Kebebasan berpendapat, termasuk menyampaikan kritik di muka umum terhadap pemerintah ialah pilar penting dari demokrasi. Diberangusnya kebebasan berpendapat, berpikir, berserikat dan menyampaikan kritik di muka umum akan menyebabkan demokrasi berjalan pincang. Namun demikian, patut diingat bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia merupakan demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal ala Barat yang mendewakan kebebasan absolut. Dalam demokrasi Pancasila, kebebasan individu dalam berpendapat, berserikat dan menyampaikan kritik di muka umum dibatasi oleh sejumlah hal. Antara lain, stabilitas dan keamanan nasional, kepentingan publik luas, ideologi bangsa serta etika dan atoran moral yang bersifat kemasyarakatan maupun keagamaan atau ketuhanan. Ini artinya, kebebasan masyarakat dalam berpendapat idealnya dipahami dalam koridor-koridor tersebut.
Koridor-koridor ketahanan nasional, kepentingan publik dan ideologi bangsa itulah yang belakangan ini kerap tidak diindahkan dalam menyampaikan pendapat atau kritik. Demokrasi kita mengarah pada kebebasan absolut yang mendewakan nalar dan mengesampinkan nurani dan etika. Akibatnya, praktik politik dan demokrasi kita pun dicemari oleh berbagai narasi yang mengarah pada ujaran kebencian, hasutan, provokasi, adudomba, dan cacimaki. Sekira tujuh tahun terakhir, iklim demokrasi kita diselubungi oleh kelindan politik kebencian yang memecahbelah. Akibatnya, kritik yang idealnya menjadi vitamin dan suplemen penting bagi demokrasi justru bermutasi menjadi racun yang membunuh demokrasi dari dalam secara perlahan.
Inilah yang disebut oleh Chantal Mouffe sebagai “paradox of democracy” yakni fenomena ketika demokrasi justru melahirkan kebebasan yang mengancam stabilitas sosial dan ketahanan nasional. Dalam konteks Indonesia, paradoks demokrasi itu mewujud pada kian meruncingnya polarisasi di tengah masyarakat akibat afiliasi politik yang berlebihan dan fanatisme buta pada elite politik tertentu. Paradoks demokrasi ialah problem serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena merebaknya kritik berbasis kebencian tidak hanya melemahkan kepercayaan publik pada pemerintah, namun juga secara langsung telah menghadirkan ancaman serius pada ketahanan nasional.
Ironisnya, ketika pemerintah bertindak tegas dengan melakukan penegakan hukum terhadap fenomena ujaran kebencian tersebut, tudingan anti-kritik justru kencang terdengar dari sebagian kalangan. Upaya pemerintah menertibkan kebebasan berpedapat agar tidak mengarah pada kebencian, provokasi dan adudomba justru dipelintir oleh kelompok tertentu untuk membangun citra buruk bahwa pemerintah alergi kritik. Problem inilah yang belakangan ini mencuat ke permukaan hingga pemerintah, bahkan Presiden Joko Widodo secara langsung membantah tudingan pemerintah anti-kritik dan mengajak publik untuk selalu mengkritisi kebijakan pemerintah.
Di tengah arus kencang gelombang ujaran kebencian yang mengatasnamakan kritik dan juga kebutuhan untuk menegekkan prinsip demokrasi inilah pentingnya kita membangun budaya kritik dan kebebasan berpendapat yang berbasis pada falsafah demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila merupakan konsensus para pendiri bangsa sebagai jalan tengah antara ideologi liberalisme yang menjunjung kebebasan individu secara absolut dan ideologi sosialisme-komunisme yang menempatkan otoritas negara sebagai kekuasaan tertinggi. Demokrasi Pancasila ialah jalan tengah yang mengkomodasi kebebasan individu sekaligus memberikan porsi proporsional pada kekuasaan pemerintah/negara.
Kritisisme Berbasis Falsafah Pancasila
Basis argumen filosofis demokrasi Pancasila ialah musyawarah untuk mufakat. Diktum “musyawarah untuk mufakat” ini mensyaratkan setidaknya dua hal. Pertama, keterbukaan dan kesediaan pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang berpengaruh pada hajat hidup khalayak. Kesediaan ini dibuktikan dengan membuka kanal-kanal partisipasi warga dalam pengambilan kebijakan. Kedua, partisipasi aktif publik dalam pengambilan keputusan sekaligus keterlibatan masyarakat dalam mengawasi, mengontrol dan mengkritisi kinerja pemerintah. Di titik ini, bisa kita simpulkan bahwa prinsip kebebasan berpendapat dalam perspektif demokrasi Pancasila dilandasi oleh prinsip kesalingan, yakni saling mengakui, menghargai dan menghormati antara pemerintah dan masyarakat.
Di satu sisi, pemerintah tidak berhak menyumbat kanal-kanal kebebasan masyarakat, baik itu di dunia nyata maupun dunia maya. Kecuali jika fenomena kebebasan berpendapat sudah mengarah pada tindakan menghasut publik untuk menimbulkan kekacauan dan konflik sosial. Di sisi lain, masyarakat idealnya juga mengedepankan strategi komunikasi yang efektif dan efisien dalam menyampaikan kritik. Tujuan kritik ialah menyampaikan keberatan atau ketidaksetujuan atas sebuah keputusan atau kebijakan yang diambil pemerintah. Tujuan itu mustahil dicapai jika metode penyampaiannya lebih menjurus pada ujaran kebencian, cacimaki, cemoohan, hasutan dan adudomba. Maka dari itu, penting untuk kita meneguhkan kebebasan berpendapat dalam bingkai demokrasi Pancasila. Dengan mengacu pada prinsip demokrasi Pancasila, niscaya kita bisa menarik garis pembeda yang jelas antara kritik konstruktif dan kritik destruktif, antara kritik beradab dan kritik biadab, serta kritik yang cerdas dengan kritik yang culas.
Meneguhkan prinsip kebebasan berpendapat berbasis falsafah demokrasi Pancasila tentu membutuhkan sinergi bersama pemerintah dan masyarakat sipil. Di satu sisi pemerintah perlu terus mengedukasi publik ihwal pentingnya menyampaikan kritik dengan berbasis data dan fakta serta disampaikan melalui cara-cara santun nan beradab. Di saat yang sama, masyarakat sipil perlu melakukan konsolidasi di level akar rumput agar publik kian cerdas dalam mengemas dan menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Kritik yang dibalut dengan cacimaki dan kebencian serta dibumbui logika ad hominem yang menyerang pribadi seseorang hanya akan menjadi senjata kaum anti-pemerintah untuk merongrong negara dari dalam.