Terkuaknya rencana serangan ISIS ke sejumlah negara oleh kelompok hacker internasional anonymous setelah Tragedi Paris merupakan ancaman yang menuntut respons preventif. Kelompok yang disebut “Hacktivist” ini memang telah menyatakan perang terbuka di dunia maya dengan ISIS dan telah mengantongi data strategis pergerakan ISIS. Bahkan, telah ada lima ribuan akun twitter ISIS yang dibekukan dan tengah berupaya menghalau sistem rekruitmen mereka di dunia maya. Informasi dari Hackvist tersebut semakin mengingatkan kita akan aksi terorisme yang dapat muncul sewaktu-waktu.
Perubahan Orientasi
Pasca tragedi berdarah di Paris (13/11), ISIS semakin menahbiskan diri sebagai ‘monster’ perusak yang siap mengacaukan stabilitas global. Ancaman terbuka dilayangkan melalui dunia maya. Separuh kebebasan interaksi keseharian kita pun terenggut olehnya, karena dihantui rasa khawatir terulangnya tragedi Paris di lingkungan sekitar kita. Terlebih jika mengamati target aksi terorismenya yang tidak lagi bersifat simbolik, tetapi memprioritaskan korban. Inilah yang membedakannya dengan aksi al-Qaeda semisal menyerang WTC dan Pentagon di Amerika. Tragedi Paris dan beberapa aksi ISIS sebelumnya lebih menyasar ke kuantitas korban. Jika al-Qaeda anti-Amerika, maka ISIS memusuhi semua yang tidak sejalan dengan ideologi gerakannya, kendati sesama orang Islam.
Munculnya ISIS juga dilatari oleh ‘ketidakpuasan’ terhadap al-Qaeda. Kemunculannya menandai babak baru dalam dunia terorisme. Jaringan terorisme semakin berfragmentasi ke dalam jaringan-jaringan yang lebih kecil, satu sama lain acap beda orientasi gerakan, bahkan saling memusuhi. Fragmentasi jejaring terorisme ini lebih menyulitkan untuk dideteksi. Belum lagi dengan kepiawaian mereka memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana komunikasi di antara mereka. Lembaga intelijen Amerika, CIA, menduga bahwa jaringan terorisme saat ini saling berkomunikasi melalui aplikasi pesan dengan teknologi enkripsi, sehingga pihak pemerintah sulit melacaknya. Sebagai contoh, pesawat jet Rusia yang menjadi korban penyerangan ISIS di penghujung Oktober 2015 lalu menggunakan aplikasi telegram dalam melancarkan aksinya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa intimidasi ISIS turut memengaruhi ‘suasana batin’ umat Islam di seantero jagat. Jargon “Islam rahmatan lil-alamin” yang merupakan karakter dasar Islam ‘tercoreng’ dengan aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam. Bentuk tekanan demikian mungkin berbeda di setiap negara, namun substansinya seragam, umat Islam ‘tercurigai’ sebagai pelaku terorisme. Meski tak henti disosialisasi bahwa ISIS bukan representasi Islam, namun ‘topeng’ Islam yang didengungkan ISIS di setiap aksi brutalnya dapat saja menggeser stigma Islam ke rupa yang buruk. Islam distigmatisasi bersahabat dengan kekerasan, bahkan dituding sebagai spirit para teroris. Inilah ‘kontribusi terbesar’ ISIS terhadap Islam yang justru menegasikan nilai dasar keislaman itu sendiri.
Kontekstualisasi Konsep
Dalam konteks keindonesiaan, respons terhadap terorisme sudah hadir, Terbentuknya Densus 88 sebagai penindak pelaku terorisme nyaris selalu berhasil mengatasi teroris. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai leading sektor bangsa ini menghalau terorisme juga telah mengembangkan varian program pencegahan radikalisme dan terorisme. Keduanya disokong oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang ‘berkiprah di balik layar’. Penindakan terorisme oleh Densus 88 memang telah mendapat pengakuan internasional, namun sektor pra dan pascapenindakan masih perlu terus dikontekstualisasi. Paling tidak, ada dua alasan untuk mengontektualisasi konsep tersebut dalam merespons terorisme kekinian.
Pertama, terorisme kekinian merupakan jejaring yang terfragmentasi ke dalam kelompok kecil, bahkan individu. Kerumitan pelacakan jejaring terorisme secara global acap menuai kegagalan karena keterputusan jejaring teroris di kelompok tertentu. Terlebih jika aksi terorisme dilakukan secara individual yang hanya memperoleh inspirasi dari pola gerakan terorisme global tanpa interaksi langsung dengannya. Terkait ranah ini, konsep terorisme perlu ‘diredefinisi’ dengan menitikberatkan pada ontologi aksinya, tanpa harus terjerembab pada dimensi jaringan global. Sejumlah aksi brutal sering dikategorisasi sebagai bukan tindak terorisme, karena faktor pelaku dan motifnya, kendati dampak destruktif yang dihasilkannya lebih besar dari aksi yang dicap sebagai terorisme. Urgensi peninjauan ulang konsep terorisme ini semakin dirasakan mengingat kritik bernuansa keagamaan senantiasa mengitari upaya pemberantasan terorisme. Terjadinya ‘diskriminasi konseptual’ tentang terorisme dapat saja memicu apatisme sosial, sehingga sinergi pemerintah dengan segenap komponen masyarakat dalam memerangi terorisme perlahan kendor.
Kedua, kampanye anti terorisme harus banyak merambah teknologi informasi dengan segenap perangkatnya. Jejaring terorisme telah menjadikan dunia maya sebagai ajang pamer kekuatan, baik melalui pemberitaan oleh simpatisannya sendiri maupun penentangnya secara tidak sadar. Teknologi ‘steganografi’ dan ‘kriptografi’ harus lebih ditingkatkan oleh aparat berwenang, sehingga lalu lintas komunikasi dan informasi jejaring terorisme dapat cepat terendus. Dari hasil pengamatan sederhana saya ketika berselancar di internet, penyedia informasi ‘simpatisan potensial’ gerakan terorisme tidak sedikit jumlahnya. Arus informasi yang dihembuskan menyasar masyarakat luas, khususnya masyarakat dengan tingkat literasi terhadap media yang masih minim. Indikator keberhasilannya di ranah informasi ini terlihat dengan banyaknya postingan di akun media sosial dengan mengutip pemberitaan ‘tendensius’ dari mereka. Belum tegasnya payung hukum mengenai terorisme di dunia maya menjadi piranti yang akan selalu menghalangi upaya merespons ancaman terorisme.[]
(Telah diterbitkan di Harian Fajar, 25 Desember 2015)