Dua pekan jelang pelaksanaan Pemilu, muncul beragam narasi dari kaum radikal yang bertujuan mendegradasi demokrasi. Narasi itu dibungkus narasi keagamaan, antara lain demokrasi sistem kufur, pemilu bertentangan dengan Islam, dan narasi sejenisnya. Semua narasi itu bermuara pada satu tujuan; memboikot Pemilu.
Bagi kaum moderat, narasi itu tentu tidak lagi menarik untuk sekadar diperhatikan. Beda halnya dengan kaum konservatif yang dalam banyak masih terjebak dalam pandangan bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang tidak kompatibel.
Dalam konteks inilah pernyataan ihwal apakah demokrasi itu sistem kufur patut dielaborasi lebih lanjut. Jika kita merujuk pada pendapat para ulama ahlussunah wal jamaah, maka jelas bahwa mendirikan negara itu hukumnya wajib. Mengapa?
Karena negara adalah perwujudan dari Ulil Amri yang memiliki otoritas atau wewenang untuk menjaga ketertiban. Keberadaan negara ini wajib, dengan argumen bahwa konflik antar kelompok bisa dicegah jika ada satu kekuatan yang diberikan wewenang untuk menegakkan hukum dan mengatur kehidupan masyarakat.
Adapun bentuk negara, menurut para ulama Ahlussunah wal Jamaah, tidak secara spesifik diajarkan oleh Islam. Islam tidak memberikan petunjuk apakah harus mendirikan negara teokratis, monarki, atau demokrasi. Islam hanya memberikan semacam garis besar bahwa negara haruslah “baldatun thayyibatun warabbun ghafur“. Dalam artian, maslahat bagi penduduknya dan alam sekitarnya”.
Indonesia Adalah Ijtihad Para Ulama Aswaja
Dalam konteks Indonesia, model negara bangsa dengan sistem demokrasi adalah kesekapakatan para pendiri bangsa yang sebagian di antaranya juga merupakan ulama-ulama Aswaja. Artinya, NKRI yang bersistem demokrasi ini dilahirkan atas ijtihad para ulama, bukan semata produk kaum sekuler.
Para ulama itu tentunya paham betul klausul tentang fiqih siyasah termasuk apa hukum demokrasi menurut Islam. Maka, hari ini jika masih ada kelompok yang mengharamkan demokrasi bahkan menganggapnya sistem kufur, sama aja dengan menganggap para ulama yang ikut merumuskan lahirnya NKRI itu tidak kompeten.
Selain itu, argumen demokrasi sistem kufur itu juga tidak masuk akal secara logika. Bagaimana tidak? Demokrasi adalah sistem politik yang tidak ada kaitannya dengan urusan peribadatan secara langsung. Demokrasi adalah sistem kenegaraan, bukan sistem keagamaan. Keberadaan demokrasi tidak bertendensi menggusur agama. Justru di negara demokrasi, ekspresi beragama dijamin kebebasannya melalui konstitusi atau hukum.
Sedangkan istilah kufur itu lekat kaitannya dengan urusan keagamaan. Istilah kufur merujuk pada perilaku ketika seseorang yang mengingkari keesaan Allah. Misalnya, seseorang yang menyembah tuhan selain Allah, atau menuhankan benda dan sejenisnya, itu layak disebut sebagai manusia kufur.
Sedangkan praktik demokrasi dan Pemilu sama sekali tidak ada kaitannya dengan perilaku menafikan keesaan Tuhan. Berpartisipasi dalam Pemilu adalah urusan duniawi. Kita cukup datang ke tempat pemungutan suara, lalu mencoblos surat suara. Lalu, dimana letak kekufurannya?
Demokrasi atau Pemilu juga tidak melanggar syariat. Tidak ada satu hukum Islam pun yang dilanggar dalam penyelenggaraan Pemilu.
Pemilu Sebagai Mekanisme Nashbul Imam
Jika ditilik dari perspektif fiqih siyasah ahlussunah, Pemilu adalah mekanisme Nashbul Imam yakni pengangkatan pemimpin. Dalam fiqih ahlussunah, mekanisme pemilihan dan pengangkatan pemimpin bisa dilakukan dengan metode apa saja asalkan tidak melanggar syariat.
Yang terpenting dari proses Nashbul imam itu adalah harus mengedepankan prinsip keadilan (al ‘adalah), kejujuran (al amanah) dan musyawarah (syura).
Demokrasi yang kita praktikkan hari ini memang belum sempurna. Namun, menyebut demokrasi sebagai sistem kufur tentu tidak tepat. Demokrasi bisa dikatakan sistem yang paling merepresentasikan prinsip Islam tentang keadilan, kejujuran, dan musyawarah.
Di dalam sistem demokrasi, kita bisa menentukan siapa yang akan menjadi wakil dan pemimpin kita di pemerintahan. Tidak hanya memilih, publik juga diberikan kewenangan untuk mengawasi dan mengontrol pemimpin dan pemerintah.
Dari paparan di atas, pandangan kaum konservatif radikal yang beranggapan demokrasi sistem kufur itu sama sekali tidak berdasar. Pandangan itu sejak jauh hari telah dibantah oleh para ulama ahlussunah.
Dalam konteks Indonesia, para ulama Ahlusunnah baik yang berafiliasi dengan NU, Muhammadiyah, dan ormas keislaman moderat lainnya sangat adaptif pada proses demokrasi dan Pemilu. Bahkan tidak sedikit tokoh NU dan Muhammadiyah seta ormas lain yang ikut dalam kontestasi politik praktis.
Para ulama Ahlusunnah itu juga kerap mewanti-wanti jamaahnya untuk tidak golput apalagi sampai memboikot Pemilu. Karena ikut Pemilu adalah wujud patuh pada Ulil Amri dan bagian dari enjakanlam syariah Islam dalam mencari imam atau pemimpin.