Puasa adalah sarana, tujuannya adalah takwa. Demikian logika Al-Quran (2:183). Takwa itu apa? Ada dua barometer. Pertama, menjaga hati. Kedua, menjaga lisan.
Takwa sebagai manifestasi dari menjaga hati terambil dari sabda Nabi yang menyatakan al-taqwa hahuna, takwa itu di sini! Nabi sambil menunjuk dadanya, yang itu adalah tempatnya hatinya.
Sementara takwa sebagai perwjudan dari menjaga lisan adalah hadis Nabi juga yang menyatakan seseorang disebut muslim, ketika muslim lain selamat dari lisannya.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara –terutama di dunia maya, menjaga hati dan lidah itu adalah membuang segala bentuk fanatisme buta di satu sisi, dan menjauhkan diri dari provokasi di sisi yang lain.
Puasa adalah sarana membuat kita agar lebih terbuka. Puasa menjadikan kita bisa bersikap jangan terlalu cinta, dan jangan terlalu benci.
Sebab, terlalu cinta, kita tak bisa melihat kekurangan, kelemahan dari kelompok kita, akan tetapi terlalu benci pun, kita tidak bisa melihat kelebihan, kebaikan, dan keunggulan pihak lain. Terlalu cinta menimbulkan fanatisme.Terlalu benci menimbulkan eksklusivisme, menutup diri.
Hiduplah yang moderat, tak ekstrem kanan, terlalu cinta.Juga tak ekstrem kiri, terlalu becin.Para pembenci tak butuh penjelasan, yang mereka butuhkan adalah ruang untuk mengekspresikan kebencian mereka.
Fanatisme pada akhirnya hanya menyiksa diri, sebab selalu bersifat apologetis terhadap kekurangan dan kelemahan kelompok. Begitu juga, sikap menutup diri, tidak mau menerima adanya kebaikan pihak lain. Maka yang diperlukan sekarang –terutama di era sosial media ini –adalah sikap reflektif.
Sikap reflektif adalah sikap yang berani kritis ke dalam dan keluar sekaligus.Geraknya ke dalam (kami) dan ke luar (mereka) secara bersamaan. Sikap kritis inilah yang akan melahirkan keadilan, baik dalam bersikap, bertindak, terlebih-lebih dalam berpikir.
Selaian itu, puasa juga bisa dijadikan sebagai sarana kita agar menghindar dan terhindar dari ujaran kebencian, provokasi, dan hoax. Memang harus diakuai, ffeknya nyata penetrasi media sosial adalah egaliterisme. Manusia di dalanya setara dan sama.
Jika di dunia nyata, guru dan murid ada hierarkis, kyai dan santri ada perbedaan, penjabat dan rakyat ada kelas sosial. Di dunia maya, semuanya hilang. Media sosial mendobrak sekat-sekat pembatas itu, dan menjadikan manusia sama kedudukannya.
Kesetaraan ini dalam konteks tertentu membawa manusia tidak takut lagi membully, mengkritik, mencaci-maki, bahkan memfitnah dan memprovokasi orang yang bersebarangan dengannya, meskipun itu dalam dunianya nyata hirarkisnya di atas dia. Semua ini terjadi, karena ada perasaan setara.
Demokratisasi yang dilakukan oleh media sosial, di mana semua orang tanpa pandang bulu, mempunyai kesempatan yang sama untuk bersuara, sangat besar pengaruhnya terjadinya polarisasi.
Menguatnya identitas-sektoral bersambut gayung dengan penetrasi media sosial. identitas eksklusif, militan, membedakan kami dengan mereka, klopdengan media sosial yang memaksa manusia setara. Akibatnya, manusia tanpa rasa berdosa dengan mudah memprovokasi, menyebar ujaran kebencian, dan mendramatisasi suatu kasus untuk memojokkan pihak lain.
Narasi kebencian berdasarkan identitas eksklusif tumbuh subur di sosial media. Media sosial menjadi tempat yang nyaman untuk mengampanyekan visi, misi, dan tujuan kelompok. Pembedaan atas dasar agama, budaya, suku, ras, dan etnis yang dilakukan oleh para oknum tertentu, digiring, didramatisir, dan didesain sebagai pertarungan antara kami versus mereka.
Pola pikir dikotomis, kami benar, berarti baik; mereka salah, berarti buruk –menjadi paradigma . Sosial media pun tempat pertempuran, penggiringan opini, dan manipulasi fakta, demi kepentingan ideologi pragmatis tertentu.
Setidaknya ada tiga aspek isu-isu narasi kebencian berdasarkan idetitas eksklusif yang dimainkan di media sosial. Pertama,mendramatisasi dan memelintir suatu kasus atau peristiwa. Strategi ini sangat ampuh untuk menumbangkan lawan. Hanya bermodalkan meme, screen–shoot, video pendek kualitas rendah, individu/pihak tertentu bisa diserang dan dibunuh karakternya.
Cara ini menjadi favorit, sebab dengan cepat bisa mengambil hati para netizen. Netizen tanpa verifikasi dan ceck and re-ceck langsung membagikan, mengomentari, mencaci, dan menghardik.Padahal, semua itu adalah hasil dari pemelintiran.
Kedua, pengaruh pemuka agama atau pemuka adat. Ceramah, khutbah, dan pernyataan mereka sengaja dipotong, diambil untuk melegitimasi kepentingan kelompok. Banyak cuitan, ceramah, dan pernyataan yang sengaja dilepaskan dari konteksnya demi partai, kelompok, maupun organisasi tertentu.
Bahkan bukan hanya di situ, justru sebagian pemuka agama justru menjadi agen provokasi, ujaran kebencian, penyebar hoax.Pemuka agama menjadi tukang stempel, tukang cari dalil, dan tidak kritis lagi, dalam melihat persoalan kebangsaan.
Ketiga, SARA sering dijadikan sebagai justifikasi politik untuk melakukan eksklusi dan diskriminasi terhadap satu sama lain. Di media sosial, SARA dimanipulasi sedemikian rupa, dengan memberi label, stereotip, dan generalisasi terhadap kelompok lain. Kita dengan mudah menemukan, “Agama ini haram jadi pemimpin”, “Etnis ini serakah, tak layak jadi ikutan”, “Suku ini pemalas, nepotis, tak cocok dipilih”, dan sederat pernyataan lainnya.