Muhammad Bukan Pelaknat

Muhammad Bukan Pelaknat

- in Narasi
2560
0

Betapa banyak ayat al-Qur’an maupun Hadis Nabi Muhammad Saw yang mengajarkan dan meneladankan ajaran kerahmatan Islam, bukan kelaknatan. Teladan keramahan ini juga ditujukkan dengan nyata oleh Nabi Muhammad, para shahabat, dan ulama pewarisnya. Baik doktrin maupun praktik keteladanan ini menunjukkan dengan sangat baik, bahwa Islam memang memberikan porsi lebih dan serius pada ajaran keramahan ini.

Kepada yang berbeda keyakinan, Islam tidak melaknati. Kepada yang berbeda suku, Islam juga tidak melaknati. Kepada yang berbeda warna kulit, Islam juga tidak melaknati. Kepada kaum papa, Islam pun tidak melaknati. Hatta kepada makhluk yang bukan manusia dan tiada berakal, Islam juga tidak melaknati. Kepada semuanya, Islam merahmati. Inilah inti kerahmatan ajaran Islam.

Dalam al-Qur’an, misalnya, Allah Swt berfirman: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Qs. al-Anbiya: 107). Dari ayat ini nyata sekali, kehadiran Islam tiada lain untuk merahmati, bukan melaknati. Ajaran-ajarannya untuk meramahi, bukan memarahi. Ajaran luhur ini, ironis dan sayangnya, acapkali diabaikan oleh sebagian umat Islam sendiri.

Lihat saja mereka yang tanpa malu mengaku-aku sebagai muslim, namun menampakkan wajah beringas dalam menjalankan dan memaksakan ajarannya. ISIS dan beberapa kelompok teroris lainnya, yang mengaku-aku muslim, misalnya. Mereka lebih mendahulukan perilaku melaknati ketimbang merahmati. Lebih mengedepankan memarahi ketimbang meramahi. Membunuh dengan mengatasnamakan agama dan membawa-bawa nama al-Rahman (Sang Maha Kasih) menjadi hobinya. Malu rasanya!

Pengabaian ajaran keramahan inilah yang mencoreng-moreng wajah cantik dan senyum indah Islam. Pengakuan kemusliman seperti ini sungguh patut dipertanyakan dan bahkan diragukan seragu-ragunya, karena tidak sejalan dengan semangat kehadiran Islam itu sendiri. Mengaku ber-al-Qur’an, namun mengabaikan ajarannya. Mengaku ber-Sunnah, namun meninggalkan nilai-nilainya. Malu rasanya!

Adaikan mereka mengaku meneladai Muhammad Saw, misalnya, lihat saja apakah beliau mengajarkan kebengisan? Tidak sama sekali! Apakah beliau mendahulukan melaknat ketimbang merahmat? Tidak sama sekali! Apakah beliau mengedepankan memarahi ketimbang meramahi? Tidak sama sekali! Lalu, siapa yang mereka ikuti sesungguhnya?

Dalam Hadis riwayat Imam Abu Isa al-Tirmidzi, Muhammad Saw bersabda: “Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan pula orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan pula orang yang jorok omongannya.” Inilah kreteria seorang mukmin sesungguhnya; bukan pencela, bukan pelaknat, bukan pelaku keji dan bukan orang yang buruk atau negatif ucapannya.

Pemahaman terbaliknya jelas sekali, siapapun yang lebih mengedepankan perangai mencela, melaknat, keji dan ucapannya negatif bagi pihak lain, maka kemukminannya patut dipertanyakan dan bahkan diragukan. Minimalnya, statusnya tetap mukmin, namun mukmin yang tidak purna dan tidak benar-benar mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah Muhammad Saw. Mukmin yang merendahkan kemuliaan Tuhan, kitab suci dan Nabinya.

Dalam Hadis shahih lainnya yang diriwayatkan Imam Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi dari Abu Darda, Muhammad Saw juga bersabda: “Orang yang banyak melaknat tidak akan diberi syafaat dan syahadatnya tidak akan diterima pada Hari Kiamat.” Pernyataan junjungan umat muslim ini juga demikian jelas, pelaknat tiada layak mendapatkan syafaat Muhammad, karena pelaknat tidak pantas dimasukkan dalam gerbong umatnya. Sepantasnya, gerbong umat Nabi Muhammad hanya diisi para perahmat saja. Pelaknat lebih cocok bergabung dalam gerbong Firaun, Haman, Abu Jahal, Abu Lahab dan karib kerabat mereka.

Lebih dari itu, bahkan syahadat (kesaksiannya pada Allah, Muhammad beserta ajaran keramahannya) para pelaknat tidak akan dinilai dan akan diabaikan oleh Allah Swt. Sanksi ini juga bukan sanksi yang main-main, karena akan mengiliminir kemukminan kita secara purna. Ini berarti, pelaknat dan lebih-lebih pejuang kebengisan yang hobi menyakiti (baik fisik maupun psikis) dan menumpahkan darah saudaranya atas nama Islam, akan beraih kerugian yang sesungguhnya. Pengakuan atas keislamannya akan ditolak oleh Dzat yang memiliki Islam itu sendiri, Allah, dan oleh yang mengajarkan Islam, Muhammad.

Tak cukup sampai di situ, Imam Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi juga meriwayatkan Hadis shahih lain yang tak kalah pentingnya perihal karakter keramahan Islam dan Muhammad ini. Shahabat Abu Hurairah menceritakan, ada sebagian shahabat yang berkata: “Ya Rasulallah, berdoalah untuk kebinasaan orang-orang musyrik!” Sebagian shahabat ini meyakini, doa Muhammad niscaya terkabul karena disampaikan oleh makhluk terkasih-Nya.

Sebagian kaum muslim saat itu beranggapan, sudah sepantasnya kaum musyrik mendapat doa kebinasaan dari Muhammad Saw, karena keingkarannya pada ajaran luhur putera Abdullah dan Aminah ini. Selain itu, karena mereka telah menyekutukan Allah Swt, dengan menjadikan “sesuatu” selain-Nya sebagai tandingan (niddan) untuk disembah-sembah. Perilaku demikian kiranya tak pantas mendapat simpati sedikitpun dan pelakunya tak layak menghirup udara di atas muka bumi ini.

Mendapat permintaan melaknat orang musyrik ini, apa gerangan reaksi Nabi terakhir yang senantiasa tersenyum baik pada para shahabatnya dan bahkan pada musuh-musuhnya ini? “Inni lam ub’ats la’anan wa innama bu’itstu rahmatan/Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai rahmat.” Hadis ini juga jelas, bi’tsah (pengutusan) Muhammad ke dunia ini untuk merahmati, bukan melaknati.

Dengan demikian sangat gamblang, bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang niscaya benarnya dan aneka Hadis Shahih yang tak terbantahkan, nyata-nyata menunjukkan misi Islam sebagai rahmat bukan laknat dan untuk meramahi bukan memarahi. Juga jelas, tugas Muhammad bukan melaknat, tapi merahmati, bukan memarahi tapi meramahi. Apakah kita masih pantas mengaku sebagai umatnya dan bersikukuh berbaris dalam gerbongnya, sementara kita justru mengabaikan ajaran utamanya? Tidak malukah kita?

Facebook Comments