Menggugat Tafsir Nir-Empatik Kaum Radikal atas Bencana Alam

Menggugat Tafsir Nir-Empatik Kaum Radikal atas Bencana Alam

- in Narasi
661
0
Menggugat Tafsir Nir-Empatik Kaum Radikal atas Bencana Alam

Di era digital yang diwarnai polariasi seperti saat ini, fenomena bencana alam tidak pelak menjadi isu sosial-politik yang memicu perdebatan. Bencana alam tidak hanya dikupas dari sisi ekologis dan geologis. Melainkan juga dikuliti dari sisi sosiologis dan politis. Manusia tentu memiliki kebebasan dalam menafsir setiap fenomena alam.

Namun, adalah hal yang ironis jika tafsir atas bencana alam itu justru tidak mengedepankan sisi kemanusiaan dan cenderung nir-empatik. Inilah yang diperlihatkan oleh kaum radikal dalam menyikapi peristiwa gempa bumi 5,6 skala richter yang terjadi di Cianjur awal pekan lalu. Alih-alih menunjukkan sikap simpati dan empati, kaum radikal justru memperkeruh situasi bencana dengan tafsir sesat.

Mereka berargumen bahwa gempa Cianjur adalah hukuman atas negeri yang tidak menegakkan sistem khilafah. Jika dibaca dari perspektif hermeneutika (teori tafsir), pemaknaan kaum radikal atas gempa Cianjur ini tergolong sebagai tafsir yang ahistoris bahkan skizofrenik. Tafsir ahistoris ialah pemaknaan yang lepas dari konteks kesejarahan. Sedankan tafsir skizofrenik ialah pemaknaan yang berbasis pada pola pikir halusinatif, delusional, dan kekacauan berpikir.

Nalar Regresif Kaum Radikal dalam Memahami Bencana Alam

Ahistoris ialah sikap tidak mau tahu pada fakta sejarah. Sementara skizofrenia adalah penyakit mental yang berbahaya. Jika keduanya digabungkan, maka akan melahirkan penafsiran yang sesat dan menyesatkan. Ironisnya, inilah yang mengemuka di hari-hari belakangan ini. Narasi bahwa gempa Cianjur adalah hukuman (punishment) Allah terhadap Indonesia yang tidak menerapkan syariah dan khilafah kadung diyakini segelintir umat.

Jika kita membaca literatur yang membahas agama alam kaitannya dengan agama, nalar ahistoris dan skizofrenik ini sebenarnya bukan barang baru. Dalam makalahnya berjudul “Agama dan Bencana”, Joseph Campbell Nelson menjelaskan bahwa di era masyarakat klasik dan tradisional, bencana alam kerap dimaknai sebagai bentuk kemurkaan Tuhan atas manusia. Menurut Nelson, agama-agama monoteistik cenderung memahami bencana alam sebagai hukuman Tuhan atas dosa-dosa manusia.

Pandangan yang demikian inilah yang menurut Nelson melahirkan praktik-praktik takhayul atau klenik yang bertujuan mencegah bencana alam. Misalnya, tradisi pengorbanan perempuan belia sebagai upaya mencegah bencana yang berlaku di sebagian masyarakat era klasik. Tradisi ini, menurut Campbel perlahan surut dengan datangnya era pencerahan dimana manusia mulai akrab dengan nalar saintifik.

Di era pencerahan yang menandai datangnya fase modernitas, bencana alam lebih dipahami sebagai fenomena ekologis dan geologis. Bumi yang kita tempat ini senantiasa berevolusi menemukan bentuk barunya. Antropolog Bronislaw Malinowski dalam bukunya Magic, Science, and Religion menjelaskan bahwa perkembangan sains telah menggusur mitos, praktik sihir, dan hal-hal irasional lainnya. Termasuk dalam menyikapi bencana alam.

Di titik ini, bisa disimpulkan bahwa penafsiran kelompok radikal yang menganggap bencana alam sebagai hukuman karena kita tidak menerapkan syariah dan khilafah pada dasarnya adalah tafsir yang regresif. Dalam artian berusaha mengajak kita kembali ke zaman klasik dimana manusia belum mengenal sains. Tidak diragukan ini merupakan sebuah kemunduran yang tragis. Dan, inilah yang harus kita gugat.

Menggagas Tafsir Kebencanaan yang Progresif

Ke depan, yang perlu kita lakukan ialah membangun corak tafsir kebencanaan yang progresif, yakni menggabungkan pendekatan teologis dan saintifik. Dari perspektif saintifik, bencana alam adalah proses dari evolusi bumi dalam menemukan bentuk barunya yang terus-menerus berubah. Penting diketahui bahwa bumi yang kita tinggali saat ini tengah mengalami proses perubahan selama ratusan bahkan ribuan tahun. Tanah yang kita pijak hari ini boleh jadi ratusan tahun sebelumnya adalah lautan. Atau, danau yang kita lihat saat ini, puluhan tahun sebelumnya adalah puncak gunung.

Dalam perspektif teologis pun demikian. Secara teologis, alam semesta kerap dipersepsikan ke dalam gagasan creation continuo alias penciptaan terus-menerus. Di dalam Islam, peran Tuhan tidak berhenti ketika alam semesta tercipta. Ada kekuasaan Allah di balik setiap peristiwa alam, seperti pergantian siang dan malam, termasuk pada peristiwa bencana alam. Di dalam Islam, bancana adalah musibah sekaligus ujian bagi umat manusia.

Tafsir kebencanaan yang progresif inilah yang idealnya kita kembangkan. Dengan begitu, kita bisa melawan narasi sesat yang menghubungan bencana alam dengan syariah atau khilafah. Tafsir nir-empatik kaum radikal tentang bencana alam harus kita gugat dangan tafsir baru yang lebih empatik. Bencana alam adalah tragedi kemanusiaan yang harus disikapi dengan mengedepankan solidaritas. Bukan justru menungganginya untuk menyebarkan propaganda ideologis yang menyesatkan.

Facebook Comments