Orang Tua dan Tantangan Membentuk Watak Toleransi Anak di Era Digital

Orang Tua dan Tantangan Membentuk Watak Toleransi Anak di Era Digital

- in Editorial
601
0
Orang Tua dan Tantangan Membentuk Watak Toleransi Anak di Era Digital

Dalam era globalisasi yang semakin terinterkoneksi, di mana ragam budaya dan agama saling bersinggungan, peran orang tua dalam mendidik anak-anak mereka menjadi individu yang menghargai perbedaan menjadi sangat krusial. Banyak hal yang mempengaruhi dan membentuk karakter anak di luar kontrol orang tua. Salah satunya melalui berbagai asupan konten informasi di media sosial.

Menurut survei yang dilakukan oleh King’s College London (KCL), salah satu universitas tertua dan paling bergengsi di Inggris yang berdiri pada tahun 1829, orang tua Indonesia memiliki perhatian besar terhadap agama dalam pendidikan anak-anak mereka. Sebanyak 75% responden dari Indonesia menyatakan bahwa agama sangat penting untuk diajarkan kepada anak-anak mereka. Angka yang tinggi ini menempatkan Indonesia sebagai negara kedua setelah Mesir (82%) yang sangat menekankan pentingnya agama dalam pendidikan anak.

Namun, ada ironi yang menarik dalam temuan survei ini. Meskipun para orang tua di Indonesia memberikan perhatian besar terhadap agama dalam pendidikan anak, survei juga mengungkapkan bahwa mereka cenderung mengabaikan satu nilai penting lainnya, yaitu toleransi. Dalam hal toleransi, Indonesia hanya menempati peringkat dua dari bawah. Hanya 45% responden Indonesia yang menganggap toleransi sebagai nilai penting yang harus diajarkan kepada anak-anak di rumah.

Fenomena ini tampak paradoks. Semangat keagamaan yang kuat ternyata tidak berbanding lurus dengan sikap menghargai perbedaan identitas dan keyakinan. Ini adalah isu yang membutuhkan perhatian serius karena anak-anak memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Kurangnya pendidikan sejak dini tentang toleransi dapat berubah menjadi antipati, yang jika dimanipulasi secara ideologis, dapat memunculkan sikap kebencian terhadap individu atau kelompok yang berbeda.

Absennya kesadaran tentang pentingnya penanaman nilai toleransi juga membuat orang tua abai terhadap perilaku anak-anak mereka di media sosial. Ini membuat anak-anak rentan terhadap paparan konten-konten yang bermuatan intoleransi hingga radikalisme. Orang tua juga seringkali lengah dalam mengidentifikasi latar belakang lembaga pendidikan yang anak-anak mereka ikuti. Dua faktor ini sangat berpotensi melahirkan fenomena self-radicalization, yaitu sebuah proses di mana individu, terutama anak-anak, terpapar kepada pemikiran ekstrem atau radikal tanpa bantuan fisik atau interaksi langsung dengan kelompok radikal.

Kelompok intoleran semakin masif menyebarkan narasi-narasi radikalisme melalui berbagai kanal website dan media sosial. Dengan menggunakan kedok “parenting ala agama,” mereka mendorong orang tua untuk hanya fokus pada aspek ritual agama, tanpa memperhatikan aspek kecerdasan sosial yang tak kalah penting. Puncaknya, akan lahir sosok-sosok yang tampak agamis, tapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai agama. Contoh seperti Dani Dwi Permana (18), pelaku teror bom bunuh diri di Hotel JW Marriott pada tahun 2009, dan Ivan Armadi Hasugian (18), pelaku teror bom di gereja Medan pada tahun 2016, adalah bukti nyata dari bahaya yang dihadapi masyarakat jika masalah ini dibiarkan tanpa tindakan.

Merupakan keniscayaan bahwa saat ini kita hidup berdampingan dengan banyak individu yang memiliki latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Toleransi adalah kunci untuk menjaga perdamaian dan stabilitas sosial. Ketika anak-anak dibesarkan dengan pemahaman yang kuat tentang toleransi, mereka lebih cenderung menjadi anggota masyarakat yang berempati, berpikiran terbuka, dan mampu berkomunikasi dengan efektif dengan individu dari latar belakang yang beragam. Selain itu, pendidikan tentang toleransi membantu mencegah konflik dan ketegangan sosial yang bisa muncul akibat ketidakpahaman atau ketidakmengertian.

Orang tua memegang peran utama dalam membentuk sikap dan nilai-nilai anak-anak mereka. Mereka adalah guru pertama dan terpenting dalam kehidupan seorang anak. Oleh karena itu, orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa anak-anak mereka tumbuh menjadi individu yang menghargai perbedaan dan memiliki kemampuan untuk bertoleransi.

Keteladanan orang tua adalah prinsip utama. Orang tua harus menjadi teladan dalam perilaku toleransi. Mereka harus menunjukkan sikap menghargai perbedaan dalam tindakan sehari-hari mereka. Mulailah dengan mengenalkan toleransi dengan keteladanan, misalnya, dengan dengan menghormati tetangga yang memiliki latar belakang budaya dan keyakinan yang berbeda.

Berikutnya adalah mengenalkan keanekaragaman sebagai bagian kehidupan yang tidak bisa dibantah. Kita hidup dalam komunitas besar masyarakat, negara dan bangsa-bangsa yang beragam. Perbedaan adalah bagian dari ciri kehidupan yang tidak bisa dielakkan. Bukan menghindari perbedaan, tetapi yang penting adalah menghargai keragaman.

Orang tua pada akhirnya dituntut menjadi teman yang baik dalam komunikasi terbuka dan diskusi. Jangan biarkan anak merasa terasing dan sendiri di tengah gempuran informasi yang menerpanya setiap hari. Berikan ruang yang cukup untuk saling terbuka, jujur dan komunikatif serta belajar mengindentifikasi fakta sosial dan konten media sosial untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif.

Facebook Comments