Milenial, Superhero, dan Refleksi Hari Pahlawan

Milenial, Superhero, dan Refleksi Hari Pahlawan

- in Narasi
1255
0
Milenial, Superhero, dan Refleksi Hari Pahlawan

Laporan terakhir Kompas (5/11) menunjukkan, bahwa generasi milenial lebih familiar dengan aktor-aktor superhero di film-film Hollywood ketimbang para pahlawan nasional Indonesia. Tentu ini bukan hal yang perlu ditakuti, mengingat salah satu karakter dan ciri khas dari generasi milenial adalah lebih suka sesuatu yang bersifat digital dibandingkan yang berbau konvensional-manual.

Kondisi ini, harus dilihat sebagai sebuah tantangan bagi semua pihak, bahwa penyajian sejarah pahlawan nasional harus berbasis digital, kreatif, inovatif, dan menarik. Salah satu kelemahan penyajian semangat, spirit, dan daya juang para pahlawan dahulu, selalu disajikan dengan metode dan konten-konten tradisional dan konvensional. Akibatnya akan membosankan dan lama kelamaan akan ditinggalkan.

Jika cara-cara konvensional masih dijalankan, maka menciptakan generasi sebagai superhero tidak akan terlaksana dan terwujud. Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar generasi milenial bisa menjadi super hero?

Perlu Contoh Riil

Tentu banyak cara, selain yang disebutkan di atas, yakni perlunya konten-konten kreatif dan inovatif. Generasi milenial juga butuh contoh real sosok yang dijadikan contoh dan teladan mereka. Bila dilihat dari komentar-komentar yang bertebaran di media sosial, di acara talk show, dan diskusi-diskusi, para anak muda –umumnya mahasiswa –selalu menyuarakan bahwa meraka butuh sosok pemimpin nasional yang patut dijadikan sebagai suri tauladan. Yang dengan wujud riil ini, mereka akan menjadi superhero sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi mereka masing-masing.

Memang harus diakui, bahwa akhir-akhir ini, Indonesia seperti sulit memproduksi sosok yang bisa jadi teladan bagi generasi. Para generasi bangsa selalu disuguhkan contoh-contoh abstrak, yang jauh di sana. Akibatnya nilai kepahlawanan dari contoh yang abstrak selalu melangit dan belum bisa membumi, baik dalam laku dan cara berpikir para generasi.

Sebagaimana super hero yang mereka tonton di film-film hollywood, yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan dan memberikan rasa kenyamanan, kedamaian, dan keamanan bagi warga Indonesia, maka generasi bangsa pun bisa menjadi super hero dengan dua catatan di atas, yakni perlunya teladan yang riil dan konten-konten kreatif dan inovatif.

Dengan dua catatan ini, para generasi bangsa akan menjadi super hero. Super hero sesuai dengan konteks dan tempat masing-masing. Jika para pahlawan nasional dulu bisa menjadi superhero, maka hal yang sama juga bagi generasi saat ini akan bisa menjadi super hero.

Super hero dalam konteks sekarang adalah orang yang bisa menciptakan rasa aman, nyaman, kedamaian bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang bulu.

Trilogi Nilai Kepahlawanan

Setiap generasi adalah pahlawan dalam konteksnya masing-masing. Akan tetapi dalam konteks NKRI saat ini, tentu mempunyai standar dan nilai yang jadi ukuran agar seseorang disebut sebagai pahlawan.

Sebelum kemerdekaan, nilai itu adalah semangat perjuangan untuk mengusir para penjajah. Dalam konteks generasi sekarang, tentu mempunyai nilai dan standar sendiri supaya disebut sebagai pahlawan.

Bagaimana agar setiap anak bangsa –dalam konteks menjaga keutuhan dan perdamaian di bumi NKRI ini –bisa menjadi pahlawan?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, di sini diketengahkan jawaban dua guru bangsa. Buya Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2015), menekankan tiga nilai penting, yaitu Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemanusiaan.

Bagi Buya, ketiga nilai ini, masih mengawang-awang, atau kalau bahasa agak kasar, masih melangit di jiwa para warga Indonesia, terkhusus para anak mudanya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Nurcholish Madjid (1987), menawarkan tiga nilai pokok sebagai prasyarat, yakni Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan.

Kedua pemikir bangsa ini sama-sama menekankan nilai Keislaman sebagai poin penting, hal ini tidak lain karena latar belakang mereka sebagai cendekiawan muslim. Bagi dua nama ini, Keislaman tidak pernah bertentangan (bahkan harus dijiwai) dengan semangat Keindonesiaan, Kemanusiaan, dan Kemodernan.

Tentu sebagai seorang anak bangsa, dalam mewujudkan semangat perdamaian di muka bumi Nusantara tercinta ini, saya mengusulkan tiga nilai –dengan tetap mempertimbangkan usulan di atas –yang harus dipegangi para anak bangsa. Nilai itu adalah Keindonesiaan, Kemanusiaan, dan Kebhinekaan. Hubungan ketiga nilai ini ibarat tiga sudut siku-siku yang saling membahu dan memperkuat.

Nilai Keindonesiaan merupakan perwujudan dari jati diri bangsa ini. Dia adalah identitas dan atribut pertama dan utama ketika setiap anak bangsa dilahirkan. Atribut keindonesiaan sudah ada sebelum ada atribut-atribut lainnya. Maka setiap anak bangsa harus menyadari ini, di atas segalanya,

Keindonesiaan –makan, minum, bernafas, bersujud, dan mengekspresikan diri selalu berada di bumi NKRI. Gus Dur, seorang guru bangsa, pernah melontarkan pernyataan yang tepat dikutip dalam konteks ini, “Kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia.”

Sebenarnya Gus Dur menekankan kepada seluruh anak bangsa, bahwa atribut Keindonesiaan harus berada di atas, mengungguli atribut lainnya. Ini adalah wujud konkrit dari nasionalisme.

Tertanamnya nilai Keindonesiaan, mau tidak mau harus mengikutkan nilai Kemanusiaan. Para pendiri bangsa ini sudah menyadari hal itu dengan mencantumkannya dalam Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Nilai kemanusiaan mengajarkan akan cinta damai, belas kasih, toleransi, gotong royong, saling membantu dan segala nilai positif lainnya di satu sisi, dan menolak kekerasan, teror, aksi rasisme, intoleransi, dan segala nilai negatif lainnya, di sisi yang lain.

Pendek kata, setiap anak bangsa dalam mewujudkan kedamaian dan persatuan di bumi NKRI ini harus tetap dalam koridor memanusiakan manusia.

Nilai kebhinekaan adalah fakta yang tidak bisa ditolak lagi. Bukan suatu kebetulan jika Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama dan adat istiadat. Data terakhir menunjukkan ada sekitar 625 bahasa yang masih hidup di Indonesia, dengan agama yang berbeda-beda. Belum lagi ditambah dengan aliran kepercayaan yang jumlah ratusan yang tersebar di berbagai pulau, dengan suka dan adat istiadat yang berbeda pula.

Akan tetapi semua perbedaan itu merupakan kemajemukan yang tidak terbantahkan lagi. Kemajemukan itu dengan jeniusnya diikat oleh para pendiri bangsa ini dengan kalimat “Bhineka Tuggal Ika.” Berbeda beda tetapi satu juga. Mungkin tidak ada negara yang semajemuk Indonesia. Orang yang selalu menanamkan dalam dirinya ketiga nilai ini dan berusaha mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-sehari maka mereka ini layak disebut sebagai pahlawan. Dengan menanamkan nilai Keindonesiaan, Kemanusiaan, dan Kebihinekaan, maka akan lahir pahlawan-pahlawan di bumi Indonesia ini.

Facebook Comments