Hari Kebangkitan Nasional kembali kita peringati tepat pada tanggal 20 Mei. Tahun ini, Harkitnas mengangkat tema “Bangkit Untuk Indonesia Emas”. Sebuah tema yang relevan dengan isu bonus demografi san agenda Indonesia Emas 2045.
Namun, ironisnya berbarengan dengan itu, kita baru saja dikejutkan dengan temuan data bahwa ada sekitar 9,9 juta generasi Z di Indonesia yang tidak bekerja dan tidak sekolah. Jumlah itu nisbi besar mengingat total generasi Z di Indonesia sekarang ini mencapai 75 juta jiwa atau setara dengan 25 persen total penduduk nasional.
Data itu cukup mencemaskan kita semua. Bagaimana tidak? Generasi Z adalah calon penerus masa depan bangsa. Apa jadinya jika jutaan di antara mereka justru tidak bersekolah dan tidak bekerja?
Membincangkan problem gen Z utamanya soal pendidikan dan pekerjaan tidaklah sederhana tentang keterbatasan akses. Maksudnya, tidak semua gen Z yang tidak bersekolah dan bekerja itu disebabkan karena tidak ada akses ke pendidikan dan pekerjaan. Persoalan gen Z dalam hal pekerjaan dan pendidikan jauh lebih kompleks dari itu.
Selama ini, kita udah kadung akrab dengan karakter generasi Z yang kerap menjadi bahan perbincangan di media sosial. Di satu sisi, generasi Z ini dikenal sebagai generasi yang sangat adaptif pada kemajuan teknologi digital. Mereka berpikiran terbuka, inklusif pada perbedaan dan cenderung inovatif.
Mengapa Generasi Z Rentan Gangguan Mental?
Namun, di sisi lain generasi Z ini juga dikenal sebagai kelompok yang lemah dalam hal kesehatan mental dan psikologis. Generasi Z selalu identik dengan berbagai penyakit mental seperti overthinking, insecure, anxiety, bahkan depresi. Penyakit psikologis yang dialami generasi Z ini lantas mau tidak mau banyak berpengaruh pada pendidikan dan pekerjaannya.
Riset berskala global yang dilakukan oleh lembaga Pew Research pada tahun 2022 menemukan fakta bahwa 70 perden generasi Z mengalami gangguan kesehatan mental. Riset yang dilakukan di 26 negara dan melibatkan sekitar 42 ribu responden ini juga mengungkap fakta mengapa generasi Z rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
Riset itu mengungkap setidaknya dua faktor. Pertama, faktor latar belakang keluarga atau cara pengasuhan yang adaptif pada kekerasan. Generasi Z yang mengalami kekerasan verbal maupun fisik di masa kecilnya rentan mengalami gangguan mental di masa mudanya.
Selain itu, faktor media sosial juga berpengaruh terhadap kesehatan mental gen Z. Survei menyebutkan bahwa rata-rata generasi Z mengabiskan 5-8 jam dalam sehari untuk bermain sosial media. Paparan konten di sosial media yang acapkali tanpa filter itu kerap membuat generasi Z kehilangan orientasi diri, lalu terasing dengan lingkungan, keluarga, bahkan dirinya sendiri.
Maka, peringatan Harkitnas yang mengusung tema Indonesia Emas 2045 ini idealnya menjadi momentum untuk memperbaiki mentalitas generasi Z. Membangun mentalitas generasi Z adalah prasyarat utama mewujudkan agenda Indonesia Emas 2045. Mustahil kita bisa meraih puncak kejayaan jika generasi mudanya rapuh dari dalam akibat kesehatan mental yang terganggu.
Mentalitas Generasi Z Sebagai Fondasi Peradaban Bangsa
Dalam konteks yang luas, generasi Z hari ini harus belajar sejarah, terutama sejarah tentang revolusi kemerdekaan RI. Dengan belajar sejarah, generasi Z akan memahami bahwa lahirnya Republik Indonesia ini merupakan perjuangan para anak muda yang revolusioner dan berani. Bisa dibilang, anak muda adalah pemegang saham terbesar lahirnya Republik Indonesia ini.
Sejak era 1908 dengan dibentuknya Boedi Oetomo sebagai pioneer gerakkan nasionalisme, dilanjutkan dengan angkatan 1928 yang memprakarsai Sumpah Pemuda, sampai angkatan 1945 yang menginisiasi proklamasi kemerdekaan, kaum muda tidak pernah absen, bahkan menjadi aktor utama dalam milestone perjalanan kemerdekaan.
Dalam konteks yang lebih spesifik, kita perlu mengedukasi generasi Z ihwal dampak negatif mengakses media sosial secara berlebihan. Paparan konten di media sosial, apalagi yang berbentuk video pendek, jika dikonsumsi berlebihan dalam jangka panjang akan menurunkan daya konsentrasi dan kemampuan untuk mengingat sesuatu yang panjang.
Dalam artian, konsumsi video pendek di medsos secara berlebihan dalam waktu lama akan menurunkan kemampuan berpikir kognitif kita. Kecanduan menonton video pendek cenderung membuat kita malas berpikir berat, malas membaca buku tebal, dan ironisnya kita jadi gemar berpikir Instan. Seolah segala sesuatu bisa diraih dengan cepat dan mudah. Itulah sisi gelap paling mengerikan dari media sosial.
Bangsa ini didirikan oleh para anak muda yang gemar membaca, lihai berdiskusi, dan aktif berorganisasi. Bukan anak muda tukang rebahan yang kerjanya hanya scroll media sosial. Harkitnas adalah momentum bagi generasi Z untuk bangkit, membangun mentalitas yang kuat. Mental tahan banting, demi terwujudnya Indonesia Emas 2045.
Mentalitas generasi Z yang kuat adalah fondasi utama bangsa dalam meraih kemajuan. Tantangan ke depan tentu kian berat. Geopolitik global yang kian bergejolak membutuhkan respons yang cerdas. Generasi Z dengan wawasan global dan komitmen nasionalisme yang kuat adalah kunci menaklukkan tantangan tersebut. Arkian, selamat Harkitnas. Mari bangkit bersama demi terwujudnya kemajuan bangsa.