Sudah bukan rahasia umum lagi, radikalisme tidak pandang usia lagi. Ia bisa –bahkan sudah menjadi tujuan utama –menyasar anak-anak. Anak-anak yang masih bersih dan polos, para remaja yang masih mencari identitas diri dengan mudah bisa diindoktrinasi untuk melakukan tindakan terorisme dengan iming-iming yang keliru. Beberapa kasus peledakan bom, penyerangan rumah ibadah, dan yang ikut berafiliasi dengan organisasi radikal semacam ISIS umpamanya, banyak melibatkan anak-anak.
Penekanan pada peran keluarga merupakan hal yang sangat urgen dilakukan. Seiring dengan perkembangan informasi, dunia digital, penetrasi medsos, dan maraknya game on-line seringkali hak-hak anak tidak terpenuhi. Anak sibuk dengan dunianya sendiri, bahkan tak jarang enggan dan tidak ada rasa simpati terhadap lingkungan di sekitarnya. Efeknya, tanpa filterisasi sang anak dengan gampang bisa mengkonsumsi konten-konte radikalisme di dunia maya.
Anak-anak yang terlibat dalam tindakan radikalisme merupakan korban dari lingkungan yang tidak kondusif. Bisa berupa keluarga, sekolah, tempat mengaji, atau teman dalam pergaulan. Lingkungan yang damai dan menghargai sesama akan melahirkan generasi yang toleran dan bijak dalam mengelola perbedaan, sebaliknya, lingkungan yang cara pandangnya kaku, sempit dan menegasikan liyan, dengan sendirinya akan tumbuh menjadi anak-anak yang radikal, intoleran, dan tidak bisa menghargai perbedaan.
Keluarga sebagai sekolah pertama dan utama harus memainkan perang aktifnya. Orang tua harus memberikan pendidikan yang humanis, menanamkan nilai pancasila, dan budaya lokal yang arif nan bijaksana. Selain itu, menanamkan nasionalisme sejak dini, bahwa orang lain adalah kawan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yang harus dihormati dan dijaga martabat mereka.
Pendidikan agama juga harus jadi perhatiaan. Orang tua harus aktif memberikan ajaran agama yang toleran dan menghargai manusia lain. Orang tua harus bisa memilih tempat ngaji dan belajar agama bagi anak yang bisa menghargai kebhinekaan. Sejak dini harus ditanamakan kepada anak-anak, bahwa dalam agama, membunuh satu orang seolah-olah membunuh seluruh manusia, dan menjaga hidup satu orang, sama dengan menghidupkan seluruh umat manusia.
Membumikan Agama yang Substantif
Pendidikan agama –baik formal di bangku sekolah maupun non-formal, di masjid, pengajian, dan khotbah –patut dipertanyakan grand designnya selama ini. Pendidikan agama seharusnya bisa menuntun manusia untuk lebih terbuka, menerima yang lain, toleran, dan suka kedamaian, malah akhir-akhir ini justru menjadi salah masalah tersendiri.
Bahkan dalam kasus tertentu, pendidikan agama ikut memperkeruh suasana. Sejatinya, agama bila dipahami secara subtantif bisa membanguan karakter anak bangsa yang berdadab, memiliki sikap rahma, guyub, dan harmoni.
Penekanan terhadap pendidikan agama yang subtantif penting, mengingat informasi yang diterima oleh anak banyak sekali bermuatan materi agama. Mulai di sekolah formal di waktu pagi, TPA di sore hari, dan pengajian al-Quran di malam hari. Jika materi yang diberikan justru jauh dari nilai-nilai subtansi agama, yakni persaudaraan, persamaan, kasih-sayang, rasa tanggungjawab, maka agama sebagai pembentuk karakter tidak menjalankan fungsinya.
Pendidikan agama yang formalistik dan doktriner, perlu digeser ke arah pendidikan agama yang substantif yang ramah terhadap perbedaan. Kurikulum dan guru kunci bagaimana mentranformasikan itu. Keduanya bisa berjalan jika ada kebijakan yang mengarahkannya ke sana, baik berupa peta perjalanan pendidikan maupun grand design yang dibuat oleh pemerintah.
Sejauh ini, kurikulum pendidikan agama yang ada di sekolah kita, masih berkutat di aspek ibdah-ritual. Penekanan terhadap aspek ini sangat dominan dengan pengajaran yang dogmatik-doktriner.
Islam hanya dilihat dari sisi rukun Iman dan rukun Islam saja, tanpa memaknai rahasia, hikmah, faedah di balik itu. Shalat umpanya, diajarkan rukun dan syaratnya secara ketat, tapi nilai-nilai subtantif di dalam shalat itu luput. Shalat sebagai titik awal dan simbol untuk melatih diri untuk disiplin, patuh, ketundukan, dan tanggungjawab malah minim porsinya.
Hal yang sama juga degan puasa. Puasa yang bisa membuat anak didik jadi peka terhadap sosial, bertanggungjawab, berjuang, dan pantang menyerah agak kurang diperhatikan.
Akibat penekanan terhadap aspek ritual-ibadah dan sisi vertikal dari agama itu saja, maka sisi kemanusian, kebudayaan, dan hubungan horizontal sesama manusia mendapatkan porsi yang sedikit. Padahal bila ini ditekankan, maka akan lahir anak bangsa yang bukan saja relegius secara pribadi, malainkan juga relegius secara sosial; bukan saja paham agama, melainkan juga mempunyai karakter kebangsaan dan cinta tanah air.
Hal yang sama juga terjadi pada para guru. Selama ini terutama di dunia maya, baik itu guru, ustad, tukang ceramah tidak menampilkan sisi subtantif dari agama. Sisi yang sering dibicarakan malah hal-hal yang remeh-temeh: bagaimana biar dapat anak yang saleh, agar dapat jodoh, biar doa dan keinginan terkabul, dan lain-lain yang jauh dari inti agama.
Sisi terdalam dan titik temu antar agama jarang diuraikan: bagaimana membina perbedaan, membuka diri kepada kelompok lain, dan rasa tanggungjawab sebagai sesama anak-bangsa.
Pendidikan agam subtantif dengan penekanan terhadap nilai terdalam dari setiap agama akan melahirkan anak bangsa yang berkarakter. Berkarakter dalam pengertian menghargai sesama manusia; tidak mempertentangkan antara Keislaman dan Keindonesian. Justru berusaha merawat kedua-duanya.
Bila penekanan terhadap nilai-nilai inti dari agama dan terus menerus untuk mengampanyekannya maka akan tercipta genarasi yang beradab; mencintai sesama, dan menyayangi yang lain. Bila ini yang terjadi, maka rasa persatuan akan terwujud.