri (nafs) dalam al-Qur’an tak terdiri dari satu konsep diri saja?
Ketika al-Qur’an tak hanya menyuguhkan satu konsep diri belaka, maka pengertian “kaffah” tak bisa pula semata-mata dimaknai sebagai sebentuk totalitas: pada setiap detik dan sejumput ruang orang akan senantiasa berislam—itu pun kalau jelas ukuran keislamannya.
Maka, karena tak ada kesatuan makna itulah, lazimnya istilah “kaffah” dalam kaitannya dengan Islam, kerapkali merujuk pada sebentuk pemerintahan Islam, yang di baliknya terdapat peremehan terhadap kenyataan bahwa seandainya pemerintahannya adalah pemerintahan Islam otomatis para warganya akan pula berislam. Dan siapa pun tahu, dari fakta-fakta sejarah yang ada, sebentuk pemerintahan Islam adalah sebentuk otoritarianisme dan totalitarianisme tak ubahnya fasisme dan komunisme, dimana fungsi Tuhan tak ubahnya fungsi Nazi dalam fasisme dan diktatur proletariat dalam komunisme.
Dalam masa walisanga, terdapat seorang yang berupaya mengkritisi pemerintahan Islam kerajaan Demak. Mengingat masa itu adalah masanya para sufi, yang jelas-jelas paham akan hakikat, kritik atas ke-kaffah-an berislam itu terang merujuk pada kondisi politik dan bukannya sekedar kisah-kisah sufisme sebagaimana lazimnya.
Orang itu dikenal dengan sebutan Malang Sumirang yang konon adalah nama lain Pangeran Panggung, seorang murid Siti Jenar. Bagi Malang Sumirang, pengertian Islam bukanlah pada apa yang bisa diindera, atau dalam istilah masa sekarang merujuk pada “identitas” dan “politik identitas.” Apa yang ditampakkan teks Malang Sumirang, bagi saya, justru menunjukkan bahwa ketika Islam itu berupa identitas, maka kondisi di situ belumlah atau bahkan bukanlah Islam.
Ketika disambungkan pada prinsip dan agenda sang guru, Siti Jenar, yang tercatat lebih memilih berafiliasi dengan Ki Ageng Pengging, sang penerus kerajaan Majapahit, Malang Sumirang seolah lebih mengagungkan kerajaan Majapahit yang non-Islam namun toleran dan terbukti memberi ruang pada perkembangan agama Islam, daripada sebentuk pemerintahan Islam yang totaliter dan otoriter.
Meskipun terkesan urakan dan disajikan dengan gaya yang urakan pula, justru orang akan mendapatkan pengertian Islam dari Suluk Malang Sumirang yang jauh lebih islami dari sekedar menjalankan rukun Islam dan meyakini rukun iman: toleransi, keseimbangan, keselarasan, dan bahkan Tuhan.
Pada tahap itulah, barangkali, banyak orang kerap lalai bahwa Tuhan, yang selama ini berupaya direpresentasikan oleh agama, jelas-jelas di atas agama. Maka, dari Malang Sumirang, orang mendapatkan pemahaman bahwa bertuhan dengan jalan berkeagamaan dan beragama dengan jalan berketuhanan adalah dua hal yang cukup berbeda.