Peristiwa pembakaran yang menimpa seorang begal di Pondok Aren Tangerang, pada Februari 2015 lalu sangat mengejutkan dan membuat shock nurani saya. Betul bahwa pembegal motor itu kejam karena tega melukai korbannya, bahkan tak segan membunuhnya. Namun demikian, apakah juga pantas bagi masyarakat yang mengaku sehat, waras, berpendidikan, dan agamis ‘ikut-ikutan tega’ menghukumnya dengan cara seperti itu? Terlepas dari rasa kesal masyarakat terhadap perilaku kejam pembegal, sebagai pendidik yang yakin bahwa pendidikan mengajarkan kebaikan, saya menjadi kesulitan melihat manfaat pendidikan pada masyarakat pembakar maupun pembegal.
Kesulitan saya mengacu pada fakta betapa pendidikan kita ternyata belum bisa maksimal dalam menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang memiliki karakter berkeadaban. Ini dibuktikan dari masih maraknya perilaku koruptif di kalangan masyarakat kita. Keserakahan dan penjarahan sumberdaya alam, serta berbagai konflik sosial berbasis kepentingan kelompok tertentu nyatanya masih belum juga hilang.
Padahal tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pada intinya pendidikan itu bertujuan untuk membentuk karakter seseorang yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi nyatanya yang saya lihat berbeda, pendidikan cenderung hanya menekankan pada aspek intelektual saja. Hal ini dibuktikan dengan adanya UN yang dipaksakan sebagai tolak ukur tunggal terhadap keberhasilan pendidikan tanpa melihat proses pembentukan karakter dan budi pekerti siswa.
Rasanya pendidikan kita memang belum sampai pada level keadaban dan keberbudayaan publik. Keadaban berkaitan dengan sikap dan perilaku yang bersumber dari nilai moral dan tuntutan nurani. Dimana manusia diperlakukan setara, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang diberikan Allah.
Sementara kebudayaan menurut Geertz dalam bukunya Intrepretation of culture adalah sistem yang tertata dari simbol-simbol dan makna. Dari tatanan tersebut terdapat kerangka dari berbagai kepercayaan, lambang-lambang ekspresif, dan nilai-nilai yang memungkinkan manusia menafsirkan pengalamannya serta menuntun perilakunya.
Dengan demikian, perangkat nilai (intangible– hasil budaya bukan benda) tersebut adalah sikap menghargai kemanusiaan, menghargai perbedaan, kejujuran, toleran, peduli, dan berbagai norma lainnya yang disepakati. Masyarakat yang telah memiliki norma tersebut dan mampu mengimplementasikannya adalah masyarakat yang berkebudayaan.
Penghargaan terhadap keberadaban kemanusiaan dan keberbudayaan masyarakat adalah tujuan dari sebuah proses pendidikan. Lembaga pendidikan memiliki peran strategis untuk menyemaikan dan mewujudkan tujuan tersebut. Pendidikan sebenarnya menjadi alat yang paling efektif untuk menguatkan ideologi bangsa. Tujuan untuk mewujudkan keberadaban dan keberbudayaan sangat sesuai dengan penguatan idelogi Pancasila.
Kurikulum saat ini, yang salah satunya menguatkan aspek spiritual dan sosial, sesungguhnya memiliki fungsi menguatkan kontribusi pendidikan terhadap pengamalan Pancasila, khususnya sila pertama. Sementara pada aspek sosial, kurikulum pendidikan kita merupakan implementasi dari sila Pancasila yang kedua sampai kelima.
Selain bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dan menyiapkan generasi yang kompetitif, keberadaan kurikulum dalam pendidikan seharusnya memperkuat sendi-sendi dan nilai-nilai dari Pancasila. Upaya ini sangat penting ditengah keterpurukan Pancasila dalam percaturan ideologi global dan sikap hedonisme, individualistik masyarakat dari perkembangan dan pengaruh ekonomi serta teknologi. Pendidikan adalah salah satu alat yang paling potensial dan urgen dalam memperkuat ideologi bangsa. Sehingga setiap mata pelajaran seharusnya memberikan kontribusi yang penting terhadap penguatan Pancasila.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang dikenal religius. Budaya masyarakat Indonesia secara antropologis adalah personifikasi dan simbolisasi dari kepercayaan terhadap agamanya. Ini menjadi titik tolak penguatan ketahanan bangsa dengan penguatan aspek spiritual dan aspek sosial budaya dalam pendidikan.
Pendidikan bertujuan untuk menjadikan masyarakat beradab dan berbudaya. Hal ini harus terintegrasi dalam semua kurikulum mata pelajaran. Artinya, kurikulum yang ada harus bisa mendesign agar setiap mata pelajaran memiliki kontribusi positif terhadap keadaban dan keberbudayaan siswa. Inilah yang seharusnya menjadi garapan pemerintah, yaitu meningkatkan kapasitas gurunya. Sebab apapun kurikulumnya, kesuskesan sangat bergantung pada kualitas dan dedikasi guru sebagai pelaksana kurikulum. Pada dasarnya, Guru adalah Kurilulum itu sendiri. Jadi hal yang penting adalah meningkatkan kompetensi gurunya, bukan mengganti-ganti kurikulumnya.
Modal budaya sebuah bangsa merupakan dasar dari ketahanan nasional suatu bangsa. Suatu bangsa yang tidak memiliki modal budaya tidak mempunyai ketahanan nasional. Tanpa ketahanan nasional dan ketahanan budaya, bangsa itu tidak akan eksis. Dengan kata lain, bangsa tersebut akan mudah dijajah oleh bangsa lain. Padahal modal budaya adalah modal sosial yang sangat besar untuk menggerakkan masyarakat dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Modal budaya adalah kohesi yang paling kuat yang mengikat masyarakatnya.