Membaca Indonesia Melalui Kacamata Siyasah Syar’iyyah

Membaca Indonesia Melalui Kacamata Siyasah Syar’iyyah

- in Narasi
37
0
Membaca Indonesia Melalui Kacamata Siyasah Syar'iyyah

Tudingan bahwa Indonesia adalah negara kagie bahka thaghut, hanya karena tidak menerapkan hukum Islam secara komprehensif dan formal tampaknya tidak pernah surut. Tudingan sumir itu terus direproduksi dan didaur-ulang untuk mendelegitimasi kepemimpinan dan pemerintahan yang sah. Pelakunya siapa lagi jika bukan kaum konservatif-radikal. Mereka ini tidak ubahnya seperti benalu; hidup menumpang di sistem demokrasi, tapi justru menggerogoti dari dalam.

Indonesia menang bukan negara Islam. Dalam artian tidak menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Islam juga tidak memformalkan hukum Islam sebagai hukum positif negara. Namun, apakah dengan begitu Indonesia layak disebut Nagata kafir apalagi thaghut?

Tudingan Indoensia negara kafir atau tahgut itu jelas absurd dan berdampak serius. Bagaimana tidak? Fakta sosiologis menunjukkan bahwa mayoritas (lebih dari 80 persen) penduduk Indonesia adalah muslim. Dari jumlah tersebut, 75 persennya adalah muslim taat (menjalankan ibadah mahdhah sehari-hari).

Tidak hanya itu, di Indonesia ekspresi keislaman juga dijamin, bahkan difasilitasi oleh pemerintah. Salah satu wujud konkretnya adalah keberadaan Kementerian Agama, banyaknya masjid pemerintah, sekolah Islam negeri, juga lembaga keagamaan yang mendapat bantuan dana dari pemerintah.

Sedangkan dari sisi yursprudensi, kita bisa melihat bagaimana pengaruh hukum Islam dalam sejumlah tata perundangan di Indonesia. Contoh paling nyata adalah keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur soal urusan nikah, waris, dan wakaf. KHI ini sepenuhnya merujuk pada hukum Islam sebagaimana termuat dalam Alquran, hadist, dan kitab-kitab fiqih.

Indonesia Bukan Darul Kafir, Namun Darussalam

Fakta sosiologis dan yurisprudensi itu jelas membuktikan bahwa Indonesia bukan negara kafir atau thaghut. Jika ditinjau dari perspektif Siyasah Syar’iyyah, Indonesia dikategorikan sebagai Dar Al Salam, atau negara yang damai. Dalam tinjauan Siyasah Syar’iyyah (etika politik), sebuah wilayah bisa disebut sebagai negara jika memenuhi sejumlah kriteria.

Antara lain, memiliki wilayah teritorial/geografis, memiliki rakyat yang berdaulat, memiliki pemerintahan atau kepemimpinan yang otoritatif dan legitimated, serta memiliki sistem pemerintahan yang adil termasuk dalam pergantian kekuasaan dan adanya kontrol terhadap pemerintahan atau kepemimpinan. Jika dilihat dari perspektif itu, Indonesia tentu sudah sah sebagai negara.

Sedangkan syarat sebuah negara disebut Dar Al Salam jika ditinjau dari perspektif Siyasah Syar’iyyah antata lain; adanya undang-undang yang mengatur hubungan antar-manusia, adanya sistem pemerintahan yang adil dan beretika, terjaminnya kebebasan menyampaikan pendapat dan mengawasi jalannya kepemimpinan atau pemerintahan, serta adanya jaminan pemenuhan hak dan kebebasan individu dalam hal ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama.

Jika kita melihat Indoensia hari ini, maka seluruh prasyarat itu telah terpenuhi. Hari ini kita memiliki konstitusi dan undang-undang lengkap dengan perangkat penegakannya. Mulai dari aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan sejenisnya.

Secara politik kita memiliki mekanisme pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat di parlemen dan pemimpin di level daerah maupun nasional. Di saat yang sama kita juga berhasil melakukan konsolidasi demokrasi yang memungkinkan terwujudnya keterbukaan dan kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Pendek kata, seluruh unsur Dar Al Salam itu telah terpenuhi.

Jika kita merujuk pada Alquran, maka sebenarnya tidak ada perintah eksplisit untuk mendirikan negara Islam dalam bentuk khilafah atau daulah. Islam hanya memerintahkan umatnya untuk membentuk negara yang baik dan senantiasa diampuni Allah (baldatun thayyibatun warabbyn ghafur).

Adanya Pancasila dan UUD 1945 membuktikan bahwa Indonesia salah negara yang baik dan senantiasa berusaha mencari rahmat Allah. Pancasila tidak berusaha menggantikan Islam, melainkan menjadi perekat dari berbagai ajaran agama dan ideologi yang berkembang di Indonesia. UUD 1945 bukankah antitesis dari hukum Islam (syariah) melainkan bentuk konsensus bersama antar-berbagai elemen bangsa untuk melahirkan tata perundangan yang adil.

Meminjam istilah Muhamadiyah, Indoensia adalah Darul Ahdi wa Syahadah. Yaitu negara yang dibangun di atas konsensus atau kesepakatan bersama. Sedangkan kaum Nahdliyin menyebut Indoensia sebagai Darussalam. Meski berbeda istilah, hakikat keduanya sama. Yakni negara yang berdiri di atas fondasi nilai dan moral keislaman, tanpa harus menjadikan syariah sebagai hukum positif negara.

Facebook Comments