Menyongsong 2024: Merawat Keseimbangan antara Keharmonisan dan Kebebasan Beragama

Menyongsong 2024: Merawat Keseimbangan antara Keharmonisan dan Kebebasan Beragama

- in Narasi
128
0
Menyongsong 2024: Merawat Keseimbangan antara Keharmonisan dan Kebebasan Beragama

Setelah berpuluh-puluh tahun berbangga dengan keberagaman, menjelang tahun pemilu 2024, konflik dan ekstremisme dengan dalih agama masih jauh dari kata mereda di Indonesia. Pada bulan Agustus lalu beredar surat dari sekelompok radikalis di Cianjur yang menamakan diri “Tim Pencegahan Pembangunan Vihara” melalui media sosial yang melarang pembangunan rumah ibadah umat Buddha. Di bulan yang sama, kebaktian umat Kristiani di sebuah rumah di Padang diganggu dan dilarang oleh warga sekitar. Ironisnya, menarik untuk diperhatikan bahwa banyak konflik-konflik ini mendasarkan argumen mereka justru pada keharmonisan dan ketertiban.

Untuk menjawab permasalahan ini, artikel ini akan berfokus pada sifat kebebasan dan keharmonisan yang tampak kontradiktif dalam memahami keberagamaan di Indonesia, sambil memerhatikan juga peran agama dalam politik sehari-hari. Pemahaman kita tentang agama harus memadukan keharmonisan bersama dan kebebasan beragama masing-masing individu. Oleh karena itu, pemerintah berperan dalam menjaga ketertiban dengan melindungi hak setiap individu secara setara untuk mencegah hilangnya kebebasan. Refleksi ini akan menjadi penting sebagai landasan dalam menyongsong tahun politik 2024.

Agama Bagi “Kita” dan “Saya”

Agama bisa dibilang merupakan salah satu aspek yang paling penting dari seorang warga negara dalam politik Indonesia. Sila pertama Pancasila telah mencerminkan dengan jelas betapa pentingnya agama bagi kehidupan sipil masyarakat Indonesia. Merujuk pada Elizabeth S. Hurd (2015), pemahaman tentang agama dapat dibedakan menjadi paling sedikit dua cara: sebagai jalan hidup pribadi dan sebagai cara hidup bersama di bawah sebuah pemerintahan. Meskipun keyakinan pribadi bersifat cair, dinamis, dan penuh keberagaman, agama-agama yang dianut di Indonesia biasanya dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok yang mudah dikategorikan dan digeneralisasikan seperti Hindu, Katolik, atau Baha’i. Pengkategorian sederhana ini merupakan bentuk penyederhanaan demi kehidupan bersama di bawah sebuah pemerintahan.

Namun, sekali lagi, penyederhanaan dalam kategori-kategori ini perlu dibedakan dari pemahaman tentang agama sebagai cara hidup yang lebih cair dan dinamis. Memahami agama sebagai cara hidup akan memudahkan kita untuk memahami mengapa keselarasan kolektif dan kebebasan individu dalam beragama terkait dan penting bagi satu sama lain. Agama tidak seharusnya dipahami sebagai pemisahan orang-orang dalam kategori-kategori yang terpisah, akan tetapi menyatukan mereka di bawah pemahaman bersama tentang keragaman cara hidup bersama. Oleh karena itu, ketika kita memahami agama sebagai penentu identitas, kita harus melihat agama bukan sebagai pemisah dan pembeda, namun sebagai pemersatu dalam keragaman.

Berdasarkan pembedaan tersebut, kita dapat memahami lebih baik bahwa gagasan tentang harmoni dan kebebasan dapat diletakkan pada dua sisi berbeda dari sebuah poros yang sama. Di satu sisi, harmoni diasosiasikan dengan yang kolektif, yang membawa kepentingan banyak orang. Di sisi lain, kebebasan juga diasosiasikan dengan yang individu, yang membawa kepentingan masing-masing individu sebagai warga negara. Kedua sisi inilah yang harus secara bersama-sama dikelola untuk menjaga keseimbangan antara keduanya.

Konteks Keberagamaan Indonesia

Dalam konteks Indonesia, kita dapat melihat bahwa kebebasan beragama setiap masyarakat telah dilindungi oleh konstitusi dalam UUD, dan kerukunan umat beragama telah berfungsi menjadi pagar yang menjaga kebebasan tersebut. Namun, keseimbangan antara kepentingan kolektif dan individu sering dirongrong oleh kelompok-kelompok radikal yang menggunakan agama sebagai dalih bagi ekstremisme mereka. Istilah “mayoritas” dan “minoritas” seringkali digunakan oleh kelompok radikal ini untuk merusak keseimbangan antara kebebasan dan keharmonisan demi keinginan mereka sendiri. Dengan menggunakan label “mayoritas” dan “minoritas” tersebut mereka mengabaikan kebebasan beragama kelompok-kelompok minoritas dengan dalih harmoni dan kerukunan kolektif atau bersama.

Hal ini terlihat juga dalam surat yang dilayangkan oleh kelompok radikalis yang melarang pembangunan vihara di Cianjur. Surat tersebut menyebut “bersama-sama dengan warga masyarakat desa”, seakan-akan umat Buddha yang hendak membangun vihara tersebut bukan bagian dari masyarakat desa tersebut. Di sini terlihat adanya manipulasi kepentingan yang merusak keseimbangan antara kebebasan umat Buddha untuk memiliki rumah ibadah dengan kepentingan bersama untuk hidup dalam kerukunan umat beragama.

Tentu kasus ini hanyalah satu contoh dari sekian banyak kasus lain yang telah terjadi di sepanjang tahun 2023. Akibat ketidakseimbangan antara kerukunan dan kebebasan tersebut, banyak kasus serupa yang berujung pada vandalisme, intimidasi, kekerasan, bahkan ancaman pembunuhan terhadap kelompok minoritas yang kebebasannya direnggut atas nama kerukunan. Padahal, yang diperjuangkan oleh kelompok radikalis tersebut bukanlah kerukunan bersama akan tetapi kepentingannya sendiri.

Penutup: Menjelang Tahun 2024

Masyarakat Indonesia telah melihat polarisasi ekstrem pada pemilu tahun 2019 lalu, di mana sentimen keagamaan digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk berebut kepentingan politik. Keluarga dan persahabatan hancur karena rusaknya keseimbangan antara kebebasan beragama dan kerukunan. Sayangnya, upaya mengejar keseimbangan yang sejati seperti ayunan pendulum yang sulit untuk dicapai dalam kenyataannya. Pemahaman yang eksklusif tentang agama akan mengakibatkan masyarakat Indonesia terpecah-belah.

Oleh karena itu, pandangan tentang agama perlu disempurnakan dengan dua sisi yang telah dijelaskan tadi. Selain sebagai identitas kelompok, agama juga harus dipahami sebagai cara hidup individu yang patut dihargai keragamannya. Keragaman ini telah dilindungi oleh konstitusi dalam UUD, di mana kerukunan bukan bertindak sebagai legitimasi untuk melakukan tindakan intoleransi, akan tetapi sebagai pagar yang menjaga agar keragaman ini tetap terjamin dalam kehidupan bermasyarakat.

Meskipun demikian, keseimbangan ini dapat dengan mudah dirusak oleh istilah “mayoritas” dan “minoritas” yang terus digunakan hingga saat ini untuk membenarkan tindakan-tindakan yang intoleran. Masyarakat Indonesia telah melihat kegagalan tersebut di tahun-tahun yang telah lewat dan semoga di tahun-tahun mendatang kita dapat bergerak maju untuk memulihkan keseimbangan antara kebebasan beragama dan kerukunan tanpa mengorbankan satupun dari antara keduanya.

Facebook Comments