Qur’an: Perdamaian adalah Kemenangan yang Nyata

Qur’an: Perdamaian adalah Kemenangan yang Nyata

- in Keagamaan
4784
0

Tidak ada momentum sejarah terbesar yang dapat menggoyahkan kepercayaan sebagian umat Islam terhadap Sang Teladan, Nabi SAW kecuali dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah. Peristiwa ini merupakan ujian besar umat Islam dalam mengimani Nabi Muhammad bin Abdullah sebagai Rasul, Pemimpin dan teladan bagi umat Islam.

Peristiwa bersejarah ini diceritakan secara baik dan komprehensif oleh Sayed Ali Asgher Razwy dalam Bukunya Muhammad Rasullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat (terj, 2004). Adalah Suhail bin Amr yang mendatangi perkemahan kaum muslimin di Hudaibiyah. Ia datang sebagai utusan penduduk Makkah yang ingin merumuskan perjanjian dengan kaum muslimin. Ia terkenal sebagai diplomat ulung dan piawai dalam perundingan.

Setelah melakukan diskusi dan debat panjang akhirnya dirumuskan beberapa poin Perjanjian Hudaibiyah salah satunya gencatan senjata selama 10 tahun sejak perjanjian itu dibuat. Sebenarnya beberapa poin dalam perjanjian tersebut dinilai banyak merugikan umat Islam. Belum lagi ada beberapa peristiwa emosional yang menggoncangkan kemarahan para sahabat.

Ali Bin Abi Tholib dipilih sebagai sekretaris yang menuliskan dokumen politik penting dalam sejarah Islam tersebut. Dalam proses penulisan dokumen tersebut, Suhail keberatan dengan kalimat “bismillah arrahman arrahim” dan “Muhamad rasulullah”. Mendapatkan interupsi tersebut, Nabi pun mengalah dan memerintahkan Ali untuk menghapus kalimat tersebut. Walaupun sempat merasa keberatan, tetapi atas perintah Nabi, Ali pun kemudian mengganti dengan “bismika, Allahumma” dan “Muhammad bin Abdullah”.

Di Makkah para pemimpin Quraish menganggap perjanjian itu sebagai sebuah kemenangan dan manuver Muhammad selama ini telah gagal. Di sisi sahabat Nabi pun banyak yang merasa keberatan dengan isi perjanjian tersebut. Salah satunya yang paling keras menolak dan merasa kecewa adalah Sahabat Umar RA. Umar berkata : mengapa kita harus menerima perjanjian yang melecehkan agama kita? (Quraish Shihah, 2007). Bahkan Umar sempat curhat kepada Abu Bakar “ …dirinya tidak pernah dilanda keraguan semacam ini berkenaan dengan kebenaran Muhammad. Dan bila menemukan 100 saja yang punya perasaan yang sama dengannya, niscaya ia akan keluar dari barisan umat Islam”.

Kegusaran Umar ini memperlihatkan kecintaan dan pembelaannya terhadap Islam, namun pada saat yang bersamaan juga menimbulkan kesan bahwa Umar mencintai Islam lebih daripada Muhammad sendiri mencintai Islam. Barangkali cerminan Umar ini banyak kita temui dalam praktek umat Islam saat ini yang seolah mencintai Islam tetapi tidak memahami esensi Islam itu sendiri.

Nabi meninggalkan Hudaibiyah diiringi para pengikutnya yang setia dan sebagian masih diselimuti keraguan dan kegusaran. Dalam perjalanan pulang ke Madinah turunlah firman Allah yang disebut Surah kemenangan (al-Fath). Surah itu dimulai dengan kalimat yang sangat indah:

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu (Muhammad) kemenangan yang Nyata” (QS: Al-Fath:1)

Ayat ini secara tegas mengatakan bahwa Perjanjian Hudaibiyah merupakan “kemenangan yang nyata”. Umar mendatangi Nabi dengan mengatakan “Inikah yang engkau sebut sebagai kemenangan yang nyata? Nabi dengan tegas menjawab : “Benar, Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya inilah kemenangan yang nyata”.

Inilah cerminan Nabi perdamaian yang telah berhasil memperoleh kemenangan yang nyata. Nabi tidak menghiraukan desakan “pendukung militan” yang direpresentasikan Umar dan pendukungnya yang menginginkan pengerahan pasukan dan menolak perjanjian damai karena menilai Islam telah dilecehkan. Nabi menampik desakan pengerahan pasukan dan peperangan dan lebih memilih melanjutkan jalan damai.

Perjanjian Hudaibiyah adalah produk dari sosok Nabi sebagai Pemimpin, Negarawan, dan Utusan Allah yang mengedepankan perdamaian dari pada peperangan. Sebelum Perjanjian Hudaibiyah ada dua kemenangan perang pasukan Islam, yakni Badar dan Handak, tetapi tidak disebut sebagai kemenangan. Al-Quran justru menyebut Perjanjian Hudaibiyah sebagai kemenangan yang nyata. Inilah yang harus dicatat : Sesungguhnya kemenangan nyata umat Islam adalah perdamaian.

Damai adalah Media Dakwah

Secara logika poin-poin dalam Perjanjian Hudaibiyah dan penghapusan tujuh kata lebih memihak pada Quraisy Makkah dan merupakan kekalahan diplomatis Nabi. Namun, kenyataannya justru Perjanjjian Hudaibiyah menjadi perbincangan luas di jazirah Arab tentang kelembutan, keramahan, kesopanan dan sikap mendahulukan perdamaian yang dipraktekkan Nabi. Perjanjian ini telah mengangkat citra dan martabat Islam dan banyak menuai simpati dan sebaliknya kamu Quraisy banyak menerima cibiran dari berbagai kabilah. Perjanjian ini telah memberikan nuansa baru bagi bangsa Arab yang gemar berperang.

Selama dua tahun gencatan senjata jumlah muallaf jauh lebih besar dari pada masa perang. Nabi pulang dari Hudaibiyah hanya membawa 1.400 pengikut. Dua tahun kemudian ketika mereka (penduduk Makkah) mengingkari perjanjian Nabi membawa pasukan 10,000 pasukan. Inilah kemenangan yang nyata seperti yang ditegaskan dalam Qur’an. Perdamaian adalah kesuksesan dan kemenangan yang sesungguhnya.

Gencatan senjata dan ikrar damai merupakan kemenangan nyata dan bukti keberhasilan terbesar umat Islam dalam sejarah. Perang selama ini telah menjadi penghalang dakwah. Sekali lagi perang bukan media dakwah justru penghalang dakwah. Dengan perdamaian, umat Islam dapat bertatap muka, berdialog, bertemu dan berbincang dengan semuanya. Damai adalah dakwah yang sebenarnya.

Apa yang ingin kita petik dari pelajaran kemenangan nyata ini? Nabi mengedepankan perdamaian yang subtantif dari pada kemenangan simbolik dan formalitas keagamaan semata. Nabi memilih menghapus tujuh kata dalam Perjanjian Hudaibiyah demi perdamaian dan demi kemaslahatan antar umat manusia.

Barangkali kita mendapatkan padanan historis yang sama ketika para pendiri bangsa ini memilih konsensus bersama demi perdamaian dari pada penegasan simbolik Islam dalam Piagam Jakarta. Barangkali ulama pada masa itu mengambil inspirasi dan teladan bagaimana Nabi menggapai kemenangan yang nyata dengan mengedepankan perdamaian, bukan ego primordial. Memilih konsensus nasional daripada konflik, memilih keramahan daripada kemarahan dan memilih damai dalam keragaman, daripada keagaman tapi dalam peperangan.

Inilah teladan yang barangkali mulai hilang dari kaum Nabi Muhammad saat ini. Mereka lebih memilih ego sekterianisme dan kebanggaan simbolik semata. Seolah-olah membela Islam, tetapi justru membenamkan Islam dalam cibiran penuh kekerasan. Seolah-olah berperang demi Islam, tetapi nyata menghancurkan citra dan martabat Islam. Praktek kekerasan dengan dalih membela Islam tidak pernah menggetarkan hati, justru hanya menyisakan ketakutan baik bagi umat Islam itu sendiri apalagi bagi non-muslim.

Nabi memberikan contoh bagaimana meraih kemenangan dengan perdamaian dan mendahulukan konsensus dari pada konflik. Sikap damai menuai simpati sehingga seluruh jazirah arab tergetar hatinya atas kelembutan dan akhlak rosul. Nabi adalah teladan terbaik yang memberi contoh bahwa senjata terbaik adalah akhlak mulia yang dapat menembus hati dan keyakinan yang keras. Inilah yang sejatinya wajib diteladani oleh umat Islam saat ini. Wallahul muwafiq ila aqwami at-tariq.

Facebook Comments