Tewasnya enam Laskar FPI beberapa waktu lalu telah menjadi isu yang melebar kemana-mana. Tidak hanya aspek hukum, kasus itu pun kini telah merambah ke ranah sosial, bahkan politik. Ditinjau dalam konteks sosial, setidaknya ada tiga pandangan yang berkembang di masyarakat atas peristiwa tersebut. Pertama, pandangan yang berusaha netral, alias tidak memihak pada Polri maupun FPI, alih-alih menunggu hasil investigasi yang lengkap dan mendalam. Kedua, pandangan yang memberikan dukungan pada Polri atas sikap tegasnya pada Laskar FPI yang seperti kita ketahui sepak terjangnya selama ini cukup meresahkan dan kerap menimbulkan gangguan publik. Ketiga, pandangan yang meyakini bahwa apa yang dilakukan Polri ialah tindakan berlebihan dan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Meski jumlahnya terbilang sedikit, namun pandangan ketiga ini cukup nyaring terdengar. Alhasil, banyak eksponen masyarakat sipil yang menuntut adanya penyelidikan independen untuk mengungkap kebenaran kasus tersebut. Argumen awal para pendukung gagasan ini ialah bahwa tindakan Polri menembak enam pengawal Rizieq Syihab itu sebagai “pembunuhan di luar aturan hukum” (extra judicial killing). Tidak sedikit pula eksponen masyarakat yang menuding Polri telah menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) untuk melumpuhkan enam Laskar FPI tersebut. Tulisan ini hendak mencoba mempertanyakan ulang argumen para pembela HAM tersebut. Soal paling mendasar dalam hal ini ialah apakah argumen HAM relevan untuk dihadirkan dalam kasus ini?
Perbincangan tentang HAM mau tidak mau harus menengok pada sejarah terbentuknya wacana HAM itu sendiri. Selama ini ketika kita membincangkan ihwal HAM, maka rujukan yang paling sahih ialah Universal Declaration of Human Rights (UDHR)atau Deklarasi Universal HAM yang disahkan oleh PBB pada tahun 1948. Deklarasi itu memuat 30 pasal yang bertujuan melindungi harkat dan martabat manusia. UDHR muncul sebagai respon dunia internasional atas kecamuk Perang Dunia II yang menewaskan jutaan nyawa dan dianggap telah melemparkan kemanusiaan di titik nadir. Sebagai catatan, dari seluruh negara anggota PBB, ada dua negara yang menolak menandatangani deklarasi tersebut, yakni Arab Saudi dan Iran. Alasannya, isi deklarasi itu tidak sesuai dengan nilai dan ajaran Islam.
Memaknai HAM Secara Kontekstual
Sabhash Sharma dalam bukunya Human Rights: Text and Context menyebut bahwa deklarasi universal HAM PBB merupakan upaya untuk melindungi hak politik dan sosial umat manusia. Ini artinya, gagasan HAM muncul bukan sebagai landasan untuk membolehkan manusia bertindak semaunya sendiri, melainkan justru untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak dasar manusia. Pemahaman yang demikian ini penting untuk menganulir kesalahpahaman yang selama ini berkembang di masyarakat. Selama ini, ada sebagian masyarakat yang memahami HAM sebagai dasar argumen bahwa manusia bebas melakukan apa saja. MIsalnya, ketika seseorang ditegur karena mendengarkan musik melalui pengeras suara yang bising, ia akan menjawab bahwa hal itu ialah hak asasinya. Cara pandang yang demikian itu jelas menyalahi spirit deklarasi universal HAM PBB. Deklarasi HAM PBB, sekali lagi, bukanlah dimaksudkan untuk memberikan ruang dimana manusia bisa bebas melakukan apa saja, melainkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Kita tentu sepakat bahwa harkat dan martabat manusia yang paling utama ialah nyawa. Maka HAM tertinggi ialah hak untuk hidup. Kenyataan ini hendaknya menadi konsern bersama ketika kita membincangkan tentang HAM. Jangan sampai, kita mengalami semacam disorientasi pemahaman HAM, yakni di satu sisi gigih membela HAM dengan setumpuk argumen, namun di sisi lain menutup bahwa individu atau kelompok yang dibela HAM-nya tersebut justru dikenal abai pada universalitas HAM.
Disorientasi pemahaman HAM inilah yang tersirat dari eksponen masyarakat sipil yang gigih menyuarakan isu HAM dalam kasus tewasnya enam Laskar FPI oleh Polri. Para pembela HAM itu seolah lupa bahwa Polisi sebagai penegak hukum memiliki tanggung jawab sekaligus risiko yang tinggi ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok yang selama ini identik dengan karakter radikal-ekstremis. Berhadapan dengan FPI, dan ormas keagamaan sejenis tentu sangat berbeda ketika menghadapi pelaku kriminal biasa; penipu, pencuri, perampok dan sejenisnya. Bagi kelompok radikal-ekstremis, Polri ialah musuh paling utama yang harus dimusnahkan dengan berbagai macam cara.
Polri dan Kewajiban Menjaga Ketertiban Sosial serta Stabilitas Nasional
Kita tentu masih ingat berbagai peristiwa teror yang menyasar anggota Polri. Aksi teror sporadis, minim perencanaan, namun mematikan berkali-kali terjadi kepada Polri dan menewaskan puluhan anggotanya selama beberapa tahun terakhir. Bisa dibilang, sasaran teror kaum ekstremis dalam satu dasawarsa terakhir ini ialah Polri. Bagi kaum radikal-ekstremis, Polri ialah representasi dari kekuatan thagut yang menghalangi terwujudnya agenda mereka. Penyerangan anggota Polisi, pengeboman Kantor Polisi bahkan yang paling tragis yakni pembantaian lima Polisi oleh napi teroris di Rutan Mako Brimob, Kepala Dua, Depok pada tahun 2018 lalu ialah serangkaian cerita yang menggambarkan bagaimana kaum radikal-ekstremis menempatkan hubungan dengan Polri dalam perspektif peperangan. Dalam situasi perang seperti itu, Polri sebagai ujung tombak penegakan hukum terhadap kaum radikal-ekstremis hanya memiliki dua pilihan yang dilematis, yakni membunuh untuk mempertahankan diri atau dibunuh terlebih dahulu.
Kita tentu sepakat bahwa penegakan hukum tidak boleh mengabaikan kepentingan perlindungan HAM dan nilai kemanusiaan. Namun, klausul itu jelas berlaku secara kontekstual. Kontekstualisasi itulah yang kerap gagal dipahami oleh para pembela HAM yang seringkali menempatkan HAM sebagai satu hal yang absolut alias mutlak. Kita barangkali harus berpikir terbalik dengan menganggap tindakan tegas Polri melumpuhkan Laskar FPI itu justru sebagai upaya penegakan hukum dan melindungi HAM rakyat banyak. Dalam konteks ini kita agaknya harus sepakat dengan aliran filsafat utilitarianisme sebagaimana diperkenalkan oleh Jeremy Bentham. Filsafat utilitarianisme ala Bentham bertumpu pada diktum “the greatest happiness for the greatest number’. Maknanya, kebahagiaan sejati ialah kebahagiaan yang dirasakan oleh sebanyak mungkin orang. Untuk mewujudkan itu, acapkali kita harus mengorbankan kepentingan sebagian kecil orang.
Di era kontemporer, filsafat utilitarianisme Bentham ini sangat relevan dalam konteks wacana kenegaraan dan kebangsaan. Yakni bahwa untuk menciptakan ketertiban umum dan menjaga stabilitas nasional, negara dengan aparatusnya kerapkali harus melakukan tindakan koersif seperti mengerahkan kekuatan polisi atau militer untuk menumpas individu atau kelompok yang berpotensi mengancam eksistensi negara. Utilitarianisme tentu tidak dimaksudkan untuk melawan humanisme sebagai paham yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Utilitarianisme lebih dikerangkakan untuk menciptakan sebuah cara pandang yang rasional dan terukur dalam menyikapi dinamika sosial-politik yang mengemuka di masyarakat. Filsafat utilitarianisme memberikan dasar pijakan agar manusia bisa berpikir dan bersikap dengan mengedepankan kepentingan, keselamatan dan kebahagiaan orang banyak. Jika ditilik dari filsafat utilitarianisme ini, tindakan Polri menembak Laskar FPI tentu bisa dimaknai sebagai upaya menjaga ketertiban umum dan melindungi ketahanan negara.