Pesan Hijrah: Berpindah dari Saling Membenci Menuju Saling Bersaudara

Pesan Hijrah: Berpindah dari Saling Membenci Menuju Saling Bersaudara

- in Narasi
437
0
Pesan Hijrah: Berpindah dari Saling Membenci Menuju Saling Bersaudara

Hijrah merupakan peristiwa historis yang menandai perpindahan Nabi Muhammad meninggalkan kampung halamannya, Makkah, menuju Yatsrib yang di kemudian hari disebut Madinah. Mayoritas sejarawan menyebut, hijrah lahir dari sebuah upaya menyelesaikan konflik.

Sebelum peristiwa hijrah yang fenomenal itu, ada rombongan dari Yatsrib bergerak menuju Makkah bertujuan menemui Nabi. Mereka merupakan perwakilan dua kabilah besar yang sedang dilanda konflik berkepanjangan. Sebuah konflik berlatar kesukuan yang tak pernah selesai. Pertumpahan darah dan balas dendam selalu terjadi di antara dua kabilah tersebut. Kedua belah pihak membutuhkan seseorang sebagai juru damai untuk mendamaikan konflik berkepanjangan di antara mereka. Dua suku dimaksud adalah Aus dan Khazraj.

Salah satu faktor kenapa Nabi Hijrah ke Madinah setelah kondisi umat Islam di Makkah semakin terdesak oleh kafir Quraisy. Sebagai minoritas, umat Islam kala itu mendapatkan tekanan berupa intimidasi, penyiksaan dan bahkan pembunuhan. Perkenan diberikan oleh Allah supaya umat Islam hijrah meninggalkan Makkah. Yatsrib menjadi pilihan Nabi dan sahabat-sahabatnya, dimana sebelumnya Nabi kedatangan dua kelompok suku terbesar di Yatsrib yang meminta beliau menjadi juru damai di antara mereka.

Dengan demikian, hijrah menjadi titik balik; bebas dari intimidasi kaum kafir Quraisy dan sekaligus mewujudkan sebuah perdamaian. Dua tugas berat yang harus diselesaikan oleh Nabi di awal-awal pengangkatannya sebagai utusan. Berat hati meninggalkan Makkah sebagai kampung halaman dan di Yatsrib telah menunggu sebuah misi perdamaian.

Bila dianalisa lebih dalam, sesungguhnya keberangkatan Nabi beserta sahabatnya ke Yatsrib bukan pelarian dari kelaliman kafir Quraisy, sebab sebagai utusan mudah bagi Nabi meminta kepada Allah memusnahkan kafir Quraisy. Hijrah, cenderung merupakan permintaan 72 orang Yatsrib seperti telah dijelaskan. Hijrah Nabi membawa misi perdamaian menyelesaikan konflik.

Situasi di Yatsrib sebelum Nabi dan para sahabatnya hijrah dalam situasi yang sangat kacau. Memanfaatkan momentum haji, banyak penduduk Yatsrib yang menemui Rasulullah, berbaiat setia dan memeluk agama Islam. Alhasil, masyarakat Yatsrib telah banyak yang memeluk agama Islam sebelum Nabi hijrah kesana. Tak heran, kedatangan beliau ke Yatsrib dinantikan dengan penuh harap dan mendapatkan penyambutan yang luar biasa.

Di Madinah, muslim asal Makkah (Muhajirin) dan muslim lokal (Anshar) mengikat diri dalam sebuah tali persaudaraan berdasarkan kesamaan agama. Setelahnya, Nabi beserta umat Islam berhasil merumuskan sebuah kesepakatan yang berisi perjanjian untuk saling menjaga dan tidak saling menyerang sesama umat Islam, Yahudi dan penganut agama lain. Berkat usaha Nabi ini Yatsrib yang sebelumnya merupakan kota penuh konflik, terutama konflik kesukaan, berubah menjadi kota sebagai simbol keadaban. Yatsrib kemudian lebih populer dengan sebutan Madinah.

Hijrah Membangun Persatuan Lintas Agama Menuju Perdamaian

Faktor kesejarahan hijrah di atas menjadi penting dipahami oleh generasi muslim supaya tidak menyebabkan kegagalan memahami istilah hijrah. Seperti fenomena hijrah generasi milenial yang hanya berpindah dari praktik beragama lama menuju tren beragama baru, kemudian menyalahkan kelompok lain yang tidak mengikuti tren hijrah mereka. Sehingga terjadi kondisi keberagamaan yang merosot dengan tingkat literasi yang minim. Bukan kedamaian yang diraih melainkan keresahan dan permusuhan. Beda sekali dengan tujuan historis hijrah Nabi. Hijrah telah menjauhi spirit kesejarahannya.

Di Madinah, Nabi membangun relasi lintas agama yang dirumuskan dalam sebuah perjanjian yang dirumuskan bersama. Dikemudian hari perjanjian ini populer dengan “Piagam Madinah”. Salah satu poinnya, seluruh masyarakat Madinah, apapun agamanya, memiliki kewajiban untuk bersama-sama saling bahu membahu mempertahankan negara Madinah mengahadapi ancaman dari luar.

Relasi lintas agama yang terbangun di Madinah menciptakan suatu prinsip, siapapun mereka, apapun agama dan sukunya, selama memiliki nurani dan memiliki kemauan untuk menciptakan persatuan dan perdamaian adalah saudara. Pada akhirnya hal ini menjadi suatu kekuatan besar sehingga Madinah menjadi simbol kota peradaban dan kemajuan.

Dari sini pula, Islam mengepakkan sayapnya membumbung tinggi menjadi sebuah agama besar yang diminati kebanyakan manusia. Karena ternyata, Islam merupakan simbol perdamaian. Sekalipun Islam sebagai kebenaran tunggal, namun tetap menghormati setiap agama yang berbeda.

Oleh karena itu, membangun tren hijrah sejatinya tidak lepas dari pemaknaannya secara historis, yakni semangat membangun dan menciptakan perdamaian lintas agama. Hari ini, makna historis hijrah telah direduksi oleh sebagian umat Islam dengan melepaskan makna hijra menjauh dari spirit kesejarahannya. Hijrah lebih dimaknai secara ahistoris, dipersempit maknanya hanya sekadar perubahan simbolik lahiriah, seperti jilbab.

Pemaknaan hijrah secara ahistoris seperti ini kemudian menjadi masalah karena lahirnya sikap menyalahkan yang lain. Mereka yang berbeda diartikan tidak Islami. Suatu sikap yang pada puncaknya menyebabkan permusuhan sesama umat Islam, apalagi umat non muslim. Ujung-ujungnya bid’ah dan kafir.

Semestinya, hijrah menjadi momentum menggalakkan kedamaian dalam bingkai keberagamaan. Sebagaimana Nabi membangun relasi antar umat agama untuk menciptakan sebuah perdamaian dan persaudaraan lintas agama. Esensi makna hijrah menjadi sebuah keniscayaan bagi umat Islam supaya tidak mereduksi makna historis hijrah Nabi yang mengedepankan persatuan, persaudaraan sesama dan perdamaian.

Facebook Comments