Suatu hari, seseorang menghadap Khalifah Umar bin Khattab dengan membawa anak lelakinya. Ia mengadukan betapa durhaka dan kurang ajar anaknya. Umar mendengar dengan seksama pengaduan orang tua itu. Umar mengingatkan beberapa hak anak, seperti, memilihkan ibu si anak dari golongan baik-baik, memberi nama yang baik, memberi nafkah sepantasnya, mendidik dengan akhlak yang baik, dan mengajari ilmu untuk bekal hidupnya.
Seketika itu juga si anak menyahut uraian Umar. “Tak satu pun dari hak-hak itu yang diberikan. Ibu saya itu tidak jelas asal-usulnya dan berperangai sangat buruk. Dari kecil saya dipaksa mencari nafkah dengan menggembala ternak, dan saban hari diberi contoh akhlak yang buruk, dengan pertengkaran yang tiada henti, perkataan yang kotor, dan tindak kekerasan.”
“Jangankan diajari ilmu, yang ada hanya dampratan dan perlakuan kasar. Dalam hatiku hanya ada dendam dan menunggu saat bisa membalasnya,” kata si anak. “Apa benar demikian,” tanya Umar dengan wajah marah.” Jika demikian, sungguh engkau telah merusak anakmu dengan tanganmu sendiri. Engkaulah yang pantas mendapat hukuman atas kesalahan ini,” tegasnya.
Sirah Umar tersebut mengindikasikan peran orang tua dalam membentuk pribadi anak. Ketika Umar mengetahui bahwa karakter orang tua si anak yang kasar, Umar langsung mengecam si orang tua alih-alih menasehati sang anak. Umar tidak serta merta “mendalili” si anak tentang kewajiban menghormati orang tua, namun justru menekankan pentingnya bagaimana sosok orang tua sebagai cerminan bagi anaknya.
Anak-anak cenderung meniru perilaku yang mereka lihat di rumah. Jika orang tua menunjukkan nilai-nilai seperti kesetiaan, integritas, dan empati, anak-anak mereka mungkin juga cenderung mengembangkan nilai-nilai tersebut. Lingkungan di rumah, termasuk interaksi antara anggota keluarga, juga dapat berpengaruh pada perkembangan karakter anak-anak. Suasana yang hangat, dukungan emosional, dan komunikasi yang terbuka dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang lebih baik.
Baru-baru ini, King’s College London mengeluarkan sebuah survei yang salah satu respondennya adalah Indonesia. Survei dari King’s College London mengungkap nilai-nilai apa yang menjadi prioritas untuk anak di keluarga. Ada 11 sikap yang dijadikan opsi di studi ini, yaitu: Tidak Egois, Imajinasi, Sikap Baik, Rasa Tanggung Jawab, Kepatuhan, Hemat, Kepercayaan Agama, Independensi, Toleransi dan Hormat ke Orang Lain, Determinasi dan Kegigihan, serta Kerja Keras.
Para responden lantas ditanya hal-hal apa saja yang paling penting diajarkan ke anak-anak di rumah. Hasilnya, para orang tua Indonesia ternyata sangat peduli dalam hal kepercayaan agama. Sebanyak 75% responden dari Indonesia menyatakan bahwa agama penting diajarkan untuk anak-anak.
Angka 75% itu membuat Indonesia sebagai negara kedua setelah Mesir (82%) yang sangat menganggap penting pendidikan agama. Lima negara terbawah yang menganggap agama tidak penting adalah Inggris (9%), Prancis (9%), Norwegia (6%), Jepang (4%), dan China (1%).
Sebagai salah satu negara paling relijus di dunia, kabar ini tentu terdengar baik. Para orang tua di Indonesia sadar bahwa anak-anak mereka harus dibekali pendidikan agama yang cukup sejak dini, baik dalam dari ranah keluarga maupun institusi pendidikan. Namun survei mengungkap, kesadaran akan pentingnya pendidikan agama pada anak tidak berbanding lurus dengan kesadaran akan pentingnya edukasi toleransi. Survei menunjukkan bahwa orang tua Indonesia mengesampingkan dua nilai penting, yaitu toleransi dan sikap tidak egois
Terkait toleransi, skor Indonesia adalah nomor dua dari bawah. Hanya 45% responden Indonesia yang menganggap toleransi itu penting diajarkan ke anak-anak di rumah. Skor Indonesia bahkan lebih rendah dari Rusia (56%) dan Korea Selatan (51%). Lima negara yang menilai bahwa toleransi penting diajarkan adalah Swedia (93%), Norwegia (90%), Prancis (84%), Jerman (84%), dan Spanyol (82%).
Jika hasil survei memang mencerminkan demikian maka seharusnya ini bukanlah kabar yang baik, justru ironis. Bagaimana bisa para orang tua semangat mendorong anaknya belajar agama, namun acuh terhadap pendidikan toleransi. Padahal, jika seseorang mendaku beragama, ia akan berusaha untuk menjadi pribadi yang toleran dengan sendirinya.
Jika mengacu pada kisah Umar, fenomena tersebut mengindikasikan bahwa darurat toleransi itu justru berangkat dari orang tua itu sendiri. Artinya, kurangnya kesadaran bertoleransi justru telah mengakar dari generasi-generasi sebelumnya. Dalam arti lain, jika generasi hari ini tampak tidak mempunyai semangat toleransi yang tinggi, maka itu bisa jadi karena memang perilaku generasi sebelumnya yang menunjukkan sikap serupa.
Memang, orang tua bukan satu-satunya referensi moral yang menjadi cerminan anak. Mereka juga memiliki lapis-lapis sosial dengan berbagai macam komposisi, seperti lingkungan di sekolah, media sosial anak, teman bermain, dan komunitas-komunitas di sekitarnya. Lingkungan di luar rumah itu juga sangat bisa membentuk pribadi anak yang toleran maupun intoleran.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa orang tua tetap menjadi motor edukasi pertama bagi anak sebelum bersentuhan dengan dunia luar. Justru orang tua adalah pihak yang paling relevan dalam menanamkan nilai toleransi pada anak karena toleransi adalah nilai fundamental dan universal sebagai bekal bagi si anak berinteraksi dengan dunia luar rumah yang multi-identitas.
Jangan sampai, pribadi anak yang bisa diasah untuk menjadi sosok yang toleran justru digagalkan oleh standar orang tua yang eksklusif dan konservatif. Maka, jika mengacu pada kisah Umar, generasi orang tua justru secara tidak langsung telah merusak masa depan anak untuk hidup harmonis dalam keberagaman.