London School of Economics pada 1967 mengadakan konferensi besar untuk menemukan definisi dari populisme. Seorang ilmuan politik Ghita Ionescu dalam konferensi itu menyajikan tulisan berjudul “Sesosok momok yang menghantui dunia: populisme” sebagai gagasan awal yang mengartikan populisme sebagai sosok momok yang menakutkan.
Filsuf politik Jerman, Jan-Werner Müller lantas menerjemahkan “momok” populisme itu dalam bukunya What is Populism? (2016). Müller menulis bahwa seorang pemimpin populis pada dasarnya memiliki nilai atau pandangan yang menolak pluralisme di masyarakat. Pemimpin populis selalu menyatakan diri bahwa ia adalah satu-satunya orang yang dapat mewakilkan masyarakat secara luas.
Dalam praktiknya, populisme politik adalah pendekatan yang bertujuan untuk menarik dukungan dari masyarakat yang merasa aspirasinya tidak diperhatikan oleh pemerintah saat itu. Dalam ilmu politik, populisme menggambarkan suatu masyarakat yang terbagi menjadi dua kelompok: “the pure people” (the good) dan “the corrupt elite” (the bad). Melalui polarisasi populisme politik itu seorang pemimpin populis akan terus membentur-benturkan dua kelompok masyarakat demi kepentingannya, lebih bahaya lagi ketika pemimpin populis dapat dengan mudah mengubah sistem pemerintahan menjadi otoriter yang menyingkirkan musuh-musus politik melalui kekuatan kekuasaan.
Demokrasi membutuhkan pluralisme sebagai jaminan kehidupan yang adil sebagai warga negara yang bebas, setara, dan beragam. Maka gagasan tunggal, homogen, dan otentik ala populisme adalah sebuah momok; seperti yang pernah dikatakan oleh filsuf Jürgen Habermas, rakyat hanya bisa muncul dalam bentuk keberagaman.
Seperti populisme politik, populisme agama juga memiliki daya rusak yang juga mengerikan. Populisme agama, menurut Georg Betz dalam Saving the People: How Populists Hijack Religion (2016) memberikan tawaran yang tampaknya menarik. Pertama, apa yang salah atau tidak beres dalam masyarakat? Kedua, siapa yang bersalah? Ketiga, apa yang harus dilakukan untuk memulihkan situasi?
Proses pencarian jawaban itu membuat populisme agama menjadi membahayakan, sebab agama kemudian dijadikan kapital sosial (mobilisasi massa) dan cenderung menimbulkan ketegangan karena berupaya merebut kekuasaan (Haryatmoko, 2020:176). Populisme agama di Indonesia sangat tampak jelas dalam gerakan sebagian partai politik dan organisasi masyarakat yang secara terus menerus mendengungkan “Apa yang tidak beres dalam masyarakat?” yang selalu mereka ulang-ulang dengan narasi pemerintah anti Islam karena memolisikan ulama, tanpa melihat pelanggaran hukum yang terjadi; pemerintah yang terus berhutang, tanpa melihat pembangunan dan pemerataan ekonomi dari pinggir sebagai wujud keadilan sosial; dan seterusnya. “Siapa yang salah?” selalu mereka jawab lantang “Pemerintah”. “Apa yang harus dilakukan?” menurut para populisme agama ini adalah dengan khilafah.
Melalui aksi-aksi intoleransi dan terorisme, kaitan antara pelaku dengan ormas terlarang seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pempela Islam, “dukungan” politisi dan partai politik terhadap aksi-aksi kekerasan yang mengarah pada terorisme, merupakan bukti bahwa populisme agama itu sungguh ada dan telah dilakukan dengan perencanaan dan tersistem.
Oleh sebab itu pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (PERPRES) tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE). RAN PE sendiri merupakan kesadaran bahwa dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, diperlukan suatu strategi komprehensif, untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.
Rencana aksi nasional yang melibatkan seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah ini dilakukan secara komprehensif untuk berperang melawan kelompok terorisme yang telah secara aktif dan terus-menerus melakukan perekrutan, dengan target warga negara Indonesia, untuk bergabung dalam kegiatan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, dan terlibat dalam aksi teror, termasuk rekrutmen dan pelibatan perempuan dan anak-anak.
Dalam implementasinya, RAN PE mencakup 3 (tiga) pilar pencegahan dan penanggulangan sebagai strategi dan program utamanya, yang meliputi (1) pilar pencegahan, yang mencakup kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi; (2) pilar penegakan hukum, pelindungan saksi dan korban, dan penguatan kerangka legislasi nasional; dan (3) pilar kemitraan dan kerja sama internasional.
RAN PE pun dalam praktiknya akan melibatkan warga sipil seperti komunitas perempuan, komunitas pemuda, organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha, partai politik, lembaga pendidikan, rumah ibadah, dan kelompok kepentingan lainnya dalam upaya-upaya kontra radikalisasi.
Oleh sebab itu RAN PE dapat sukses tidak hanya melalui kerja kolaborasi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, namun juga peran serta aktif masyarakat. RAN PE akhirnya hanya menjadi wacana kelompok elit dalam bentuk program-program kontra produktif yang menghabiskan anggaran negara jika rencana aksi ini tidak melibatkan masyarakat secara jelas.
Sosialisasi aktif untuk mengajak keterlibatan masyarakat dalam RAN PE mesti dilakukan melalui cara-cara kreatif dan menyentuh hingga kelompok akar rumput. Modul, kurikulum, bahan-bahan publikasi yang biasanya disusun oleh kelompok akademis dengan bahasa langitan mesti diterjemahkan dalam bahasa sederhana dan implementatif, sehingga mudah dipahami dan dijalankan oleh masyarakat awam.
Sehingga pada akhirnya rencana aksi nasional ini artinya bukan sekadar aksi kementerian, lembaga, dan pemerintah, tetapi juga aksi nasional seluruh anak bangsa yang menjaga Indonesia tetap damai, harmonis, dan akhirnya mampu menyongsong Indonesia yang berkemajuan.
Isu radikalisme dan intoleransi sudah terlalu lama dan telah menguras banyak energi bangsa yang semestinya digunakan untuk mewujudkan Indonesia maju. Sebab prediksi Indonesia sebagai negara dengan ekonomi nomor empat di dunia pada 2030 tidak serta merta didapat jika masih direpotkan oleh hal-hal seputar radikalisme dan intoleransi yang mengganggu kestabilan politik dan ekonomi. Radikalisme dan intoleransi juga harus segera diselesaikan sebab tahun 2045 sebagai momentum 100 tahun kemerdekaan Indonesia mesti menjadi transformasi Indonesia sebagai negara maju, makmur, berkeadilan, dan beradab.